Mencegah
Korupsi
Ahmad Taufik ; Wartawan,
Kandidat
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi 2014
|
KORAN
TEMPO, 30 September 2014
Ada dua pendekatan penting dalam menghambat berkembangnya korupsi,
yakni mencegah dan memberantas.
Orang medis mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Jokowi
menyebutnya Revolusi Mental, seraya menganjurkan gerakan rakyat untuk tidak
memberi suap dan hadiah (gratifikasi). Dari sini, diharapkan frekuensi
penyalahgunaan wewenang yang mengharapkan suap akan berkurang.
Sedangkan dalam memberantas, melihat karakternya yang punitive alias menghukum, atau
membikin jera, tak dapat kita menggunakan gerakan rakyat. Tidak bisa tidak,
kita hanya dapat mengandalkan negara untuk memberantas.
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, ada 13 pasal
yang memberi definisi korupsi, semuanya dirumuskan dalam 30 bentuk/jenis
tindak pidana. Dari 30 jenis itu, bisa dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu
kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan,
perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta gratifikasi.
Lalu, dari mana kita mulai untuk menangani kasus korupsi? Saya termasuk
yang tidak percaya, bahwa korupsi adalah budaya. Korupsi bisa diminimalkan.
Seperti yang disebut di atas, bisa dimulai dari mencegah, dan itu datang dari
diri kita sendiri, lingkungan, dan dengan cara mengorganisasi sebuah gerakan
bersama. Bukankah seorang sahabat Nabi berkata, kejahatan yang terorganisasi
bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisasi?
Selama ini, memang kartel dan mafia yang mengorganisasi kejahatan untuk
menguasai bidang-bidang yang menguntungkan. Namun, jika gerakan rakyat bisa
mengorganisasi diri dengan baik untuk mencegah korupsi, nantinya orang-orang
"jahat" saja yang bertahan melakukannya. Meski, kita harus
berhati-hati membedakan sanksi terhadap orang yang lalai (culpa) dan yang sengaja (dobus).
Di mana pun, gerakan rakyat dapat menjadi instrumen efektif untuk
mematahkan suatu kebiasaan buruk di antara para pejabat atau pegawai negeri,
atau sekadar menghabisi lawan politik. Karena itulah, agar tak disalahgunakan
untuk kepentingan tertentu, kontrol di atas menjadi penting.
Agar senantiasa bersih dari kepentingan politik, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yang selama ini memainkan peran sentral dalam memerangi
korupsi, juga harus sering melakukan kontrol diri. Bukankah untuk
membersihkan ruangan, dibutuhkan sapu yang bersih pula. Apalagi, khusus untuk
KPK, pada saat yang sama dia juga harus mempertajam kemampuannya
"bersahabat dengan koruptor" dalam bentuk yang kita kenal sebagai justice collaborator atau whistle blower.
Karena korupsi juga merupakan tindakan kolektif, seorang koruptor yang
ditangkap diharapkan dapat mengaku dan menunjukkan pelaku lain yang lebih
besar. "Getok tular" ini dinilai cukup berhasil, namun jika tak
dikelola dengan baik. Akhirnya, sang justice
collaborator bisa menjadi mesin ATM atau bahkan korban tebang pilih.
Walhasil, dengan mencegah dan memberantas korupsi serta mengembalikan
kekayaan nasional kepada yang berhak, pemerintah tak perlu membebani rakyat
dengan berbagai kenaikan biaya hidup. Ayolah berbuat, kita semua bekerja
bersama-sama untuk kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar