Pemilihan
Rektor Serentak
L Tri Setyawanta ; Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 29 September 2014
Dua perguruan tinggi negeri terbesar di Jawa Tengah, yakni Universitas
Diponegoro (Undip) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) akan melangsungkan
pemilihan rektor pada hari yang sama, Senin (29/9/14).
Ini bukan suatu kebetulan melainkan memang dirancang diserentakkan
kendati akhir masa jabatan rektor di dua PTN itu berbeda hampir satu bulan.
Artinya, dengan pemilihan serentak, hanya ada seorang wakil kementerian
yang datang ke Semarang, untuk dua agenda, yakni ke Undip dan ke Unnes. Bisa
jadi Dirjen Dikti akan mendapatkan mandat menteri. Atau akan jadi sejarah tak
terlupakan apabila pada akhir masa jabatannya, Mendikbud M Nuh berkenan
datang.
Beberapa kalangan memang sering mempersoalkan kenapa menteri memiliki
35% hak suara untuk pilihan rektor di PTN. Argumentasi klasik biasanya
mengacu pada ketentuan bahwa PTN adalah milik pemerintah dan menjadi rasional
kalau ”pemilik” juga punya hak pilih.
Di samping hak pilih itu merupakan representasi dari birokrasi, yang
memperlihatkan bahwa rektor punya tugas tambahan sebagai birokrat. Adapun
tugas utamanya masih tetap, yakni sebagai akademisi yang melaksanakan Tri
Darma Perguruan Tinggi.
Sekaligus menjalankan sistem birokrasi, yaitu birokrasi kementerian.
Kriteria sebagai birokrat akademisi ditentukan oleh Mendikbud yang
terakumulasi dalam 35% hak suara ketika pemilihan rektor dilaksanakan.
Apakah seorang calon rektor memenuhi syarat sebagai birokrat akademisi
akan dilihat dari beberapa kriteria yang bervariasi. Asalkan calon rektor
seorang doktor, lebih-lebih dengan jabatan akademik profesor, tentu memenuhi
kriteria tentang kepakaran.
Kriteria yang lebih penting sebenarnya adalah pengalaman di bidang
manajemen perguruan tinggi. Pengalaman ini akan dapat dilihat dari rekam
jejak dan sepak terjangnya sebagai ”birokrat” kampus yang inovatif.
Dominasi
Senat
Secara normatif, semua persyaratan itu tentu dapat dipenuhi oleh
mayoritas calon rektor yang berkompetisi memperebutkan suara menteri. Lalu
kriteria apa lagi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan suara menteri?
Kriteria ”sapu jagat” tentu saja hanya ada di tangan menteri atau pejabat
yang mewakilinya.
Tidak seorang calon rektor pun dapat memprediksi ke mana jatuhnya suara
menteri. Mereka hanya bisa berdoa, sambil sesekali berusaha menjangkau uluran
tangan ìmalaikatî yang berujud tangan manusia. Mengacu pada perbandingan 35%
hak suara menteri dan 65% hak suara senat, normatifnya hak suara senat lebih
dominan dalam menentukan rektor definitif.
Hak suara menteri bisa menjadi tidak efektif lagi jika para senator
benar-benar memahami tugas utama rektor 65%adalah sebagai akademisi birokrat.
Peraturan internal di Undip memberikan peluang bahwa pemilihan rektor dalam
sidang senat dilakukan melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara.
Harusnya ditawarkan mekanisme musyawarah mufakat terlebih dulu. Jika
tidak tercapai baru dilakukan pemungutan suara. Mekanisme musyawarah mufakat
ini bisa menjadi ciri khas bagi Undip yang belum dimiliki universitas lainnya
dalam berdemokrasi di kampus.
Sayang, implementasi muasyawarah mufakat selalu mengalami kooptasi
berbagai kepentingan para anggota senat yang justru lebih memilih
berdemokrasi dengan cara pemungutan suara atau voting. Mekanisme musyawarah
mufakat dalam pilihan rektor baru menjadi hiasan normatif belaka.
Sebagai ujungnya, 35% hak suara menteri akan menjadi penentu rektor
definitif seperti yang terjadi beberapa di universitas lain. Bagaimanapun
proses dan apa pun hasilnya nanti, semua civitas akademika di Undip dan di
Unnes tentunya dan harusnya mempunyai sikap sama.
Mendukung secara bersama rektor terpilih yang akan memimpin kemajuan
institusi menuju visi dicita-citakan. Sebagimana sejauh ini telah ditunjukkan
oleh kedua universitas, pemilihan rektor harus berjalan dengan baik demi
terpilihnya pemimpin ideal.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar