MEA
dan Strategi Ketenagakerjaan
Moh Jumhur Hidayat ; Aktivis dan Pemerhati Gerakan Buruh;
Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia
|
KOMPAS,
09 Oktober 2014
MASYARAKAT
Ekonomi ASEAN secara efektif akan berlaku pada 1 Januari 2016. Kita hanya memiliki waktu tersisa satu tahun untuk mempersiapkan diri menghadapi
tantangan besar sebagai bagian dari tekanan liberalisasi atau tantangan nyata
globalisasi. Tentu berbagai aspek dalam perekonomian akan terdampak akibat
munculnya komunitas ini, tak terkecuali masalah ketenagakerjaan. Dalam bidang ketenagakerjaan, komunitas ini
juga mengisyaratkan dibebaskannya mobilitas tenaga kerja intra-ASEAN dalam
kerangka movement of natural persons yang segaris dengan pandangan WTO, yaitu mobilitas kaum profesional (highly skilled) akibat adanya kegiatan perdagangan dan investasi.
Dengan
demikian, tenaga kerja yang tak masuk kategori profesional atau sangat ahli
tak diperbolehkan mengakses pasar kerja ASEAN walau tenaga mereka dibutuhkan
industriawan atau pengusaha yang tersebar di negara-negara ASEAN, terkecuali
jika ada perjanjian bilateral yang membolehkannya.
Dengan
melihat postur angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi tingkat
pendidikan rendah dan masih dibutuhkannya kaum profesional Indonesia dalam
pembangunan ekonomi nasional, sudah dapat dipastikan akan lebih banyak
mobilitas kaum profesional yang masuk (inflow)
ke pasar kerja di Indonesia dibandingkan dengan kaum profesional Indonesia
yang keluar (outflow) untuk
memasuki pasar kerja ASEAN. Jika ini terjadi, dalam perspektif merebut
peluang pasar kerja, Indonesia akan merugi.
Dalam perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) bidang ketenagakerjaan ini memang telah dibuat payung perjanjian
pengakuan bersama (mutual recognition
agreement/MRA) untuk beberapa jenis pekerjaan yang bisa menjadi tujuan
mobilitas tenaga kerja intra-ASEAN. Saat ini sudah terdapat delapan jenis
pekerjaan yang telah mendapat payung MRA dari ratusan jenis pekerjaan yang
bisa digali dalam pasar kerja ASEAN. Jenis pekerjaan itu adalah insinyur,
arsitek, praktisi medis/dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, surveyor
profesional, dan tenaga pariwisata profesional. Dari delapan jenis pekerjaan itu, tampak
jelas perekonomian Indonesia masih kekurangan delapan jenis tenaga kerja
profesional tersebut sehingga mengharapkan kaum profesional itu tetap bekerja
di Tanah Air. Meski sudah terdapat payung MRA, tenaga kerja tak otomatis bisa
mengakses pasar kerja ASEAN, karena negara penerima masih diperbolehkan
menetapkan regulasi sebagai syarat diterimanya tenaga kerja asing.
Strategi ketenagakerjaan
Memperhatikan
kondisi ini, untuk menghindari potensi kerugian pada tahun-tahun mendatang,
perlu strategi ketenagakerjaan yang perlu dipercepat dan diintensifkan dalam
masa satu tahun ke depan. Beberapa langkah strategi itu adalah, pertama,
pemerintah perlu mengampanyekan dan mengimbau komunitas pengusaha di
Indonesia, baik lokal maupun asing, untuk tetap mempekerjakan tenaga kerja
lokal.
Jika
pilihan memakai tenaga kerja asing adalah betul-betul pilihan profesional,
itu masih bisa dimengerti. Namun, tak jarang pilihan komunitas pengusaha itu
justru terjadi karena ada semacam tren atau rasa lebih percaya diri jika
mempekerjakan tenaga asing, padahal kemampuan pekerja lokal tak kalah hebat.
Dengan
kata lain, para pengusaha itu tak boleh bermental inferior atau lebih jauh
lagi bermental ”inlander” yang menganggap semua yang berbau ”asing” pasti
hebat. Demikian juga pemerintah perlu mengampanyekan dan mengimbau komunitas
profesional agar tetap bekerja di Tanah Air sejauh jenis pekerjaan itu
tersedia, karena sikap ini bagian dari pengabdian nyata kepada bangsa meski
ada tawaran upah lebih tinggi di pasar kerja ASEAN. Kesadaran ini juga bisa
disebut sebagai revolusi mental dalam menghargai kemampuan negeri sendiri.
Kedua,
pemerintah perlu mewajibkan agar negara mitra asal pekerja yang akan datang
ke Indonesia memenuhi persyaratan tertentu, misalnya telah meratifikasi
delapan Konvensi Dasar ILO dan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang
Perlindungan Hak-hak Buruh Migran Beserta Anggota Keluarganya. Sejauh ini,
dari 10 negara ASEAN, hanya Filipina dan Indonesia yang sudah meratifikasi.
Penetapan
syarat seperti ini sangat dibenarkan karena konvensi-konvensi internasional
itu dilakukan lembaga internasional resmi dan ini wujud kepatuhan Indonesia
terhadap konvensi-konvensi internasional itu. Pemerintah dapat pula
menetapkan persyaratan bahwa pekerja asing yang akan masuk wajib mengerti dan
bisa berbahasa Indonesia sebagai dasar transfer teknologi dan pengetahuan (know-how).
Ketiga,
program jemput bola (reach out)
untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja secara sistematik dan masif.
Pemerintah tak boleh menunggu kaum pekerja datang, tetapi harus jemput bola
mendatangi komunitas-komunitas pekerja profesional tersebut. Agar program sertifikasi
ini bisa diikuti sebanyak-banyaknya pekerja Indonesia, sarana menuju
sertifikasi seperti pendidikan, khususnya pendidikan profesi dan kejuruan
serta pusat-pusat pelatihan yang layak dan berstandar internasional, harus
dibangun.
Dengan
begitu, akan tercipta suatu link-train-match sebagai upaya perluasan
penyerapan tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Tugas ini tak
harus melulu pemerintah, tetapi bisa juga pihak swasta yang melakukan
mengingat banyak balai latihan kerja yang berkualitas sangat bagus juga
dimiliki swasta.
Keempat,
melakukan diplomasi bilateral setingkat kepala pemerintahan atau setidaknya
setingkat menteri untuk membuka pasar kerja di luar delapan jenis pekerjaan
yang sudah terpayungi MRA. Untuk perluasan pasar kerja internasional,
diplomasi ini bahkan bisa saja dilakukan dengan negara-negara non-ASEAN
mengingat potensi pasar kerja itu terbuka luas.
Dalam
diplomasi, yang perlu ditekankan adalah sejauh mungkin mengurangi hambatan
yang tak perlu dan artifisial oleh negara mitra penerima, sejauh perusahaan
di negara itu sudah bersedia menerima kualifikasi tenaga kerja dari
Indonesia. Selama ini, sering terjadi perusahaan di suatu negara mitra
”menjerit” meminta tenaga kerja dari Indonesia, tetapi mereka tak bisa
merekrut karena ada hambatan kebijakan negara mitra itu.
Selanjutnya,
akan lebih kuat lagi jika dalam diplomasi ketenagakerjaan juga dikaitkan
dengan trade off dalam kerja sama perdagangan dan investasi yang telah
menguntungkan negara mitra itu. Singkatnya, jika negara mitra mendapat
manfaat dan keuntungan besar dari perdagangan dan investasi, sudah selayaknya
mereka juga membuka pasar kerjanya untuk tenaga kerja dari Indonesia sejauh
memang dibutuhkan perusahaan-perusahaan di negara mitra tersebut.
Kelima, untuk menyambut
kebutuhan jangka menengah dan panjang, perlu suatu perencanaan tenaga kerja
nasional yang terintegrasi dengan perencanaan industri nasional, terutama
industri manufaktur, pertanian dan perkebunan, serta kelautan dan perikanan.
Dengan perencanaan terintegrasi, sudah selayaknya bisa mengurangi
ketidakpadupadanan (mismatch)
antara keluaran (output) pendidikan dan latihan dengan kebutuhan pasar kerjanya. Dengan begitu,
tak ada alasan bagi pengusaha di Indonesia untuk mendatangkan
berbondong-bondong pekerja asing demi menjalankan usahanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar