Mereka
Merampas Kemerdekaan Kita, Lawan!
(Bagian-2
selesai)
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya; Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk
Perubahan;
Kandidat PhD Asia Research Center, Murdoch University,
Australia
|
INDOPROGRESS,
06 Oktober 2014
Komparasi Politik: Antara
Pelembagaan dan Formasi Kelas Sosial
Salah
satu pernyataan yang digulirkan oleh mereka yang memilih opsi pilkada tidak
langsung, bahwa bukankah bentuk-bentuk kelembagaan demokrasi tersebut
mengambil berbagai macam prosesi kelembagaan? Pemilihan lokal di Prancis
misalnya, dilaksanakan secara tidak langsung dimana warga kota memilih
anggota dewan yang kemudian memilih kepala daerah. Sementara di Jerman,
pemilihan setingkat bupati/walikota sebagian besar dipilih secara langsung,
pada tingkat provinsi gubernur dipilih oleh anggota dewan perwakilan, dan
Perdana Menteri dipilih oleh parlemen pusat dan Presiden yang tidak memiliki
wewenang luas dipilih oleh Majelis rakyat yang merupakan anggota dari dewan
perwakilan rakyat. Di Inggris, Perdana Menteri tidak dipilih secara langsung,
namun oleh anggota dewan yang terpilih, dan walikota dipilih langsung oleh
rakyat. Di Australia, anggota dewan dari masing-masing partai politik yang
memilih Perdana Menteri, sementara walikota dipilih secara langsung oleh
rakyat, dan gubernur negara bagian dipilih oleh concellor, dalam peran yang
tidak dominan karena hanya menjadi perwakilan Ratu Inggris. Di Amerika
Serikat, baik Presiden maupun gubernur negara bagian dipilih oleh rakyat
sejalan dengan logika politik sistem presidensial, meskipun model
penghitungan untuk memilih Presiden dilakukan melalui model electoral college.
Perbandingan
kelembagaan politik dari negara-negara maju di atas, digunakan untuk
memperkuat argumen bahwa untuk Indonesia mengapa kita mesti bersikeras
mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung di tingkat kepala
daerah dan kemudian di tingkat presiden? Bukankah perubahan sistem pemilihan
eksekutif tersebut adalah hal biasa, dimana negara-negara lain memiliki
sistem rekruitmen pemimpin eksekutif yang berbeda-beda? Dari perspektif institusionalisme
politik, memang argument tersebut sepertinya kuat dan mengesankan. Namun
demikian, kalangan yang berpijak pada pandangan di atas tidak cermat dalam
melihat historisitas politik yang mempertautkan antara format kelembagaan
politik dan formasi dinamika kelas sosial dan artikulasinya dalam
proses-proses politik yang berlangsung di setiap negara-negara demokrasi.
Seperti
diuraikan oleh Michael Burrage (2008) professor Sosiologi Politik dari London School of Economic and Political
Science dalam karyanya Class
Formation. Civil Society and the State: A Comparative Analysis of Rusia,
France, the US and England, dijelaskan dalam relasi hubungan antara
negara dan masyarakat sipil dalam lintasan sejarah di berbagai negara,
khususnya di Prancis, Inggris dan Amerika Serikat, partai politik dalam
relasinya dengan asosiasi-asosiasi sukarela, serikat buruh, media massa,
lembaga pendidikan maupun asosiasi-asosiasi profesional menjadi institusi
potensial yang membentuk dan menciptakan agenda-agenda politik kelas dan
aspirasinya dalam proses politik.
Dengan
kata lain, relasi-relasi sosial secara historis yang terbentuk antara partai
politik dan gerakan-gerakan sosial menjadi kekuatan organik yang
merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan dari berbagai kekuatan-kekuatan
sosial yang tumbuh di masyarakat. Institusi negara di Prancis misalnya,
dibentuk oleh proyeksi politik kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam
arena politik, sehingga menjadi institusi yang membentuk dan menata formasi
sosial dari aspirasi kelas-kelas sosial yang berbeda. Sementara Amerika
Serikat lebih dibentuk oleh artikulasi kelas sosial dan gerakan-gerakan
sosial dalam arena civil society yang memiliki kekuatan untuk membatasi
intervensi negara. Dalam perbandingan antara dua bandul tendensi di atas,
Inggris merupakan negara yang dalam proses historisnya memunculkan kekuatan
partai-partai politik yang secara organik mampu menyerap aspirasi sosial dari
masyarakat dalam artikulasi kelas sosial yang berbeda, baik kelas borjuasi
maupun kelas buruh, namun negara tidak mampu mengintervensi ranah masyarakat
sipil seperti yang berlangsung di Prancis maupun Rusia.
Pelajaran
politik yang dapat kita ambil dari pertautan antara kanalisasi politik
kekuatan sosial dari berbagai lapisan kelas sosial dan pelembagaan politik
negara di atas, dibeberapa negara dalam perjalanan sejarahnya ditempuh
melalui konflik sosial yang intens dalam pelembagaan demokrasi. Partai
politik telah menjadi wadah kekuatan organik bersama dengan institusi publik
lainnya untuk menyerap aspirasi warga berdasar atas basis-basis sosial yang
kuat dan beragam. Belajar dari komparasi politik di atas, maka opsi terkait
dengan pemilihan langsung oleh rakyat maupun pemilihan oleh dewan perwakilan
di beberapa negara tersebut tidak menjadi persoalan kelembagaan yang
berhubungan kuat dengan kualitas tinggi rendahnya demokrasi, mengingat dalam
perjalanan historisnya, partai politik telah menjadi sarana artikulasi
efektif dari kebutuhan dan aspirasi rakyat dari basis-basis sosial yang
berbeda-beda.
Sementara
itu struktur ekonomi politik yang terbentuk antara negara-negara di atas
berbeda dengan apa yang berlangsung di Indonesia sampai saat ini. Perjalanan
sejarah politik kita menunjukkan, akibat dari penghancuran kekuatan sosial
akar rumput kekuatan kiri dan para pendukung Presiden Soekarno pada tahun
1965-1967, partai tidak pernah lagi menjadi institusi politik organik sebagai
penyambung aspirasi dan kehendak dari kekuatan-kekuatan sosial di Indonesia.
Pada era Orde Baru, partai politik hanya menjadi penggembira dari arsitektur
politik negara otoritarianisme negara, sementara Golkar menjadi mesin politik
efektif untuk membangun dukungan politik atas kekuasaan sentralistik
Soeharto. Sementara itu kebijakan massa mengambang yang diinisiasi oleh Ali
Moertopo sebagai arsitektur politik Orde Baru, telah memandulkan basis-basis
sosial dari kekuatan masyarakat sipil untuk memperjuangkan kepentingan
politiknya dalam ruang publik.
Kondisi
seperti ini terus berlangsung pada era Indonesia pasca-Orde Baru, partai hanya
menjadi sarang dari kekuatan oligarki untuk mempertahankan dan mengakumulasi
kemakmuran dan kekuasaannya melalui pembajakan institusi-institusi publik,
sementara kekuatan gerakan-gerakan sosial belum tumbuh menjadi kekuatan
politik dengan basis-basis sosial yang kokoh untuk mendesakkan agenda
perubahan. Perkembangan politik di Indonesia belum menghadirkan partai
politik sebagai agensi utama yang merepresentasikan agenda politik dari
aspirasi berbagai kepentingan yang tumbuh di tingkat warga. Justru di Indonesia,
partai masih menjadi penyambung kepentingan kekuatan oligarki.
Dalam
proyeksi politik demikian maka yang dibutuhkan adalah kanal-kanal politik
yang mampu membawa aspirasi politik warga dalam proses politik arus utama,
sambil memaksa partai politik untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan
popular dari warganegara. Hak pilih dalam setiap jenjang ruang politik
menjadi penting untuk memperdalam kualitas politik dan kekuatan warga guna
memastikan keterlibatan mereka dalam proses penguatan demokrasi, sekaligus
sebagai pintu pembuka untuk menantang dominasi oligarki partai dalam arena
politik. Dalam kebutuhan politik seperti ini maka perampasan hak rakyat untuk
memilih dalam pilkada langsung oleh elite politik adalah sabotase terhadap
pematangan demokrasi politik di Indonesia. Tanpa ruang politik dimana
kekuatan sosial di arena civil society
dapat mengintervensi ruang politik sambil belajar memperkuat basis politik,
maka partai politik tidak akan pernah terbuka terhadap proses-proses politik
perubahan. Konsolidasi kekuatan politik oligarki dalam ruang politik
Indonesia akan semakin solid dan utuh, sementara rakyat akan semakin terasing
dari proses-proses politik dan harapan akan perluasan demokrasi yang lebih
baik.
Manipulasi atas Tafsir Pancasila
Argumen
lain dari para pendukung pilkada tidak langsung adalah dengan menyandarkan
pilihan politik tersebut pada praktik demokrasi asli yang sejalan dengan
proses demokrasi Pancasila. Satu hal yang kerap kali mereka kedepankan bahwa
pilkada oleh DPRD dan selanjutnya pemilihan Presiden oleh MPR, sesuai dengan
Pancasila Sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dengan penafsiran reduktif
dan tekanan hanya pada kata-kata permusyawaratan perwakilan. Sebelum sampai
pada penjelasan tentang betapa tafsir di atas begitu reduktif bahkan
manipulative, marilah kita sejenak melirik bagaimana pemikiran para pendiri
bangsa sebagai inspirator utama kita dalam memaknai Pancasila dan memaknai
demokrasi. Di sini penulis fokus pada pandangan demokrasi dari Mohammad Hatta
dan Soekarno, sang proklamator.
Mohammad
Hatta dalam tulisannya berjudul ‘Pendidikan’ yang dimuat di Daulat Ra’jat
no.37 tahun 1932, menyadari bahwa prinsip “Kedaulatan Rakyat” merupakan
landasan dari negara yang akan diperjuangkan, maka pendidikan dalam konteks
pencerdasan kehidupan rakyat menjadi hal yang penting. Dalam prinsip
kedaulatan rakyat sebagai landasan demokrasi Indonesia, maka rakyatlah yang
akan menentukan sendiri urusan-urusan politik maupun ekonomi bagi nasib dan
penghidupan mereka. Mendidik rakyat untuk memiliki sikap merdeka, bagi Bung
Hatta, adalah langkah penting untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, sehingga
perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi buah tangan dari perjuangan rakyat bukan
perjuangan elite maupun semata-mata perjuangan para pemimpin politik.
Meminjam pandangan pujangga besar Thorbecke, Hatta menggarisbawahi demokrasi
sebagai pemerintahan daripada yang diperintah. Meksipun rakyat harus
menjalankan perintah yang dirumuskan dalam kebijakan perundang-undangan,
namun pemerintahan dibangun berdasarkan kehendak rakyat. Dalam sistem politik
demokrasi, rakyatlah yang bertanggung jawab untuk menentukan nasib dan
mengelola hidupnya sendiri. Ketika rakyat merasa bertanggung jawab dan
berperan dalam pengelolaan kehidupan bersama, maka hiduplah demokrasi. Saat
pemerintahan berjalan dan bekerja atas nama kepentingan privat atau
partikular elite tertentu dan tidak menjalankan mandat dari publik, maka
disitulah letak awal erosi demokrasi.
Selanjutnya,
ketika Hatta menjelaskan argumen tentang demokrasi asli Indonesia, meski
Hatta mempercayai bahwa terdapat tradisi Nusantara yang sejalan dengan
semangat demokrasi, bukan berarti menjadikan segenap tradisi itu sebagai
landasan demokrasi asli yang statis dan tidak bergerak. Tradisi demokratik
dalam tata kehidupan di Indonesia haruslah dilanjutkan dan disesuaikan pada
tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan konteks zamannya. Menurut Hatta,
berhenti dan menoleh ke belakang dalam tradisi budaya keindonesiaan sebagai
landasan pijakan demokrasi justru akan menghambat perkembangan demokrasi itu
sendiri. Semangat feodalisme dan keningratan yang hidup dalam tradisi
masyarakat Indonesia misalnya, selain akan dijadikan klaim pembenar bagi
praktik politik kaum konservatif atas nama demokrasi Indonesia, juga akan
mengikis semangat kesetaraan dan kerakyatan yang menjadi penopang dari
demokrasi di Indonesia.
Dalam
tulisannya menyangkut demokrasi asli, Mohammad Hatta secara kritis mengulas
kecenderungan pemikiran kaum pergerakan yang mencari dasar ‘keaslian’
demokrasi Indonesia yang tetap dan tidak berubah-ubah. Menurut Hatta, setiap
kalangan memiliki interpretasi dan konstruksi yang beragam dalam konteks
demokrasi. Kerapkali pencarian akan keaslian hanya akan membawa pada sikap
yang tertutup terhadap gagasan yang lain. Bagi kaum kolot, pencarian akan
keaslian berujung pada pembelaan terhadap budaya feodalisme yang bertentangan
dengan demokrasi itu sendiri.
Uraian
atas pemikiran Mohammad Hatta di atas menegaskan beberapa hal tentang posisi
politik seperti apa yang sejalan dengan pandangan pendiri bangsa, terkait
dengan persoalan polemik pilkada saat ini. Pertama, prinsip demokrasi asli
yang sejalan dengan Pancasila tidaklah bertumpu pada satu bentuk baku dan tetap
tanpa dihubungkan dengan kenyataan politik dan realitas dinamika politik yang
tengah tumbuh. Sebuah pemerintahan menjadi absah dan sejalan dengan
nilai-nilai demokrasi Pancasila ketika melayani kehendak rakyatnya. Ketika
tindakan politik elite politik bertentangan dengan kehendak partisipatoris
dari rakyat untuk terlibat dalam persoalan-persoalan publik, maka aktivitas
politik demikian bertentangan dengan tujuan demokrasi dan semangat Pancasila.
Sementara
itu pencarian atas yang asli dalam bentuk-bentuk pemerintahan yang baku dan
tak bergerak sesuai dengan dinamika ekonomi-politik zaman, seringkali
digunakan untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingan kelompok elite
status-quois. Sama seperti para kaum konservatif di zaman pergerakan masa
lalu, yang kerapkali menyerukan demokrasi asli untuk kepentingan kaum feudal
dan tatanan lama, saat inipun mereka yang mengusung demokrasi asli Indonesia
dalam memilih opsi pilkada oleh DPRD, tengah melayani kepentingan kekuatan
faksi-faksi oligarkis yang berpusat pada kepentingan kelompok-kelompok relasi
bisnis-politik Orde Baru.
Berkaitan
dengan persoalan polemik soal pilkada, maka perampasan hak pilih rakyat
dengan membalik system pemilihan kepala daerah dari dipilih secara langsung
menjadi dipilih oleh DPRD, jelas bertentangan dengan perluasan ruang-ruang
politik untuk memberi kesempatan bagi rakyat terlibat lebih jauh dalam
mengelola urusan-urusan mereka dalam ranah publik. Alih-alih sejalan dengan
semangat demokrasi Pancasila yang memerdekakan rakyat, pilkada oleh DPRD
berpotensi besar mengalienasi warganegara ketika ruang politik dan partai
politik masih menjadi sarang dari aktivitas-aktivitas politik kekuatan
oligarki. Memasung hak politik rakyat untuk memilih pemimpinnya adalah sama
dengan merampas kemerdekaan rakyat untuk terlibat dan turut bertanggung jawab
dalam menentukan nasib urusan-urusan mereka dalam ranah politik.
Lalu
bagaimana paham Soekarno sendiri terkait dengan gagasan demokrasi yang
sejalan dengan semangat Pancasila? Mari kita merenungkan tulisan Soekarno
(1933), Mencapai Indonesia Merdeka. Dalam risalahnya tersebut. Soekarno
menjelaskan tentang karakter sejati dari partai politik, karakter partai yang
seharusnya menjadi instrumen politik dari pemandu dan artikulator suara
rakyat Indonesia. Menurut Soekarno, suatu partai pelopor tidaklah
mengkhianati atau mengubah kemauan yang onbewust atau tidak sadar dari massa.
Yang justru harus dikerjakan oleh partai adalah membikin kemauan yang
onbewust itu menjadi kemauan yang bewust, memberi keinsafan kepada kemauan
sadar menjadi yakin dan terang. Hanya begitulah sikap yang pantas menjadi
sikapnya suatu partai radikal, yang dengan yakin mau menjadi partai
pelopornya massa, menyuluhi massa dan berjuang habis-habisan dengan massa.
Sementara itu, setiap setiap penyelewengan haruslah dibuka kedoknya di muka
massa, tiap-tiap pengkhianatan kepada radikalisme harus ia hukum dimuka
mahkamahnya massa, tiap-tiap keinginan akan “menggenuki’ untung-untung kecil
harus ia bakar di atas dapurnya massa!
Apa
pelajaran dari uraian Soekarno di atas terkait dengan tugas dan peran partai
pelopor? Dalam risalahnya tersebut, Soekarno menjelaskan tentang bagaimana
tugas partai sebagai kanal-kanal politik bagi rakyat, yang tidak hanya
menjadi saluran dari aspirasi politik kader-kader dan konstituennya, namun
lebih dari itu sebuah partai politik juga memiliki tugas menjadi suluh
penerang bagi pembentukan kesadaran politik massa. Tidak saja bertugas untuk
membangun kesadaran massa, partai politik juga memiliki tugas untuk membuka
setiap penyelewengan politik terhadap kehendak rakyat, maupun segala
bentuk-bentuk money politics,
korupsi dan penjarahan asset-asset public
yang mungkin saja terjadi kehadapan rakyat. Dalam konteks ini, partai yang
menjadi proyeksi politik Soekarno jelas berbeda dengan partai politik yang
menjadi kenyataan empirik negeri kita sekarang. Partai pelopor dalam bayangan
Soekarno adalah partai yang secara organik menjadi kanal-kanal politik
aspirasi dan suara rakyat, sementara partai dalam kenyataan politik sekarang
menjadi instrumen kekuasaan bagi kekuatan-kekuatan politik oligarki yang
menutup saluran-saluran politik kerakyatan.
Dalam
perspektif Marhaenisme Soekarno, ketika partai sudah berhenti perannya
sebagai agensi politik yang membentuk kesadaran politik massa maka diperlukan
saluran-saluran politik baru yang dapat mengubah secara mendasar dan
transformatif watak partai itu sendiri atau membuka jalan baru bagi
terbangunnya partai organik yang menjadi ruang penyaluran kehendak rakyat.
Dalam konteks realitas politik kekinian maka upaya elite politik untuk
mengubah aturan main dalam pilkada dari langsung menjadi tidak langsung,
dapat dimaknai sebagai bentuk penyelewengan dari tiap-tiap upaya untuk
menggenuki untung-untung kecil yang harus dihadapkan kehadapan mahkamahnya pengadilan
rakyat Indonesia! Manuver politik ini dapat disebut sebagai pengkhianatan
dari kumpulan oligarki partai politik, karena dengan jalan itu partai telah
menjadi kekuatan yang mengasingkan rakyat dari peran-peran partisipatorisnya
dalam realitas demokrasi.
Dari
sekelumit dua pandangan pendiri bangsa Soekarno dan Hatta ini, kita bisa
menyimpulkan bahwa landasan demokrasi yang menjadi tradisi otentik bangsa
kita meyakini demokrasi sebagai tatanan politik dimana rakyatlah pemilik
kedaulatan yang bertanggung jawab dan berperan dalam pengelolaan hidup
bersama, dimana tatanan sistem politik demokrasi secara prosedural mengikuti
secara kontekstual perkembangan zaman sesuai dan sejalan dengan kesadaran
politik rakyat pada massanya. Dalam konteks tafsir pendukung pilkada oleh
DPRD yang menggunakan dalih sila ke-4, dapat dikatakan sebagai bentuk
manipulasi atas Pancasila karena secara reduktif tafsir itu hanya bertumpu
pada kata-kata ‘dalam permusyawaratan perwakilan’.
Tafsir
seperti ini adalah tafsir yang manipulatif karena mengasingkan rakyat dalam
proses politik logika keterwakilan terbatas dan memotong saluran-saluran
politik yang memungkinkan rakyat mempengaruhi dan turut membentuk proses
politik yang tengah berlangsung. Dengan kata lain, tafsir para elite politik
pendukung Pilkada oleh DPRD ini adalah sebuah manipulasi atas Pancasila,
karena melalui tafsir itu mereka telah memasung kemerdekaan politik rakyat,
yang oleh Mohammad Hatta, ditempatkan sebagai subjek yang semestinya
bertanggung jawab dan terlibat aktif dalam ranah politik untuk mengurus
persoalan-persoalannya dalam ruang politik. Tafsir para faksi oligarkis KMP
memanipulasi Pancasila, karena dengan tafsir tersebut mereka telah
melegitimasi partai sebagai sekedar perkakas kekuatan segelintir oligarki
belaka, ketimbang sebagai pemandu dan suluh kesadaran rakyat, sebagaimana
dikehendaki Soekarno.
Tafsir
yang lebih jernih terhadap sila ke-4 menegaskan bahwa sebuah tatanan politik
dibangun berdasarkan basis Kerakyatan, dimana legitimasi politik dari
penyelenggara negara eksekutif maupun legislatif dibangun melalui kesetaraan
legitimasi agar tidak tercipta tirani satu lembaga atas lembaga lainnya
maupun kepada rakyat Indonesia. Kerakyatan haruslah menjadi pandu, dalam
artian bahwa dalam tatanan demokrasi yang diterangi semangat Pancasila maka
peran dan keterlibatan rakyat dalam arena politik harus difasilitasi dan
dibuka seluas-luasnya, agar arena politik tidak menjadi akses eksklusif dari
segelintir elite politik semata. Dalam basis kerakyatan itulah maka politik
uang, kekerasan, dan transaksi politik berusaha untuk ditepis dan dihilangkan
agar ‘Hikmah Kebijaksanaan’ hadir menjadi penerang di kehidupan republik yang
terselenggara dalam proses politik ‘Permusyawaratan Perwakilan’.
Sedulur Papat Limo Pancer
Pada
akhirnya, kekuatan yang pada pilpres lalu bersatu padu dalam perjuangan
politik untuk melawan kembalinya kekuatan Orde Baru, sudah saatnya merapatkan
barisan untuk melawan. Niat awal dari tiap-tiap orang untuk turun ke
gelanggang politik pada momen pemilu lalu dilandasi oleh tiga hal: Pertama,
untuk menghadang langkah-langkah politik dari poros faksi oligarki neo-Orde
Baru yang mencoba membatasi dan menarik mundur perjalanan demokrasi yang
telah terbangun. Kedua, untuk membuka ruang bagi keadilan sosial, kesetaraan
politik dan meredistribusikan akses-akses ekonomi dan kekuatan politik rakyat
yang selama ini dibatasi oleh dominasi seluruh faksi-faksi oligarki
Indonesia. Ketiga, mempromosikan model-model pembangunan yang sensitif dengan
nilai-nilai Hak Asasi Manusia, demokrasi dan penghormatan terhadap
kemajemukan Indonesia.
Ketiga
tujuan pembangunan di atas tengah tersandera oleh manever-manuver politik
oligarki yang berusaha menghambat gerak dinamik demokrasi yang tengah
berlangsung, guna mempertahankan kepentingan-kepentingan partikular mereka.
Dalam menghadapi problem di atas, ada dua jalur yang dapat dipilih oleh
pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo. Pertama, melakukan negosiasi
elite politik dengan kalangan oligarkis dengan resiko kehilangan dukungan
politik dari bawah, dan masuk dalam arus permainan politik elitis yang tidak
mereka kuasai. Opsi politik seperti di atas tidak memadai, tidak saja
dihitung dalam lintasan politik progresif, bahkan dalam kalkulasi politik
realis telah terbukti kekuatan aliansi politik Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
telah berkali-kali kalah dalam proses politik parlemen, baik dalam UU MD3,
penetapan RUU Pilkada dan yang terakhir dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
DPR RI.
Opsi
kedua, membangun kembali persatuan dan dukungan politik dengan kalangan
relawan dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, untuk melawan setiap
langkah-langkah politik yang berusaha memundurkan capaian demokrasi maupun
manuver-manuver yang merampas kemerdekaan politik setiap warga negara.
Inisiatif kedua dengan membangun front perlawanan bersama melawan kekuatan
oligarki, merupakan pilihan politik progresif sekaligus realistis, karena
hanya itulah jalan politik yang harus diambil untuk mempertahankan dukungan
rakyat terhadap pemerintahan Jokowi, ketika pihak-pihak oligarkis sudah
berniat untuk menjatuhkan pemerintahan sebagai bagian dari upaya mereka untuk
mengamankan kekuasaan dan kepentingan sempit kelompok-kelompok politik mereka
sendiri.
Saat ini
para pendukung demokrasi tengah dihantam oleh kekuatan aliansi oligarki dari
delapan penjuru mata angin yang terdiri atas: (1) kekuatan oligarki
neo-orbais yang ingin kembali berkuasa dengan memanipulasi tafsir atas
Pancasila; (2) kaum elite politik oligarki reformis gadungan yang dengan segera
mencampakkan agenda-agenda demokrasi dan menyatu dengan kaum Orbais; (3) kaum
politisi fanatik berkedok simbol-simbol agama dan berlindung di balik koalisi
besar Orde Baru’ (4) kekuatan faksi-faksi ekonomi yang selama ini berlindung
di balik kuasa oligarkis untuk mencari keuntungan modal; (5) kekuatan
aktivis-aktivis yang berasal dari organisasi mahasiswa dan masyarakat yang
hanya bisa tumbuh karena mendapatkan akses ekonomi politik dari patronase
mereka (para senior) di lingkaran politik oligarkis; (6) para wirausahawan
politik baru yang mencoba peruntungan ekonomi mereka dengan masuk dalam
aliansi oligarkis; (7) kaum inteligensia/intelektual yang ingin memperoleh
keuntungan ekonomi dan akses politik dengan cara membantu perluasan
kesepakatan kolektif melalui proses hegemoni dengan cara menjadi tukang yang
mengartikulasikan operasi politik oligarkis dalam ranah masyarakat sipil; dan
(8) kalangan awam yang masih terhipnotis sentimen-sentimen parokial dan
kebencian berbasis identitas yang menjadi obyek sasaran dari operasi politik
oligarkis Orde Baru untuk mencari dukungan mereka.
Ketika
menghadapi gelombang hantaman dari faksi oligarkis dari delapan penjuru mata
angin, maka tradisi asli Indonesia, seperti, misalnya, yang tertuang dalam
khasanah spiritual Jawa mengenal istilah dulur papat limo pancer! Kembalilah
ke jatidiri kita sendiri untuk menghadang gelombang tekanan dari luar. Dalam
khasanah spiritualisme Jawa, sedulur papat limo pancer artinya adalah empat
saudara dari setiap manusia yang menjaga manusia ketika lahir ke dunia
(kakang kawah (air ketuban), adhi ari-ari (ari-ari tali pusar), getih (darah)
dan pusar), dan kelima pancer adalah si jabang bayi itu sendiri yang lahir ke
dunia. Kembali ke dalam diri sendiri dalam konteks sedulur papat limo pancer,
dalam konteks ini, bukanlah sekedar pemahaman mistis spiritual, namun
menyadari bahwa konsolidasi politik dari kekuatan pendukung demokrasi harus
dibangun dari blok politik demokratik internal, yang pada momen pemilu 2014
telah memenangkan Jokowi atas Prabowo dan KMP, yang merupakan representasi
paling sempurna dari kembalinya kuasa Orde Baru.
Kembalilah membangun koalisi politik demokratik progresif yang
berbasiskan: Pertama, kekuatan produktif ekonomi kelas-kelas marjinal dari
buruh, petani dan kaum pedagang pinggiran yang hajat hidupnya terpinggirkan
oleh operasi ekonomi-politik kekuatan oligarkis yang menghisap sumber-sumber
daya ekonomi, tanpa menyisakan kecuali hanya sedikit bagi kelas-kelas ekonomi
marjinal. Kedua, kekuatan kaum miskin baik di perkotaan maupun pedesaan,
serta masyarakat adat yang sudah lelah hidupnya ditindas oleh tirani Soeharto
dan kemudian oleh tirani oligarki dalam perampasan sumber-sumber daya di bumi
Indonesia. Ketiga, kaum terdidik inteligensia serta kaum muda dan kelas menengah
yang selama ini meyakini jalan demokrasi adalah jalan politik untuk membawa
kemajuan Indonesia. Keempat, kalangan pluralis dan inklusif yang meyakini
bahwa kebhinekaan dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia sebagai jalan
menuju Indonesia yang beradab. Kesadaran tentang pentingnya kembali membangun
persatuan politik dan konsolidasi politik dari empat saudara
kekuatan-kekuatan progresif yang melahirkan limo pancer demokrasi inilah yang
menjadi kunci bagi kemenangan demokrasi atas kekuatan Orde Baru yang kini
hendak kembali berkuasa. Mari kita mulai untuk melawan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar