Membuat
Kapok Koruptor
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Tarakan,
Kalimantan Utara
|
KOMPAS,
08 Oktober 2014
PENERAPAN
pidana tambahan terhadap koruptor merupakan langkah maju pemberantasan
korupsi. Pidana tambahan dipandang perlu disertakan dengan pidana pokok
mengingat aspek mudarat korupsi menghancurkan negara dan keadaban sosial.
Tentu hakim telah matang mempertimbangkan untuk menambah hukuman kepada
koruptor.
Korupsi
yang terus membiak dalam lingkup kekuasaan dan tak ada tanda akan berakhir
tampaknya menjadi alasan hukum bagi hakim yang sifatnya memaksa. Penerapan
pidana tambahan terhadap koruptor dalam situasi memaksa dianggap patut supaya
kejahatan serupa tak terjadi lagi dan koruptor kapok.
Penerapan
pidana tambahan diatur di dalam Pasal 10 KUHP bahwa pidana terdiri dari
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan meliputi pencabutan hak
tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Cabut hak politik
Penerapan
pidana tambahan di pengadilan tipikor jamak dijumpai. Hanya saja, baru dua
terpidana korupsi yang vonis pidana tambahannya berupa pencabutan hak politik
untuk dipilih dalam jabatan publik. Pertama, pencabutan hak politik terhadap
mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI Irjen Djoko Susilo dalam
kasus korupsi simulator SIM. Vonis dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
yang kemudian dikukuhkan majelis di tingkat kasasi. Kedua, pencabutan hak
politik terhadap Luthfi Hasan Ishaaq
dalam kasus impor daging sapi. Vonis pidana pokok Luthfi yang semula 16 tahun
juga diperberat majelis kasasi menjadi 18 tahun penjara.
Untuk
membuat koruptor kapok, pengadilan tipikor pernah menerapkan uang pengganti.
Pedoman jumlah pembayaran uang pengganti mengacu pada Pasal 18 Ayat (1b) UU
No 31/1999: sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi. Penerapan uang pengganti sebagai pidana tambahan
inilah yang mendorong keefektifan pengembalian kerugian negara.
Selama
ini penerapan hukuman badan an sich
yang relatif rendah memanjakan
koruptor. Tatkala keluar dari
penjara, mereka masih bisa hidup makmur dan menikmati hasil kejahatannya.
Aset koruptor berjumlah besar dan telah terintegrasi dalam sebuah kapital perusahaan
berskala internasional. Kondisi terbalik justru dialami negara yang kian
kelimpungan lantaran kekayaannya terus dijarah koruptor.
Membuat
kapok koruptor melalui proses hukum yang transparan, tegas, dan independen
merupakan conditio sine qua non. Semua
lembaga yang terkait dalam pemberantasan korupsi harus menjaga kekompakan
sebab sistem peradilan tindak pidana korupsi merupakan satu rangkaian proses
yang melibatkan banyak lembaga. Harus ada satu pandangan sama dalam
mendefinisikan efek jera. KPK, kejaksaan, pengadilan, dan pemerintah perlu
terus mencari formula yang tepat agar koruptor tak terkesan dimanjakan.
Komitmen KPK
KPK saat
ini telah menunjukkan komitmennya. Kesungguhan KPK dalam karsa memberantas
korupsi tak diragukan. Lokus incaran acap bersinggungan dengan elite
kekuasaan, tetapi nyali membongkar penyakit utama bangsa ini tak pernah
kendur. Sudah tiga menteri pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
dijerat KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng divonis
bersalah dan harus mendekam di penjara dalam kasus korupsi pembangunan Sport Center di Hambalang, Bogor.
Menteri Agama Suryadharma Ali telah ditetapkan sebagai tersangka kasus
korupsi dana haji 2013. KPK menetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Jero Wacik sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan terhadap rekanan
Kementerian ESDM.
Membongkar
kasus korupsi di kalangan elite merupakan tantangan berat bagi KPK. Intrik
politik dan tarik-menarik kepentingan kerap terjadi. Wajar apabila kebanyakan
pemain pinggiran yang dijerat. Aktor utama yang bersembunyi di balik benteng
kekuasaan sulit tersentuh. Sebagai masukan, keteguhan jaga prinsip
independensi dan imparsialitas sangat
penting agar skema pemberantasan korupsi ke depan jauh dari stigma tebang
pilih.
Pengadilan
tipikor juga (seharusnya) telah mengimbangi ritme semangat yang dibangun KPK.
Putusan MA yang spektakuler dan memberikan efek jera kepada koruptor harus
dijadikan kiblat bagi pengadilan tipikor di daerah. Putusan kontroversial
yang membebaskan koruptor menjadi
pelajaran agar ke depan lebih baik lagi.
Kejaksaan
perlu terus mereformasi diri. Beberapa tunggakan terpidana korupsi yang belum
dieksekusi harus segera diselesaikan dan dipertanggungjawabkan secara
transparan kepada publik. Begitu pula
Kementerian Hukum dan HAM; diperlukan
persepsi yang sama dalam memandang bahaya korupsi sebab kementerian
ini beberapa waktu lalu telah melakukan pembebasan bersyarat kepada Hartati
Murdaya, terpidana kasus suap Bupati
Buol.
Mari mengapokkan koruptor. Tutup akses koruptor agar tak menduduki
jabatan publik. Pilih pejabat harus selektif dengan menelusuri rekam jejak
dan kedalaman integritas. Desain sistem agar tak membuka peluang tumbuhnya
praktik korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar