Mengawal
Pergerakan Rupiah
Anwar Nasution ; Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
|
KOMPAS,
09 Oktober 2014
PERGERAKAN
rupiah yang bagaikan yoyo akhir-akhir ini merupakan kombinasi berbagai hal. Pertama,
memburuknya kondisi ekonomi internasional. Kedua, kurang baiknya kebijakan
pemerintah dalam menghadapi masalah eksternal tersebut. Ketiga, rendahnya
integritas ataupun kualitas pendidikan dan pengalaman menteri-menteri pada
pemerintahan sekarang (dibandingkan dengan para teknokrat pada awal Orde
Baru, misalnya). Keempat, gonjang-ganjing DPR baru yang menimbulkan
ketidakpastian politik sehingga mendorong pelarian modal asing dari
Indonesia.
Selama
masa Orde Baru, pemerintah juga mempekerjakan penasihat asing, terutama dari
Universitas Harvard, dan sering kontak dengan pejabat Bank Dunia, IMF, dan
ADB. Penasihat asing itu digunakan para teknokrat sebagai sparring partners
guna menajamkan analisis serta kebijakannya dan memantau perkembangan ekonomi
internasional. Setelah era Reformasi, tidak ada lagi penasihat asing itu
karena para politisi alergi terhadap orang asing. Sementara Indonesia juga
tak punya lembaga-lembaga penelitian, seperti KDI dan KIEP di Korea.
Rupiah
yang gonjang-ganjing bagaikan yoyo menyebabkan ketidakpastian bagi dunia
usaha, terutama yang banyak meminjam dalam mata uang asing. Hampir semua
perusahaan besar Indonesia di semua sektor ekonomi (pertambangan, perkebunan,
industri manufaktur, dan real estat)
membelanjai usahanya dari bank-bank asing di Singapura. Itu kenapa mereka
memiliki kantor di Singapura. Devisa hasil ekspornya tak masuk ke Indonesia
karena ditahan di negara tersebut untuk membayar utang, sekaligus
menggelapkan pajak karena tarif pajak Singapura lebih rendah ketimbang
Indonesia.
Memburuknya ekonomi dunia
Ada
empat perkembangan internasional yang berdampak buruk pada ekonomi Indonesia.
Pertama, penurunan harga komoditas primer (hasil tambang, pertanian, dan
perikanan) sejak akhir 2011. Komoditas itu terutama kita ekspor ke Tiongkok
dan India yang tadinya mempunyai laju pertumbuhan ekonomi tinggi, 9-10 persen
per tahun. Ekonomi Tiongkok meningkat pesat lebih dari 30 tahun terus-menerus
setelah Deng Xiaoping beralih ke paham ”liberalisasi borjuis” sejak 1983.
India beralih ke sistem ekonomi pasar, meninggalkan sosialisme dengan sistem
perizinan yang rumit serta serba negara pada 1991. Ekonomi yang tumbuh pesat
di kedua negara itu butuh berbagai bahan mentah dan rakyatnya yang kian
makmur menuntut makanan yang lebih berkualitas. Berakhirnya stimulus fiskal
dan kredit untuk mengatasi krisis keuangan global 2008-2009 telah
memperlambat pertumbuhan dua negara raksasa itu.
Penurunan
harga komoditas mengakhiri boom komoditas primer yang kita nikmati sejak
krisis ekonomi 1997. Sejak tahun 2000, ekspor dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia kian bergantung pada harga komoditas primer yang diekspor ke kedua
negara itu. Penanaman modal asing dan dalam negeri, terutama juga ke sektor
pertambangan dan perkebunan. Sumber penghasilan devisa kedua adalah dari
kiriman TKI yang bekerja di mancanegara, umumnya pekerja kasar dengan
pendidikan/keahlian sangat terbatas.
Kedua,
meningkatnya harga minyak dan gas bumi karena konflik politik di negara
produsen, seperti Irak, Libya, dan Venezuela. Konflik di Ukraina juga
menyebabkan embargo ekspor gas bumi dari Rusia ke Uni Eropa. Kenaikan harga
minyak dan gas bumi internasional langsung mengganggu neraca berjalan pada
neraca pembayaran kita karena semakin besarnya devisa untuk mengimpor
komoditas itu.
Pada
saat yang sama, kenaikan harga minyak dan gas bumi telah meningkatkan porsi
anggaran negara untuk subsidi BBM dan listrik karena pemerintah yang sekarang
tak bersedia menaikkan harga dan tarifnya. Padahal, subsidi tersebut bersifat
regresif karena lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas sebagai
konsumen utama. Disparitas harga di dalam dengan di luar negeri merangsang
penyelundupan ke luar negeri. Subsidi yang menguntungkan golongan mampu dan
penyelundup bertolak belakang dengan semboyan pemerintah: pro growth, pro poor.
Ketiga,
suntikan likuiditas oleh Bank Sentral AS (quantitative
easing/QE) pada perekonomiannya yang dimulai sejak krisis 2008-2009 mulai
berakhir. Berakhirnya QE akan meningkatkan suku bunga di negara itu, dari
tadinya mendekati 0 persen. Pada gilirannya, kenaikan tingkat suku bunga AS
akan merangsang pemasukan modal kembali ke negara tersebut dan menguatkan
nilai tukar mata uangnya.
Keempat,
perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang ditandatangani Indonesia semakin
banyak, termasuk pembentukan Masyarakat Ekonomi
ASEAN akhir 2015. Berbeda dengan anggota ASEAN lain, tak ada upaya
ataupun kesiapan pemerintah memanfaatkan beragam FTA dengan mengajari
pengusahanya memasuki pasar internasional itu. Sayur dari Tanah Karo dan
Padang Panjang, jambu air dari Kudus dan impit dari Solo, misalnya, tak bisa
masuk pasar Singapura dan Malaysia karena tak memenuhi standar kesehatan di
kedua negara tujuan ekspor tersebut. Hingga saat ini tak ada satu pun
restoran Padang di Bangkok. Padahal, begitu banyak restoran dan kedai kopi
Thailand ataupun produknya di Indonesia. Restoran Penang Bistro dan Kopi Tiam
sudah ada di mana-mana. Melalui FTA, Indonesia jadi pemasok komoditas primer
dan tenaga kerja kasar bagi negara lain, sekaligus pasar bagi ekspornya.
Ada dua
dampak negatif dari sistem logistik (pelabuhan, pergudangan, dan
transportasi) yang buruk di Indonesia. Pertama, biaya transportasi antarpulau
mahal sehingga menghambat pasar nasional yang menyatu untuk seluruh wilayah
Indonesia tercipta. Segmentasi pasar itu terjadi pada pasar barang dan jasa,
pasar keuangan, serta pasar tenaga kerja. Segmentasi pasar juga terjadi
karena aturan pemerintah, misalnya, yang memberikan hak monopoli kepada
bank-bank negara menyimpan keuangan semua instansi pemerintah dan BUMN. BUMD
bertindak sebagai kasir pemiliknya, yakni pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Akibatnya, ekonomi pantai timur Sumatera serta semua provinsi
Kalimantan dan Sulawesi lebih terintegrasi ke Malaysia daripada ke bagian
Indonesia lain.
Terlena
pertumbuhan ekonomi dan ekspor yang meningkat hanya karena boom komoditas
primer, pemerintah membiarkan nilai riil efektif rupiah menjadi menguat,
iklim investasi dan iklim usaha mengalami kemerosotan serta infrastruktur
kian tak terurus. Menguatnya rupiah membuat harga barang impor menjadi lebih
murah, yang pada gilirannya menekan laju inflasi, termasuk inflasi yang
ditargetkan BI. Di lain pihak, rupiah yang menguat melemahkan daya saing
ekonomi nasional, termasuk industri pengolahan, di pasar dunia. Akibatnya,
peranan industri pengolahan kian merosot dalam pembentukan pendapatan
nasional ataupun ekspor serta penyerapan tenaga kerja. Padahal, justru
industri manufaktur padat karya itu yang menjadi tumpuan harapan bagi
penyerapan tenaga kerja, terutama di Jawa yang berpenduduk padat. Perkebunan,
pertambangan, dan perikanan berada di luar Jawa serta kedua sektor yang
disebut terakhir bersifat padat karya.
Di
tengah penurunan harga komoditas primer di pasar internasional, pemerintah
menerapkan hilirisasi pertambangan dengan melarang ekspor komoditas
pertambangan yang belum diolah atau harus membayar pajak ekspor sangat
tinggi. Dewasa ini Indonesia tak memiliki prasyarat untuk membangun pabrik
pengolahan hasil tambang (smelter).
Smelter merupakan industri yang tunduk pada hukum skala ekonomi (economies of scale), artinya pabriknya
harus besar agar biayanya dapat ditekan. Smelters bersifat padat energi
karena perlu tenaga listrik sangat besar. Pabrik juga perlu pelabuhan laut yang
dekat pertambangan ataupun dekat pabrik pengolahan serta angkutan laut dan
darat. Semuanya itu kita tak punya dewasa ini. Perlu investasi sangat besar
untuk itu.
Akibat
dari larangan ekspor hasil tambang yang belum diolah itu, kita kehilangan
penerimaan ekspor dan penerimaan pajak dari sektor pertambangan, terutama
royalti, pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai. Ekspor sawit, karet,
dan hasil pertanian lain tak banyak terganggu karena sudah diolah secara
sederhana, misalnya minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk sawit dan crumb
rubber untuk karet yang diekspor ke negara, seperti Malaysia. Untuk menutup
defisit ganda (neraca berjalan dan anggaran negara), Kementerian Keuangan
harus semakin sering menjual Surat Utang Negara dalam valuta asing dengan
tingkat suku bunga yang semakin mencekik.
Berakhirnya ”quantitative easing”
Ada tiga
dampak langsung dari keluarnya modal jangka pendek dari Indonesia. Pertama,
menurunkan tingkat harga SBI, SUN, dan surat-surat berharga yang
diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia. Kedua, meningkatkan tingkat suku
bunga, baik karena kebijakan BI untuk menahan pelarian modal maupun karena
penurunan tingkat harga surat-surat berharga. Ketiga, melemahkan nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS karena sebagian dari permintaan terhadap mata uang
asing itu untuk membelanjai pelarian modal ke luar negeri. Intervensi BI di
bursa valas kian menguras persediaan cadangan devisa yang tak begitu besar,
sekitar 100 miliar dollar AS. Di lain pihak, melemahnya rupiah tak langsung dapat
merangsang ekspor dan menurunkan impor.
Korban
pertama dari penurunan harga SBI, SUN, dan efek-efek di BEI adalah perusahaan
reksa dana yang usahanya memperjualbelikan surat-surat berharga itu.
Penurunan harga surat berharga langsung menurunkan kekayaan industri reksa
dana. Korban kedua, pihak yang banyak menahan surat-surat berharga itu,
termasuk industri perbankan yang masih banyak menahan obligasi rekapitalisasi
dalam modal ataupun aktivanya. Pada gilirannya, penurunan nilai modal bank
akan mengganggu kecukupan modal (CAR) ataupun rasio kredit bermasalah (NPL)
terhadap modalnya. Korban ketiga, dunia usaha yang menggantungkan
pembelanjaan usahanya dari kredit bank. Selisih suku bunga deposito dan suku
bunga kredit perbankan di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN-5
(Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina).
Korban
keempat, badan usaha yang memiliki banyak kredit luar negeri dalam valas.
Risiko itu dapat berupa risiko perbedaan kurs (currency mismatch) karena pinjaman dalam valas, sedangkan
penerimaan hasil proyek yang dibiayai adalah dalam rupiah. Juga ada risiko
perbedaan antara jangka waktu kredit dan pembayaran kembali pinjaman (maturity mismatch) karena kredit
jangka pendek untuk membelanjai investasi jangka panjang.
Apa yang harus dilakukan?
Tindakan
pertama yang perlu dilakukan pemerintah baru adalah menghapuskan subsidi BBM
dan listrik. Dananya harus dialihkan ke pembangunan sekolah, rumah sakit,
bantuan sosial, dan infrastruktur yang memang merupakan tugas pokok
pemerintah. Kedua, BI perlu terus melakukan intervensi kurs untuk mencegah
gejolak nilai tukar yang sangat besar sehingga dapat membangkrutkan bank dan
dunia usaha seperti 1997.
Ketiga,
memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi guna merangsang pemasukan modal
asing jangka panjang. Pemasukan modal asing kita perlukan untuk membantu
menutup defisit transaksi berjalan, menggerakkan ekonomi, menciptakan
lapangan kerja, dan meningkatkan ekspor manufaktur. Modal asing itu akan
mempertautkan ekonomi 10 negara anggota ASEAN. Itu sekaligus diharapkan dapat
memasukkan Indonesia dalam jaringan produksi global yang mempererat hubungan
ekonomi di Asia Tenggara dan Asia Timur. Indonesia harus mampu menarik
manfaat dari keluarnya investasi modal Jepang dari Tiongkok akibat konflik
teritorial Laut Tiongkok Selatan.
Keempat,
membangun Bank Tabungan Pos dan koperasi simpan pinjam untuk mengurangi
ketergantungan BEI pada likuiditas luar negeri yang sangat rawan bersumber
dari pemasukan modal swasta asing jangka pendek. Meniru Jepang, BTP Indonesia
hendaknya dimulai dengan mobilisasi tabungan masyarakat dan menjual polis
asuransi. Pada gilirannya, penggunaan dananya diatur Kementerian Keuangan
untuk menyerap SUN dan membelanjai beragam proyek, seperti UKM dan
perhubungan laut. Ongkos membangun BTP sangat rendah karena kantor pos sudah
ada hingga ibu kota kecamatan. KSP harus dikaitkan dengan industri perbankan,
seperti BRI, agar depositonya dijamin Lembaga Penjamin Simpanan dan dapat
bantuan likuiditas BI. BTP dan KSP sekaligus berfungsi memperluas inklusi
finansial. Membangun BTP dan KSP jauh lebih mudah dan murah daripada
membangun institutional investors, seperti asuransi dan dana pensiun yang
biasanya membeli obligasi jangka panjang.
Kelima, perlu memaksa dunia usaha agar membawa devisa hasil ekspornya
ke Indonesia dan melunasi kewajiban pajaknya sesuai dengan UU Perpajakan.
Para pejabat negara jangan lagi membekingi para penggelap pajak nakal! Dengan
rasio penerimaan pajak 13 persen dari produk domestik bruto seperti sekarang,
tak mungkin pemerintah dapat membiayai tiga jenis kegiatannya sebagaimana
diamanatkan UUD 1945: menyediakan jasa-jasa publik, memiliki BUMN/BUMD, dan
menyediakan fasilitas bantuan sosial. Keenam, parpol harus dapat menahan diri
dan memelihara stabilitas politik. Dalam era globalisasi sekarang, stabilitas
politik dalam negeri memegang peranan sentral dalam menentukan perdagangan
luar negeri, investasi, dan lalu lintas modal antarnegara yang sangat kita
perlukan. Hanya dengan itu kita dapat menciptakan lapangan kerja bagi
penduduk kita yang sangat banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar