Perkembangan
Politik Kita
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 September 2014
Terlepas dari drama yang menyertainya, konstelasi politik kita yang
telah berubah pascapilpres semakin tampak jelas. Koalisi Merah Putih (KMP)
yang terdiri atas partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres yakni
Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Partai Demokrat (tanpa mengesampingkan PBB),
telah memantapkan posisi politiknya di parlemen. Kemenangannya dalam voting penentuan mekanisme pilkada
yakni dilakukan melalui DPRD, menandai momen penting KMP, setelah sebelumnya
menang dalam penentuan tata tertib pemilihan pimpinan DPR dan revisi UU
tentang MD3.
Di luar parlemen, massa dicoba digerakkan untuk memprotes berbagai
keputusan politik itu, tetapi parlemen tetap jalan dengan logika politiknya
sendiri. Kalau dikaitkan dengan kekecewaan publik, tidak saja dikaitkan
dengan manuver KMP diparlemen, tetapi juga manuver Jokowi-Jusuf Kalla (JK)
dalam mendesain kabinet dari yang semula dijanjikan ramping, tetapi
kenyataannya tetap gemuk.
Ini seolah menunjukkan bahwa “janji
kampanye adalah satu hal, kebijakan politik adalah hal lain.” Perubahan-perubahan
agenda politik sangat mungkin terjadi dalam perjalanan pemerintahan ataupun
parlemen. Dalam kasus Jokowi sebagai presiden terpilih, variabel pentingnya
terutama adalah aktor, baru kemudian partai.
Tidak berubahnya postur kabinet yakni dengan tetap mempertahankan 34
buah kementerian sebagaimana kabinet pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono
(SBY), variabel JK sebagai aktor tampak lebih berpengaruh. Dalam dinamika
politik parlemen, KMP memainkan logika politik partai sebagai kekuatan
penyeimbang.
Untuk mengimbangi kekuatan pemerintah, KMP harus menguasai kepemimpinan
politik di parlemen dari pusat hingga daerah-daerah. Dalam konteks inilah,
terlepas dari argumentasi yang telah dibangunnya, dikembalikannya pilkada
melalui DPRD, memberikan peluang besar bagi KMP untuk merealisasikan agenda
politik penguasaan parlemen.
Sisi
Pemerintah
Jokowi sendiri kepada media mengatakan KMP adalah kerikil bagi
pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa konsolidasi dan manuver politik KMP
sangat diperhitungkan. Kini ia harus realistis dalam menghadapi perkembangan
politik. Tidak mungkin pemerintahan akan jalan dengan efektif manakala
masalah-masalahnya dengan kalangan oposisi atau penyeimbang tidak terkelola
dengan lebih baik.
Pihaknya kelihatannya tengah berpikir keras, bagaimana cara mengelola
realitas oposisional yang pascaterbentuk pimpinan parlemen baru, “susah
dipecah” itu. Ketika DPR dipimpin oleh KMP, setidaknya raket badminton telah
dipegang oleh lawan tanding yang tidak dapat diabaikan kemampuan bermainnya.
Hubungan pemerintah dan DPR yang sehat dapat dibayangkan seperti
permainan badminton atau bulu tangkis. Pemerintah ada di satu sisi, parlemen
yang didominasi kekuatan penyeimbang ada di sisi lain. Keduanya sama-sama
memegang raket. Wasitnya Mahkamah Konstitusi. Rakyat sebagai penonton akan
nyaman kalau pertandingannya imbang, setidaknya leher tidak kaku sebelah
begitu pertandingan dimulai.
Sisi
Penekan
Ketika rakyat telah menyerahkan urusan-urusan politiknya sedemikian
rupa ke pemerintah dan parlemen, logika politik lazim bergerak menurut logika
pemerintah dan parlemen. Rakyat tetap abstrak dan lazim menggumpal kedalam
kelompokkelompok kepentingan atau penekan yang digerakkan oleh elite-elite
sipil nonpemerintah di luar parlemen. Mereka dapat menjadi kumpulan massa
yang punya tujuan yang sama atas tema-tema tertentu yang tidak mereka sukai,
apakah kepada pemerintah atau parlemen.
Kelompok-kelompok penekan demikian dewasa ini tampak memperoleh
dukungan dari kelompok-kelompok media massa yang juga punya pilihan politik
masing-masing. Partisipasi masyarakat dalam konteks ini tidak lagi
ditunjukkan dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara atau ikut
berpemilu, tetapi berubah menjadi partisipasi politik penggalangan opini dan
tekanan.
Biasanya mereka proaktif dalam
mengampanyekan sesuatu yang secara sederhana lebih mudah ditangkap, mana yang
mereka maksudkan sebagai pahlawan, dan mana pula yang “common enemy“. Ekstremnya, sisi ini bisa membuahkan “people power“, sebagaimana kasus
Mesir dalam penjatuhan Husni Mubarak, sebelum dalam perkembangannya,
digagalkan oleh militer.
Namun, politik massa sangat riskan tindak kekerasan karena kekuatan pro
biasanya segera diikuti kekuatan kontra yang di lapangan bisa bertabrakan.
Dalam kadar tertentu kasus Thailand bisa menjadi pelajaran.
Sisi
Parlemen
Dari sisi parlemen, kekuatan politik pemerintah yang lebih kecil
dibanding penyeimbang bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan strategis justru
lebih banyak ditentukan oposisi. Kalau komunikasi politik pemerintah jelek
dan dengan demikian pengelolaan parlemen oleh pemerintah tidak bagus, bisa
saja kebijakan-kebijakan pemerintah akan tersandera.
Pemerintah setidaknya akan repot berhadapan dengan parlemen yang
melalui fungsi kepengawasannya lebih aktif dalam mengkritik. Beberapa rencana
kebijakan mungkin bisa tersandera oleh parlemen yang dikuasai oposisi.
Kendati demikian, dalam sistem politik Indonesia dibandingkan dengan Amerika
Serikat (AS) walaupun samasama berpemerintahan presidensial, parlemen
Indonesia tidak dapat melumpuhkan negara.
DPR kita tidak akan bisa membuat negara “shutdown“ sebagaimana kejadian demikian pernah melanda AS
beberapa kali. Di Indonesia, dan sesungguhnya juga demikian halnya di
berbagai tempat, termasuk di Amerika, lobi antartokoh menjadi sangat
menentukan dalam memecahkan kebuntuan politik. Semakin cair hubungan
komunikasi antartokoh, semakin mudahlah kebuntuan politik dipecahkan.
Sistem politik parlemen kita bagaimanapun erat ditentukan dinamikanya
oleh partai-partai. Kendati pemilu legislatif yang mendasari anggota parlemen
dilakukan dengan basis suara terbanyak, mereka tetap harus patuh dengan garis
kebijakan partai. Padahal partai lazim dikendalikan oleh aktor-aktor penentu
yang dalam konteks tertentu oleh Robert Michels disebut para oligarkis. Para
aktor atau “the ruling elite“
partai itulah yang memainkan peran sangat penting dalam proses-proses politik
parlemen. Ketika kebuntuan politik terjadi, dilakukan lobi dan hakikat lobi
adalah antaraktor partai-partai.
Epilog
Dalam ranah persaingan politik parlemen, KMP tampak tengah “menjadi
pemenangnya”. Atas realitas demikian, kubu pemerintah tidak perlu
menyesalinya sebab memang seperti itulah realitas politik yang berkembang.
Yang penting semua pihak agar berikhtiar konsisten dalam mengejawantahkan
prinsip “checks and balances“
sehingga demokrasi berjalan secara imbang, baik dalam konteks korektif maupun
kualitas kebijakan.
KMP sebagai penyeimbang maupun pemerintah termasuk semua menteri dalam
kabinet pemerintahan semakin dituntut kompetensinya dalam berproses politik
yang bermuara kualitas. Kalau aktoraktor utama dan pelaku operasional KMP dan
pemerintah tekor kompetensi, politik akan berhenti pada sekadar drama yang
statis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar