Para
Mesianis
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate,
Pendiri Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
07 Oktober 2014
Di
Padang Arafah, ketika semua pintu langit terbuka selama enam jam dan seluruh
doa dikabulkan Allah, saya membaca Surat Al-Fatihah terus-menerus dan
menutupnya dengan doa, ”Semoga Jokowi
senantiasa sehat dan teguh agar bisa memandu bangsa Indonesia menjadi lebih
adil dan makmur.”
Ketika
hal itu saya ceritakan kepada istri dalam perjalanan menuju Muzdalifah, dia
berkomentar pendek, ”Itu doa politik!”
Saya tersenyum. Rasulullah Muhammad SAW pun ketika berdoa di Arafah juga
memohon agar damai di bumi. Dalam batas-batas tertentu, itu juga termasuk doa
politik karena kedamaian hanya akan mewujud apabila para pemimpin di muka
bumi amanah. Sementara untuk diri sendiri, Rasulullah memohon untuk bisa
bertemu dengan Yang Maha-indah di akhirat kelak.
Bagi
saya, makna dari kisah suci itu adalah Rasulullah saja tidak meminta apa pun
bagi kebaikan diri sendiri di dunia, apalagi yang berkaitan dengan jabatan
dan kekayaan. Totalitas hidupnya hanya untuk pembelaan terhadap kaum yang
lemah dan kedamaian umat manusia.
Sehubungan
dengan hal tersebut, saya merasa heran dengan fenomena beberapa bulan
terakhir, yaitu banyak orang berkehendak ingin menjadi anggota kabinet Joko
Widodo. Jumlah mereka mungkin ribuan dan masing-masing mengirimkan daftar
riwayat hidup berlembar-lembar seakan berlomba dalam ketebalan. Mereka merasa
mempunyai kemampuan teknis dan manajerial mencukupi sehingga merasa layak dan
terpanggil untuk ikut memimpin dan menentukan jalannya Republik ke depan.
Lebih
lucu lagi, ada orang-orang yang merasa sudah ikut bekerja keras—meskipun
sebenarnya tidak—dalam mengantarkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi
presiden dan wakil presiden terpilih. Mereka merasa pasti ditawari posisi
menteri. Gaya orang-orang seperti ini juga menarik diamati. Mereka biasanya
mengatakan tidak mau kalau ditawari memimpin departemen A atau B, maunya
memimpin kementerian C. Memangnya siapa yang menawari mereka? Semua berputar
di ruang imajinasi, jika tidak boleh disebut gede rasa.
Dalam
perspektif budaya politik, gambaran itu mencerminkan masih kuatnya realitas
mesianisme di masyarakat, terutama kelas menengah atas. Mereka merasa sebagai
orang yang terpilih dan yang paling bisa menyelesaikan masalah bangsa. Mereka
mementahkan satu sama lain karena merasa sebagai pusat dari gravitasi yang
ada.
Para
mesianis tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama,
kelompok ”batu cadas”. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang
sebenarnya sudah kalah dalam kontestasi politik, tetapi tidak mau menerima
kenyataan. Mereka memakai segala peluang, dari tekanan massa pendukung
terhadap penyelenggara pemilu sampai Mahkamah Konstitusi, untuk menggugurkan
kemenangan lawan. Apabila cara demikian tak berhasil, manuver politik akan
mereka galang secara sambung-menyambung guna mendelegitimasi pemerintahan dan
kepemimpinan pemenang.
Kelompok
kedua adalah para mesianis ”batu apung”. Mereka adalah figur-figur yang
berkarakter mengapung, tetapi merasa mampu mengubah nasib bangsa. Mereka
berebut untuk menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Mereka tidak malu-malu
untuk adu cepat mengirimkan daftar riwayat hidup, menyebar namanya di
jejaring sosial, bahkan ada yang membayar media agar namanya muncul. Mereka
ingin menjadi menteri dan pejabat publik lain.
Dua
kelompok mesianis itulah yang dihadapi Jokowi sekarang dan masa depan. Cara
berpikir mereka kompleks dan diametral dengan cara pikir Jokowi yang
sederhana. Padahal, seperti dinyatakan Albert Einstein, Tuhan itu tidak
bermain dadu. Rumus-rumus yang dibuat Tuhan untuk memahami dunia adalah sederhana.
Dalam konteks kebangsaan, peri kehidupan dan kebahagiaan rakyat secara
praksis bisa diangkat dengan cara-cara sederhana.
Misalnya,
gagasan Jokowi mengenai pembangunan daerah yang bersifat tematik. Ide ini
sederhana, tetapi kuat bangunan identitas lokal dan daya gerak ekonominya.
Subang akan menjadi berdaya dan elok karena mengkhususkan diri pada nanas
madu, Probolinggo fokus pada produk mangga arum manis, Malang apel, Indramayu
mangga indramayu, Solo batik, Palembang pempek, dan lain-lain. Semua tentu
saja dengan pohon industri ikutannya. Suasana dinamis akan semakin membuncah
apabila pusat-pusat grosir tematis juga dibangun.
Oleh
sebab itu, khusus bagi para mesianis batu apung yang selalu berbelit dan
berpikir jelimet, kemungkinan besar usaha mereka masuk ke pemerintahan justru
gagal. Kesederhanaan berpikir dan bersikap Jokowi berlawanan dengan polah
mereka. Sementara para mesianis batu cadas, sesuai karakternya, akan terus
bermanuver untuk mendelegitimasi kepemimpinan Jokowi. Mereka berharap langkah
tersebut akan menaikkan popularitas dan ketokohan mereka guna menghadapi
pemilu mendatang.
Terlepas dari itu semua, tiba-tiba saya teringat seorang senior
bertanya mengapa sejak semula saya mendukung Jokowi. Saya menjawab lirih, ”Dia adalah ujung tombak generasi kami!”
Ah, lamunan politik! Saya lalu tafakur membaca Al-Fatihah kembali (sambil
teringat pesan Daoed Joesoef agar setelah haji ini nama saya menjadi Sukardi
”Musa” Rinakit). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar