Kamis, 09 Oktober 2014

Membuat Kapok Koruptor

Membuat Kapok Koruptor

Achmad Fauzi  ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
KOMPAS,  08 Oktober 2014




PENERAPAN pidana tambahan terhadap koruptor merupakan langkah maju pemberantasan korupsi. Pidana tambahan dipandang perlu disertakan dengan pidana pokok mengingat aspek mudarat korupsi menghancurkan negara dan keadaban sosial. Tentu hakim telah matang mempertimbangkan untuk menambah hukuman kepada koruptor.

Korupsi yang terus membiak dalam lingkup kekuasaan dan tak ada tanda akan berakhir tampaknya menjadi alasan hukum bagi hakim yang sifatnya memaksa. Penerapan pidana tambahan terhadap koruptor dalam situasi memaksa dianggap patut supaya kejahatan serupa tak terjadi lagi dan koruptor kapok.

Penerapan pidana tambahan diatur di dalam Pasal 10 KUHP bahwa pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan meliputi pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Cabut hak politik

Penerapan pidana tambahan di pengadilan tipikor jamak dijumpai. Hanya saja, baru dua terpidana korupsi yang vonis pidana tambahannya berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik. Pertama, pencabutan hak politik terhadap mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI Irjen Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM. Vonis dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang kemudian dikukuhkan majelis di tingkat kasasi. Kedua, pencabutan hak politik terhadap  Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus impor daging sapi. Vonis pidana pokok Luthfi yang semula 16 tahun juga diperberat majelis kasasi menjadi 18 tahun penjara.

Untuk membuat koruptor kapok, pengadilan tipikor pernah menerapkan uang pengganti. Pedoman jumlah pembayaran uang pengganti mengacu pada Pasal 18 Ayat (1b) UU No 31/1999: sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penerapan uang pengganti sebagai pidana tambahan inilah yang mendorong keefektifan pengembalian kerugian negara.

Selama ini penerapan hukuman badan an sich yang relatif rendah memanjakan  koruptor. Tatkala  keluar dari penjara, mereka masih bisa hidup makmur dan menikmati hasil kejahatannya. Aset koruptor berjumlah besar dan telah terintegrasi dalam sebuah kapital perusahaan berskala internasional. Kondisi terbalik justru dialami negara yang kian kelimpungan lantaran kekayaannya terus dijarah koruptor.

Membuat kapok koruptor melalui proses hukum yang transparan, tegas, dan independen merupakan conditio sine qua non. Semua lembaga yang terkait dalam pemberantasan korupsi harus menjaga kekompakan sebab sistem peradilan tindak pidana korupsi merupakan satu rangkaian proses yang melibatkan banyak lembaga. Harus ada satu pandangan sama dalam mendefinisikan efek jera. KPK, kejaksaan, pengadilan, dan pemerintah perlu terus mencari formula yang tepat agar koruptor tak terkesan dimanjakan.

Komitmen KPK

KPK saat ini telah menunjukkan komitmennya. Kesungguhan KPK dalam karsa memberantas korupsi tak diragukan. Lokus incaran acap bersinggungan dengan elite kekuasaan, tetapi nyali membongkar penyakit utama bangsa ini tak pernah kendur. Sudah tiga menteri pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dijerat KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng divonis bersalah dan harus mendekam di penjara dalam kasus korupsi pembangunan Sport Center di Hambalang, Bogor. Menteri Agama Suryadharma Ali telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji 2013. KPK menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan terhadap rekanan Kementerian ESDM.

Membongkar kasus korupsi di kalangan elite merupakan tantangan berat bagi KPK. Intrik politik dan tarik-menarik kepentingan kerap terjadi. Wajar apabila kebanyakan pemain pinggiran yang dijerat. Aktor utama yang bersembunyi di balik benteng kekuasaan sulit tersentuh. Sebagai masukan, keteguhan jaga prinsip independensi dan imparsialitas  sangat penting agar skema pemberantasan korupsi ke depan jauh dari stigma tebang pilih.

Pengadilan tipikor juga (seharusnya) telah mengimbangi ritme semangat yang dibangun KPK. Putusan MA yang spektakuler dan memberikan efek jera kepada koruptor harus dijadikan kiblat bagi pengadilan tipikor di daerah. Putusan kontroversial yang membebaskan koruptor  menjadi pelajaran agar ke depan lebih baik lagi.

Kejaksaan perlu terus mereformasi diri. Beberapa tunggakan terpidana korupsi yang belum dieksekusi harus segera diselesaikan dan dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik. Begitu pula  Kementerian Hukum dan HAM; diperlukan  persepsi yang sama dalam memandang bahaya korupsi sebab kementerian ini beberapa waktu lalu telah melakukan pembebasan bersyarat kepada Hartati Murdaya,  terpidana kasus suap Bupati Buol.

Mari mengapokkan koruptor. Tutup akses koruptor agar tak menduduki jabatan publik. Pilih pejabat harus selektif dengan menelusuri rekam jejak dan kedalaman integritas. Desain sistem agar tak membuka peluang tumbuhnya praktik korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar