Perempuan
dan Kursi
Gracia Asriningsih ; Penyair dan Penerjemah
|
SATU
HARAPAN, 06 Oktober 2014
Desy
Ratnasari, Rachel Maryam, Venna Melinda, Okky Asokawati, Rieke Diah Pitaloka adalah
mantan-mantan artis perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR 2014-2019, di
antara 88 perempuan atau 15% dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Jumlah ini
turun dibandingkan dengan periode lalu dengan 103 perempuan (18%). Mengapa penurunan ini justru
terjadi ketika calon tetap perempuan
justru naik menjadi 37%? Apa
yang menjadikan begitu sulit untuk perempuan untuk menjadi anggota legislatif
dan secara umum berpartispasi dalam
kebijakan publik?
Negara
ini telah memiliki menteri pemberdayaan perempuan sejak 1983, dan setiap kali
hanya berganti nama tanpa memberikan perubahan signifikan bagi perempuan di
ranah politik. Orde baru telah menghanguskan apa yang dirintis oleh gerakan perempuan sejak pra
kemedekaan.
Pada
tahun 1945, Indonesia memiliki Partai Wanita Rakyat yang didirikan oleh Ibu Sri Mangunsarkoro,
meskipun gagal memperoleh kursi pada Pemilu 1955. Namun demikian gerakan
perempuan masa itu memiliki nyalanya tersendiri terutama memperjuangkan
monogami. Kemudian Gerwani muncul dan
beranggota 1.750.000 tahun 1964, menjadi gerakan perempuan yang sangat
politis dengan reformasi agraria, pemberantasan buta huruf, pembebasan Irian
Barat, hak buruh perempuan dan sebagainya. Salah satu nenek saya menjadi
sukarelawati, pada tahun 1963, berangkat ke Papua. Saat itu perjalanan dengan
kapal masih memakan waktu berbulan-bulan. Misinya, adalah pemberantasan buta
huruf dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja tanpa menduga bahwa ia
selanjutnya akan mengalami penyiksaan dan sepuluh tahun penjara di Plantungan
Jawa Tengah, akibat berbakti pada perempuan sebangsa dan setanah airnya.
Propaganda
kebencian terhadap komunisme yang diwujudkan dengan penggambaran
perempuan-perempuan Gerwani yang menyiksa para jendral mempunyai dua sisi
tajam. Di satu sisi masyarakat (laki-laki) memiliki pandangan amoral terhadap
perempuan yang berpolitik dan pada perempuan, mengimunisasi keinginan mereka
untuk berpolitik dengan melihat bagaimana perempuan-perempuan gerwani atau
yang berani berorganisasi dan berpolitik, disiksa, dibunuh dan dipenjarakan.
Dan mereka pun dilenyapkan dan disenyapkan oleh orde baru. Ketakutan
akut dan laten ini diturunkan kepada
anak dan cucu perempuan, dan hanya sedikit yang terhindar dari wabah ini.
Beberapa
partai politik saat ini telah melakukan pengkaderan perempuan yang cukup sistematis dalam tubuh
partai, melalui sayap-sayap organisasi perempuan. Pada masa orde baru,
perempuan seperti tidak bisa terlepas dari dharma wanita dan PKK. Namun
seberapapun keterlibatan dan kepiawaian mereka dalam berpolitik di organisasi
ini, posisinya hanya akan bergantung pada siapa yang dinikahinya dan apa
posisinya dalam hierarki pemerintahan. Kini,
jika kita melihat misalnya keterwakilan perempuan dalam dewan
pimpinan partai saja, angka 30% itu sama sekali tidak tercapai.
Pertanyaan berikutnya, apakah perempuan ini sudah berada di luar posisi
tradisionalnya sebagai sekretaris dan penanggung jawab divisi perempuan? Maka dari awal patut dipertanyakan komitmen
partai terhadap keterwakilan perempuan.
Atau perempuan dalam partai akan terkait dengan
budaya nepotisme dalam partai, meskipun pengurus laki-laki juga banyak yang
terkait pengkaderannya secara kekeluargaan, pertemanan dan kedekatan afiliasi
organisasi. Kita mencatat diantaranya nama Siti Hediyati Suharto, Puan
Maharani, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo yang terpilih kali ini serta menjelaskan fenomena
kekeluargaan dalam partai, belum lagi yang terjadi di daerah, di mana istri
pejabat yang duduk di DPRD menjadi
biasa.
Realitas
patriarki di tingkat individu dan masyarakat juga menjadi kendala lain bagi
perempuan yang secara sadar ingin berpolitik. Banyak perempuan mengurungkan
niatnya untuk mendaftar menjadi balon karena tidak disetujui oleh
keluarganya, dengan alasan kotornya politik atau besarnya pengorbanan
keluarga yang harus diberikan untuk merelakan perempuan berpolitik, termasuk
secara materi. Meskipun tidak dipungkiri bahwa caleg perempuan juga dapat
diduga melakukan politik uang. Pemilih perempuan yang cenderung apolitis akan memilih nama yang dikenal lewat
televisi atau terjerat serangan fajar.
Perempuan
sepertinya hanya dijadikan prasyarat terpenuhinya minimal 30% caleg
perempuan. Partai bahkan tidak mempersiapkan calegnya untuk mengerti ideologi
partai, apalagi kepada caleg perempuan yang bukan kader tapi lebih dipilih karena popularitasnya
atau kedekatan keluarga.
Fenomena
Jokowi sebenarnya memberikan harapan, ketika perempuan sama terpanggilnya
untuk menjadi relawan dan diskusi politik tiba-tiba juga menjadi trending
topik di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Perlawanan terhadap sistem yang korup
sebenarnya juga banyak muncul dari
inisiatif perempuan. Ingat kasus Prita dan gerakan jarik untuk melawan
kekerasan terhadap anak. Kelompok kecil memang mulai muncul, misalnya dengan
berbagai petisi online seperti change.org atau gerakan-gerakan non politis
praktis seperti gerakan lingkungan.
Dengan luasnya akses informasi dari genggaman tangan dimulai dari
kata-kata di media sosial, perempuan terlibat dalam dunia nyata, dengan
terbata-bata.
Manusia
sebagai makhluk sosial sebenarnya menemukan indikasi kesejahteraan atau
kebahagiaannya dengan aktivitas di
mana ia terlibat dalam komunitas, dengan melakukan dengan sukarela gerakan
yang diyakininya. Dalam masyarakat
tradisional Indonesia, hal ini sangat jelas dalam kegiatan masyarakat
adat yang kemudian tereduksi dalam kegiataan keagamaan. Aktivitas ini
memuaskan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain sekaligus memperkaya
proses pengembangan diri yang menambah rasa kompetensi dan rasa ‘berbuat sesuatu
yang berharga’. Manusia Indonesia yang semakin urban dan kehilangan aktivitas
lokal nya lalu menemukan identitasnya kembali dalam jaringan sosial lewat
sosial media berdasarkan pilihannya masing-masing. Namun secara politis,
kebuntuan tetap tidak menemukan
penyembuhannya apalagi dengan kekecewaan terhadap partai politik dan pilkada
yang hanya menumbuhkan koruptor baru.
Revolusi
mental dan kesejahteraan masyarakat
yang berciri meningkatnya partisipasi publik (baca perempuan)
sebenarnya telah dimulai. Gerakan budaya yang
memimpikan perubahan hidup namun bukan
sekedar mencari kekuasaan,
melainkan mengekspresikan ketidakadilan dan merayakan emansipasi individu,
salah satunya terwujud dengan menolak transmisi otoriter dari nilai-nilai
lama. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana melanjutkannya menuju
transformasi struktural dalam relasi produksi, relasi kekuasaan dan relasi
antar individu. Apakah partisipasi yang terjadi tidak sekedar mereproduksi
wacana yang ada dengan bungkus dan merk yang berbeda-beda? Adakah produksi konten baru sebagai hasil
blusukan diri atas pengalaman sebagai warga negara? Ataukah kita sekedar meng klik dan membagi atau me re
‘tweet’ status? Apakah ada revolusi mental pasca pemilihan presiden?
Bagaimana
kita mengawal ketertarikan perempuan pada poltik, yang dimulai hanya dari
kekaguman pada Jokowi atau kegantengan Hamdan Zoelva, menjadi satu modal
sosial dan menumbuhkan partisipasi politik yang nyata pasca pilpres?
Setidaknya beberapa LSM dan ormas perempuan telah membawa agenda politik
perempuan Indonesia telah diterima Jokowi tanggal 29 Agustus 2014, salah
satunya memperjuangkan minimal 30% persen perempuan dalam posisi pengambil
kebijakan publik. Ini hanya akan berhasil jika perempuan sendiri juga
merelakan dirinya mencoba keluar dari zona nyamannya dalam rumah dan dimulai
dengan mengajukan dirinya, misalnya dalam pemilihan ketua RT/RW, Kepala Desa,
menjadi anggota partai, musywarah desa dan posisi politik lokal lainnya.
Atau mungkin kita masih hidup di
Athena abad III SM, ketika Aristoteles
menyatakan bahwa perempuan bukan warganegara dan tidak berpartisipasi dalam
politik. Jadi, meskipun manusia, perempuan tersubordinasi dan lebih rendah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar