Minggu, 12 Oktober 2014

Hari Habitat 2014

Hari Habitat 2014 

Tommy Firman   ;   Guru Besar ITB;
Senior Research Fellow pada Ash Center for Democratic Governance and Innovation, Harvard Kennedy School of Government, Cambridge, Massachusetts
KOMPAS,  11 Oktober 2014




PADA 1985 Sidang Umum PBB menetapkan Hari Habitat sedunia tiap Senin pertama Oktober. Tujuan peringatan Hari Habitat adalah mengingatkan dunia akan kondisi serta masalah perkotaan terakhir dan hak untuk memperoleh permukiman yang layak bagi semua orang.

Hari Habitat 2014 bertema  ”Voices from Slums” untuk memahami dan menyadari sekaligus meningkatkan kondisi kehidupan pada permukiman kumuh di perkotaan.

Sejak Hari Habitat diperingati pada 1986, sudah banyak tema mengenai perkotaan, khususnya untuk negara sedang berkembang, seperti perumahan, transportasi, dan energi yang terjangkau, anak-anak, wanita, manula, penyandang cacat, hingga lingkungan permukiman yang sehat dan aman.

Secara spesifik peringatan Hari Habitat 2014 dengan tema ”Voice from Slums” adalah untuk mengembangkan mekanisme ketahanan masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh, perbaikan lingkungan, pertukaran pengalaman antarnegara untuk perbaikan kualitas kehidupan di permukiman kumuh, dialog antar-pemangku kepentingan, serta merumuskan kebijakan untuk peningkatan kualitas kehidupan di permukiman kumuh.

Tema ”Voice from Slums” memang sangat relevan dengan upaya meningkatkan kualitas permukiman di perkotaan. Dari perspektif lokal, sesungguhnya pertanyaan yang mendasar adalah sejauh mana tema-tema tersebut telah berdampak luas dan signifikan pada perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan di perkotaan serta pengaruhnya pada pola pikir dan pola tindak pihak-pihak terkait dengan pembangunan dan pengelolaan kota.

Kepemimpinan

Belajar dari pengalaman Indonesia, khususnya pada era otonomi daerah dan desentralisasi, faktor sangat penting dalam pembangunan dan pengelolaan kota dan perkotaan adalah kepemimpinan wali kota, bupati, dan jajarannya secara kolektif.

Banyak kota dan kabupaten di Indonesia dipandang berhasil
karena wali kota, bupati, atau gubernurnya memiliki kepemimpinan yang baik, visi dan misi yang jelas tentang pembangunan kota, serta keterbukaan dan
tanggung jawab kepada masyarakat.

Semula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diperkirakan pemerintah daerah yang memiliki sumber daya finansial tinggi, seperti minyak, tambang, hutan, dan sumber daya lain termasuk pajak properti, dapat membangun kotanya dengan lebih baik. Ternyata hal itu tidak otomatis.

Memang sumber daya finansial yang lebih besar yang disalurkan melalui dana bagi hasil (DBH) maupun dana alokasi khusus (DAK) adalah potensi yang sangat signifikan dalam pembangunan kota di samping potensi pendapatan lain, khususnya pendapatan asli daerah (PAD). Namun, tanpa kepemimpinan yang baik secara kolektif dari pengelola kota dan kabupaten, potensi ini belum tentu dapat diaktualkan.

Kenyataannya banyak pemerintah kota atau kabupaten tidak memiliki sumber daya finansial besar, tetapi berhasil memberikan pelayanan dasar kepada masyarakatnya karena ada unsur kepemimpinan yang baik.

Bagaimana memilih pemimpin daerah yang baik? Ini memang tantangannya. Sebenarnya pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung adalah mekanisme yang relevan, sayang sistem yang baik ini dibatalkan oleh para elite politik di DPR.

Perlu implementasi

Kesimpulannya, tema Hari Habitat 2014, yaitu ”Voices from Slums” seperti juga tema-tema Hari Habitat tahun-tahun sebelumnya sangat relevan dengan kondisi kota dan perkotaan saat ini, khususnya untuk negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Meski demikian, tanpa implementasi konkret, tema tersebut hanya menjadi slogan-slogan yang utopis.

Agar tema-tema seperti yang diperingati pada Hari Habitat terwujud, perlu ada kepemimpinan kolektif yang baik dari pemimpin pemerintah kota dan kabupaten, bukan hanya kebutuhan sumber finansial semata. Jika pada masa lalu pembangunan dan pengelolaan perkotaan terkendala kelangkaan kemampuan teknis, dewasa ini kendala itu mulai bergeser pada perlu kehadiran kepemimpinan dan kapasitas kelembagaan pengelolaan kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar