Menuju
Penguatan Checks and Balances
Firman Noor ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 06 Oktober 2014
Pasca-Pilpres
2014 bangsa kita disuguhi sebuah pertarungan sengit tingkat tinggi yang
melibatkan dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH). Pertarungan serial antara kubu KMP dan KIH dapat dilihat dalam
berbagai macam bacaan.
Bagi
yang pesimistis akan melihatnya sebagai sebuah situasi yang akan menyulitkan
bagi pembuatan kebijakan (deadlock)
yang ujung-ujungnya kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya.
Pertarungan sengit ini juga dianggap hanya akan menyuburkan nuansa oligarki,
baik dalam makna mendahulukan kepentingan politik masing-masing kelompok
maupun dalam arti semakin tergusurnya aspirasi masyarakat yang tertutup oleh awan
mendung pertarungan kepentingan masing-masing kubu koalisi itu.
Pandangan-pandangan
tersebut memang tidak bisa disalahkan. Beberapa ahli seperti Juan Linz dan
Scott Mainwaring telah mengingatkan tentang situasi di atas. Bagi keduanya,
situasi tidak menyenangkan di atas bahkan tetap berpotensi terjadi meski
presiden bukanlah kekuatan minoritas dalam parlemen. Meski demikian, situasi
sengitnya pertarungan legislatif dan eksekutif sebenarnya tidak melulu harus
berakhir fatal. Bahkan dapat menjadi situasi yang diperlukan, setidaknya
dalam upaya membangun tradisi checks
and balances yang lebih proporsional, yang tampaknya telah menjadi barang
asing dalam kehidupan politik bangsa ini.
Dalam Naungan Kartel
Pertarungan
politik antara legislatif dan eksekutif, dalam skema presidensial, yang
mewujud pada pertarungan pihak KMP dan KIH sesungguhnya belum ada preseden di
republik ini. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) hingga Orde Baru
(1966-1998) legislatif selalu dalam bayang-bayang presiden. Peran DPR
dikebiri hingga menjadi sekedar lembaga pemberi legitimasi atas kehendak
presiden. Di awal reformasi, nuansa bangkitnya DPR (legislative heavy) mulai terasakan. Sepintas menunjukkan mulai
adanya keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Namun jika ditelaah
lebih dalam, kontrol itu semu.
Hal ini
karena pemerintah yang terbentuk merupakan kepanjangan tangan saja dari
kekuatan politik dalam parlemen. Kenyataan ini terlihat dari komposisi
kabinet Gus Dur yang dijejali sejumlah elite partai yang notabene adalah
tokoh-tokoh teras seluruh partai besar dan menengah yang ada di DPR. Dengan
situasi ini, kehidupan politik secara substansi lebih bernuansakan kartel.
Terbukti kemudian eksistensi pemerintahan Gus Dur segera pudar saat ia
berupaya meninggalkan koalisi besar tersebut.
Di usia
singkat pemerintahan Gus Dur, mekanisme checks
and balances sejatinya belum seutuhnya sempat terlaksana, terhenti tidak
lama ketika upaya untuk lebih menyeimbangkan kekuatan itu dicoba oleh Gus
Dur. Pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden Megawati mewarisi sebuah
situasi politik kartel yang secara substansi tetap tidak menguatkan semangat checks and balances. Pada masa SBY,
situasi juga belum menggembirakan. Kalaupun coba untuk diupayakan pelaksanaan
spirit checks and balances, itu masih
bersifat sporadis.
Sumber dari
ini semua adalah karena presiden mampu menghimpun sebuah kekuatan politik
mayoritas di parlemen. Pada periode pertama kekuasaannya, partai-partai
pendukung pemerintahan SBY adalah kekuatan mayoritas di DPR, persisnya
setelah keberhasilan JK menjadi pucuk pimpinan Golkar. Begitu juga pada
periode kedua. Gabungan kursi partai-partai pendukungnya bahkan menguasai 421
kursi atau sekitar 75% dari total kursi DPR. Dalam konstelasi politik semacam
inilah sekali lagi dapat dimengerti jika hubungan bernuansakan kontrol jelas
sulit untuk benar-benar mewujud.
Saat ini
situasinya relatif berbeda, presiden bukanlah kepanjangan kepentingan DPR dan
juga tidak didukung oleh kekuatan mayoritas di DPR. Masing-masing lembaga
juga akan saling mengimbangi mengingat tidak dapat dengan mudahnya didikte.
Dengan atmosfer tersebut, eksistensi trias
politica dengan semangat checks and
balances yang genuine berpotensi menguat.
Beberapa Dampak Positif
Terlepas
dari beberapa aspek negatif yang masih berpotensi terjadi, kontestasi KMP dan
KIH sebenarnya dapat menjadi sebuah jalan masuk bagi sebuah pemerintahan yang
lebih berkualitas. Prinsipnya, dengan menguatnya spirit checks and balances dari parlemen tentu saja pemerintah akan
makin serius dalam mengajukan sebuah rancangan kebijakan dan juga dalam
menjalankan kebijakan itu. Dengan kata lain, kualitas kebijakan pemerintah
dan pelaksanaannya akan lebih baik lagi. Terbangunnya checks and balances
yang baik juga berpotensi kuat meminimalkan politik kartel.
Politik
kartel yang cenderung menggejala selama ini muncul disebabkan karena para
aktor politik, terutama antara pemerintah dan oposisi, tidak memiliki sikap
yang ajek dalam memosisikan dirinya. Akibatnya, manakala ada tawaran politik
transaksional dari salah satu pihak pada pihak lain yang sifatnya memberikan
keuntungan eksklusif bagi semua, hal itu dengan akan mudah bergayung sambut.
Pertarungan di DPR belakangan ini memperlihatkan bahwa KMP masih cukup
konsisten dengan agenda politiknya.
Terlepas
dari masih lemahnya komunikasi politik PDIP dengan KMP, hal yang menyebabkan
KMP bersikap konsisten adalah komitmen kuat terhadap cita-cita bersama yang
ada di koalisi itu. Kita tidak pernah tahu sampai kapan sikap konsisten dan
konsekuen ini akan terus terjadi. Namun setidaknya hingga kini peluang untuk
politik kartel masih relatif tertutup. Tentu saja ujung itu semua seharusnya
tetap demi kepentingan bangsa dan bukan gagah-gagahan kelompok.
Untuk itu upaya-upaya untuk membuka komunikasi ala negarawan tidak
boleh terhenti. Maksud utamanya adalah agar kedua belah pihak dapat saling
memahami iktikad baik masing-masing pihak, yang nantinya dapat menjadi batu
loncatan sebuah hubungan yang produktif. Hanya dengan komunikasi yang baik
itulah checks and balances akan
tidak dipandang sebagai sarana untuk saling jegal, melainkan sebagai sebuah
kebutuhan dasar bagi hadirnya pemerintahan yang lebih aspiratif dan efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar