Selasa, 14 Oktober 2014

TNI Profesional dalam Konsep MEF

                         TNI Profesional dalam Konsep MEF

Danang Probotanoyo  ;   Center for Indonesia Reform Studies (CIRS), Alumni UGM
REPUBLIKA,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Seperempat abad silam, dalam suatu konferensi angkatan udara di Canberra, kepala Studi Strategi dan Pertahanan Universitas Nasional Australia Prof Desmond Ball mencemaskan peningkatan kemampuan militer negara-negara Asia Tenggara. Ball sangat mencemaskan pembelian pesawat tempur modern dan kapal perang yang dilengkapi dengan rudal mutakhir oleh negera-negara Asia Tenggara.

Pembelian senjata itu dikatakan akan mengurangi keunggulan Australia dalam hal teknologi militer. Dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia tentu sebagai sumber utama kecemasan Ball. Australia memiliki kedekatan hubungan dengan Malaysia, Singapura, dan Brunei sebagai sesama Commonwealth Nations. Bahkan, Australia bersama dengan Selandia Baru, Inggris, Malaysia, dan Singapura tergabung dalam pakta pertahanan Five Power Defence Arrangement (FPDA).

Jauh sebelum Ball melontarkan kecemasannya, Australia sudah fobia terhadap Indonesia di era Soekarno. Panglima ABRI (sekarang TNI) saat itu Jenderal Try Sutrisno, cukup berang dengan sikap Indonesia-phobia sebagaimana diidap Ball. Try berkata, "Australia harus belajar sejarah agar tahu bahwa Indonesia bukanlah negara ofensif melainkan defensif. Indonesia baru berperang bila kedaulatannya terancam!"

Kekhawatiran beberapa pihak di Australia sejatinya menyimpan intellectual exercise dalam dua sisi. Secara internal, mendorong Pemerintah Australia agar selalu meningkatkan anggaran pertahanannya. Secara eksternal, meminta perhatian Amerika sebagai sekutu utamanya agar selalu melindungi Australia.

Benarkah secara militer Indonesia bisa mengancam negara-negara tetangganya sebagaimana ditakutkan Australia? Pembangunan postur dan kekuatan TNI dengan paradigma minimum essential force (MEF) yang digenjot sejak 2009 hingga 2024, apakah akan mengubah doktrin defensif TNI menjadi kekuatan ofensif regional?

Di dalam buku putih Pertahanan Negara tahun 2008 disebutkan, pemerintah menetapkan kebijakan strategis penyelenggaraan pertahanan negara. Di dalamnya menyangkut postur kekuatan pertahanan negara, gelar kekuatan, alat utama sistem senjata (alutsista), dan program pembangunan jangka panjang. Acuannya adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional suatu negara akan terlindungi bila negara memiliki postur pertahanan yang kuat dan profesional, yang berdaya tangkal dan berdaya penghancur.

Kepentingan nasional adalah dasar menentukan sistem pertahanan dan keamanan negara serta strategi pertahanan sebagaimana diamanatkan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Kepentingan nasional merupakan arah yang harus dicapai dalam strategi pertahanan negara untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI, kedaulatan negara dan keselamatan segenap bangsa Indonesia.

Berdasarkan kondisi lingkungan strategis, baik global, regional, maupun nasional, pemerintah menetapkan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional yang bersifat mutlak adalah tetap tegaknya NKRI. Fungsi pertahanan negara, dengan TNI sebagai tulang punggungnya, wajib menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan segenap bangsa dari ancaman.

Pembangunan pertahanan negara yang kuat harus didasarkan pada definisi ancaman terhadap kepentingan nasional. Kemampuan mengidentifikasi ancaman dan perumusan kepentingan nasional merupakan langkah awal strategis membangun kekuatan sistem pertahanan dan postur TNI.

Paradigma MEF sejatinya belum mencerminkan kekuatan ideal yang dibutuhkan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI. Untuk menjaga dan mempertahankan negeri seluas lebih dari 5 juta km persegi, terdiri dari lebih 17 ribu pulau dan berpenduduk sekitar 240 juta jiwa, dibutuhkan angkatan perang kategori middle power. MEF merupakan format kekuatan minimal yang disiapkan sesuai sumber daya yang terbatas, tapi tetap mampu menjaga kedaulatan negara.

Karena tak ada kepentingan nasional yang bersifat minimum, maka penetapan MEF seharusnya berdasarkan pada identifikasi ancaman terhadap kepentingan nasional. Dalam merumuskan strategi MEF, yang harus dilakukan pertama kali adalah mendefinisi dan mengidentifikasi lebih dulu: siapa lawan. Karena, suatu kekuatan militer dibangun guna menghadapi suatu ancaman militer dengan level tertentu. Dalam penyusunan MEF, acuannya adalah  faktor ancaman yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Lalu, pihak mana saja yang dipersepsikan dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI? Berdasarkan hasil analisis, invasi oleh bangsa lain terhadap Indonesia, sangatlah kecil, setidaknya hingga 25 tahun ke depan. Kondisi objektif yang terjadi selama beberapa tahun belakangan, adanya silang sengketa dan aksi main klaim beberapa titik teritorial Indonesia oleh negara tetangga.

Konflik di Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN dan Cina juga bisa mengancam kedaulatan NKRI yang berbatasan langsung dengan area sengketa. Meski kedua kondisi objektif tadi masih kental segi politisnya, Indonesia harus mempersiapkan diri sedini mungkin bila sewaktu-waktu bermetamorfosis menjadi konflik senjata. Sebagaimana dikatakan ahli strategi legendaris, Von Clausewitz, bahwa perang tak lain merupakan kelanjutan dari konflik politik.

Hal paling menonjol dalam upaya mencapai MEF adalah pengadaan alutsista bagi tiga matra TNI. Pembelian alutsista baru dengan teknologi terkini memiliki arti ikut menjaga profesionalisme anggota TNI. Dengan profesionalisme ini, niscaya mampu menjauhkan TNI dari dunia politik praktis. Sebagaimana disampaikan Samuel P Huntington (1957) bahwa semakin profesional militer, semakin memperkecil keinginannya mengintervensi arena politik.

Jadi, dengan paradigma MEF, postur TNI yang kelak terbentuk hanya terbatas untuk menjalankan fungsi pertahanan negara yang bersifat defensif. Dengan konsep MEF pula, TNI menjadi militer profesional yang dijauhkan dari ranah politik praktis sehingga TNI mampu berdiri di tengah semua aliran, kelompok, dan partai politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar