Kelas
Menengah Tanpa Demokrasi
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
08 Oktober 2014
UNJUK
rasa pembangkangan sipil di Hongkong SAR (Wilayah Administrasi Khusus) sepekan
lalu akhirnya kehilangan momentum. Ultimatum Kepala Eksekutif Hongkong SAR
Leung Chun Ying, Minggu (5/10), untuk membuka akses ke kantor pemerintah
mengakhiri kerumunan massa dari kawasan Causeway Bay, Admiralty, sampai
Central yang menjadi sentra keuangan global.
Melemahnya
tekanan pelajar dan mahasiswa Hongkong atas tuntutan pelaksanaan pemilihan
kepala eksekutif langsung pada tahun 2017 nanti setidaknya dipengaruhi
beberapa faktor. Pertama, gerakan pembangkangan sipil melalui gerakan
Pendudukan Central tak punya pemimpin memadai yang mengatur strategi dan
taktik massa dalam mendorong tuntutan atau pengaturan logistik bagi massa
dalam jumlah masif.
Kedua,
terpecahnya pendapat penduduk Hongkong yang berjumlah sekitar 7 juta orang,
antara yang pro dan anti gerakan. Hal ini membenarkan pandangan umum,
masyarakat Hongkong memiliki ciri apolitis, tidak memiliki konsep perjuangan
kelas yang melulu berisi kelas menengah, dan terbiasa dalam kehidupan duopoli
dan monopoli kehidupan ekonomi yang dikendalikan para taipan Hongkong,
seperti Li Ka Sing (Li Jiacheng) dan para biliuner lain.
Ketiga,
kebangkitan kelas menengah masyarakat Tionghoa tanpa demokrasi merupakan
fenomena umum. Tidak hanya di Hongkong, tetapi juga di Singapura atau
Malaysia, ataupun di daratan RRT sendiri. Konseptualisasi budaya politik
Tionghoa pada umumnya dan prioritas orang Tionghoa terhadap prinsip demokrasi
berbeda dengan masyarakat dunia lainnya.
Fenomena
ini pun sangat lekat dalam pemikiran masyarakat Hongkong secara umum. Ketika persoalan
gejolak masyarakat mulai berhadapan antara pilihan ketertiban sosial dan
demokrasi, budaya politik Tionghoa condong pada gagasan demokrasi harus
kondusif pada keharmonisan atau ketertiban sosial. Ketertiban menjadi mutlak
bagi orang-orang Tionghoa.
Gejala
ini menjelaskan kenapa kelas menengah masyarakat RRT tidak memerlukan
demokrasi. Kelas menengah RRT akan menolak demokrasi kalau anggota kelas ini
melihat perubahan demokratik akan menyebabkan terjadinya kekacauan sehingga
mengancam kepentingan mereka. Di RRT, demokrasi dianggap baik, tetapi perlu
menekankan sentralisasi terlebih dahulu.
Dari
pengalaman unjuk rasa pembangkangan sipil gerakan pelajar dan mahasiswa
Hongkong, terlihat ketergesaan melakukan tuntutan politik terhadap penguasa
Hongkong. Dari awal, unjuk rasa ini tidak memiliki konseptualisasi konkret
atas persoalan kedaulatan dan yurisdiksi dalam keseluruhan pemikiran ”satu negara dua sistem”.
Ada
pepatah Tionghoa yang menyebutkan, ”bu
shan shi zhe, bu shan zhong”, permulaan yang buruk akan menghasilkan
akhir yang buruk pula. Ini tecermin ketika gerakan ini tidak mampu
menghasilkan kepemimpinan unjuk rasa yang desisif, sebuah cerminan sama pada
tingkat pemerintahan Hongkong, pada tingkat negara RRT yang condong bermain
dengan waktu dalam menghadapi gejolak tuntutan masyarakat.
Di dalam perubahan dinamis globalisasi, budaya politik Tionghoa di mana
saja akan mengacu pada ketertiban. Bagi masyarakat Hongkong, kesadaran akan
hak-hak individu di kalangan kelas menengah, pilihan atas ketertiban sosial
masih lebih penting ketimbang kebebasan politik. Ketika keduanya berhadapan,
kelas menengah Tionghoa memilih non-demokrasi ketimbang kekacauan sosial.
Atau memang ini era kelas menengah tanpa demokrasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar