Kamis, 02 Oktober 2014

Pendidikan di Negeri Defisit Negarawan

Pendidikan di Negeri Defisit Negarawan

Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan-Magelang, Jawa Tengah
KOMPAS,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


PILU rasanya mendengar pernyataan J Kristiadi tentang aksi politik bumi hangus dalam bincang sore di Kompas TV (26/9/2014). Politik bumi hangus adalah lanjutan dari kegagalan kita berdamai dengan hasil Pilpres 2014.
Makin pilu kala sadar bahwa rakyat, yang sejatinya tuan para abdi di parlemen itu, kini telah sempurna nihil kuasa. Kiblat berbangsa pun melenyap. Sebagai rakyat, saya hanya bisa sujud kepada Tuhan, berharap beroleh pencerahan atas pilu kelamnya negeri ini.

Dalam sujud saya tumpahkan gelisah dan nestapa. Politik bumi hangus adalah pertarungan para penguasa. Dalam pertarungan itu rakyatlah yang jadi korban. Dalam sujud itu saya hadirkan penderitaan rakyat negeri ini yang kian tak tertanggung. Berharap kasih Tuhan melelehi negeri ini.

Pada sujud itu saya berimajinasi. Saya alami kehadiran dua sosok cahaya yang kuat tapi lembut. Yang satu malaikat pencabut nyawa, satu lagi ternyata bapak Abraham. Kedua sosok cahaya itu meneguhkan dan menenteramkan kegundahan saya.

Malaikat kematian tak hanya bertugas mencabut nyawa. Ia juga bertugas meyakinkan manusia bahwa kematian adalah peristiwa sekejap, yang mengubah dimensi hidup agar segera berjumpa Tuhan yang penuh kasih. Keelokan wajah malaikat pencabut nyawa itulah yang memungkinkan pendosa bertobat di sekejap waktu sebelum meregang nyawanya.

”Aku akan segera menjemput seratus orang penting dan berpengaruh politis di negerimu,” kata malaikat itu mantap.

Tapi saya terperanjat. Seratus orang itu bukanlah mereka yang selama ini diyakini aktor utama atau pendukungnya yang membuat situasi negeri ini kian susah. Bukan politisi busuk yang selalu mencitrakan diri alim dan bijak. Bukan pula penguasa korup yang melahap uang rakyat yang hidupnya melarat sekarat.

Seratus orang itu adalah para negarawan negeri ini. Mereka berhati emas. Hati emas adalah anugerah hidup mereka yang tulus, jujur, dan konsisten memperjuangkan martabat bangsa dan negeri ini.

”Mengapa harus mereka? Mengapa bukan para penjahat negeri kami? Mengapa bukan mereka yang kini masih dirasuki dendam hingga tak peduli jika aksi politisnya hanya akan membumihanguskan negeri kami?”

”Itu kehendak Tuhan. Bukan kehendakku. Tuhan pasti punya maksud untuk negerimu. Tapi jujur, aku tak tahu maksud Tuhan itu,” kata sang malaikat.

Syukurlah saya ingat bapak Abraham yang pernah mampu meluluhkan niat Allah menghancurkan Sodom dan Gomora. Waktu itu Sodom dan Gomora dikuasai manusia-manusia bejat moral. Kebermartabatan hidup dihancurkan oleh nafsu purba liar manusia.

Serentak saya pun ingat Baharudin Lopa, Munir, Wiji Thukul, para mahasiswa korban Trisakti, dan berderet wajah pejuang reformasi yang merobohkan keangkuhan kekuasaan Orde Baru. Getir rasanya saat menyadari bahwa darah mereka kini serasa muncrat percuma karena keangkuhan penguasa negeri yang dirasuki dendam kesumat.

Keniscayaan pada pendidikan

Pemerintahan baru dengan panglima Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan segera digulirkan. Akan tetapi, politik bumi hangus itu sepertinya tak segera menjanjikan situasi hidup yang lebih mudah dan lancar bagi rakyat di negeri ini.

Kita tak pernah tahu apakah Tuhan bakal segera mencabut nyawa si jahat meski melihat kehidupan rakyat kian sekarat oleh ulah bejatnya. Kendali kehidupan negeri ini sepertinya tak hanya pada Jokowi-JK. Bahkan, mungkin, demi menuntaskan dendam, kendali utama justru akan ada pada ”lawan dan penyeimbang” politiknya.

Barangkali kita mesti ikhlas berjerih-payah. Sembari berharap Jokowi-JK menjadi panglima bak Judge Bao, tokoh hakim tegas yang adil dan bijaksana serta penuh karisma dalam cerita dari daratan Tiongkok. Ketegasan dan konsistensi ala Judge Bao tak hanya akan menumpas tuntas para pecundang negeri ini. Lebih dari itu, ketegasan dan konsistensi semacam itu adalah pendidikan bagi bangsa ini. Bahwa negara dengan konstitusi dan kelengkapan alatnya mampu berpihak kepada rakyat. Bukan membudak kepada tokoh yang buta nurani dan haus kuasa.

Kita berharap Jokowi-JK menguatkan lembaga hukum dan memilih pembantu-pembantunya yang sungguh bersih serta berkomitmen mengabdi kepada negara dan segenap rakyat Indonesia. Transparansi dan konsistensi keberpihakan pada nasib rakyat yang selama ini ditunjukkan Jokowi rasanya menjadi modal penting. Itu juga yang akan terus menjadi alasan sekaligus membuat rakyat berpihak serta terlibat pada upaya Jokowi-JK, seperti pada gerakan konser ”Salam 2 Jari” di Jakarta pada 5 Juli lalu.

Mukjizat ala Abraham pada Sodom dan Gomora bakal terjadi ketika penguasa tulus, jujur, dan ikhlas mewakafkan hidupnya bagi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar