Selasa, 07 Oktober 2014

Membenahi Halaman Belakang

“Memerdekakan Indonesia dari Pinggiran”

Membenahi Halaman Belakang

Diskusi Desk Opini ”Kompas” dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI)
KOMPAS,  07 Oktober 2014




SEJAK Orde Baru, pengurus negara RI menerapkan konsep ”pusat-pinggiran” dalam memandang dan mengelola Indonesia. Konsep ini merupakan konsekuensi dari pilihan pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan yang dijalankan dengan pendekatan menetes ke bawah. Pendekatan ini membelah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu pusat (perkotaan, kawasan barat, dan Jawa) dan pinggiran (pedesaan, kawasan timur, dan luar Jawa).

Yang berada di posisi pusat diuntungkan oleh kebijakan, finansial, infrastruktur, dan pelayanan negara yang deras mengalir ke arah mereka. Sebaliknya, aset ekonomi dan modal sosial yang ada di pinggiran cenderung disedot ke pusat. Ekonomi di pusat yang tumbuh pesat tidak serta-merta menetes dan memberikan perkembangan yang sama pada pertumbuhan ekonomi di pinggiran. Yang terjadi justru sebaliknya, aktivitas ekonomi di pusat lebih sering membawa masalah bagi pinggiran.

Pendekatan pembangunan seperti itu bukan hanya menciptakan pinggiran dalam pengertian geografis, melainkan juga kelompok dan sektor yang terpinggirkan secara struktural. Di antaranya adalah masyarakat petani, masyarakat adat, dan masyarakat nelayan/pesisir, yang bergantung hidup pada sektor pertanian dan kelautan. Sungguh ironis, Indonesia yang menyebut diri negara pertanian dan maritim justru menempatkan sektor kelautan dan pertaniannya sebagai halaman belakang yang didominasi potret buram kemiskinan dan kekumuhan.

Halaman belakang

Apa yang ada di halaman belakang rumah kita cenderung lepas dari sorotan publik. Karena itu, halaman belakang sering dijadikan tempat meletakkan segala hal yang tidak elok bagi mata publik. Demikian pula dengan halaman belakang Indonesia.

Sudah 69 tahun Indonesia merdeka, tetapi kemiskinan dan kekumuhan tak juga bergeser dari desa. Per September 2012, 63,25 persen penduduk miskin terkonsentrasi di pedesaan dengan mata pencarian sebagai petani dan buruh tani.

Petani gurem dan buruh tani kian bertambah dan ketimpangan penguasaan lahan telah melampaui titik ledak gejolak sosial di pedesaan. BPN mencatat koefisien gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan mencapai 0,536. Bayangkan, rata-rata penguasaan lahan petani di pedesaan di bawah 0,25 hektar, sementara satu korporasi perkebunan sawit, seperti Wilmar International, menguasai 85.000 hektar. Ketimpangan makin menjadi-jadi dengan adanya tanah telantar yang mencapai 7,3 juta hektar dan 84,68 persennya dikuasai korporasi.

Desa dengan segala sumber daya alam dan modal sosialnya hanya dijadikan obyek eksploitasi dan komoditas yang jadi rebutan kepentingan. Kekuasaan negara dan pasar global telah merampas aset ekonomi dan modal sosial
desa, merusak sistem kekeluargaan dan gotong royong, serta memperlemah akses masyarakat desa atas pelayanan hak-hak dasar. Pertanian ekologis dengan beragam tanaman lokal dan berbagai bentuk kearifan lokal kian menghilang dari pedesaan. Kehidupan desa kian didominasi komersialisasi dan sarat konflik.

Bukan hanya masyarakat petani, masyarakat adat dan masyarakat nelayan/pesisir mengalami nasib serupa. Hanya saja, kondisi masyarakat nelayan/pesisir jauh lebih buruk sebab perhatian negara untuk sektor kelautan dikalahkan oleh kepentingan pertambangan, perkebunan sawit, kehutanan, pertanian, dan lainnya.

Ada 13,8 juta warga yang hidup  dari kegiatan perikanan, baik perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, maupun pemasaran. Dari total nelayan perikanan tangkap, 90 persennya adalah nelayan kecil yang membawa pulang rata-rata 2 kilogram ikan per hari dengan nilai Rp 20.000 sampai Rp 30.000. Ini terjadi bukan karena tidak adanya ikan, melainkan buruknya kinerja negara di laut. Ini tampak dari beberapa indikasi berikut.

Pertama, negara membiarkan kapal-kapal berbobot besar menangkap ikan di perairan kepulauan atau beroperasi kurang dari 12 mil laut (21,6 kilometer) dari garis pantai. Akibatnya, kapal ikan kecil kalah bersaing dengan kapal besar. Selain itu, minimnya armada ikan nasional yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (12-200 mil laut atau 21,6-360 kilometer) memberikan peluang besar bagi kapal-kapal asing menjarah kekayaan laut Indonesia.

Kedua, adanya ketimpangan pembangunan infrastruktur perikanan. Terdapat 814-816 pelabuhan perikanan di Indonesia dan 70 persennya ada di kawasan Indonesia barat. Selain itu, tidak tersedia data/informasi dan teknologi yang bisa diakses nelayan, termasuk informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan, harga ikan, dan perangkat keselamatan nelayan.  Akibatnya, penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi, keefektifan dan efisiensi produksi, kelayakan harga jual ikan, hingga keselamatan nelayan masih menjadi persoalan besar.

Ketiga, ketimpangan rantai pengelolaan perikanan. Ini tak terlepas dari kebijakan negara dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mendefinisikan nelayan hanya sebatas mereka yang menangkap ikan di laut. Seluruh aktivitas di luar penangkapan, seperti pengolahan dan pemasaran, bukan urusan nelayan. Akibatnya, ekonomi nelayan sangat bergantung pada penjualan ikan nirolahan yang tak memiliki nilai tambah. Bisa dipahami apabila kinerja usaha pengolahan ikan di Indonesia sangat rendah. Pada 2013, misalnya, dari 19,5 juta ton produksi perikanan tangkap dan budidaya, kurang dari 20 persen yang menjadi produk olahan.

Disorientasi pengelolaan laut membuat wajah desa nelayan/pesisir kian miskin di tengah berlimpahnya sumber daya kelautan. Ini diperburuk oleh kondisi di mana laut  diposisikan sebagai tempat sampah. Di Jawa Tengah, misalnya, tak kurang dari 8.835 meter kubik sampah mengisi kawasan pesisir setiap hari. Dari jumlah tersebut, 67,5 persen diangkut ke pembuangan dan sisanya tetap dibiarkan.

Membenahi halaman belakang

Tekad presiden terpilih Joko Widodo membangun dari pinggiran mengisyaratkan peluang bagi pembenahan halaman belakang Indonesia. Peluang ini diperbesar oleh adanya berbagai instrumen kebijakan/undang-undang yang memberikan mandat pemerintah mengembalikan daulat rakyat atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Beberapa instrumen itu di antaranya adalah  (1) UU No 6/2014 tentang Desa yang mengembalikan hak-hak masyarakat desa; (2) Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menegaskan pendefinisian masyarakat hukum adat dan pengakuan atas hak-haknya; (3) Pembatalan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) atau rezim pengaplingan laut oleh Mahkamah Konstitusi yang disertai dengan perumusan empat hak konstitusional nelayan/masyarakat pesisir dan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, yaitu (1) hak melintas (akses), (2) hak mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun, (3) hak memanfaatkan sumber daya, dan (4) hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih.

Tantangan terbesar dalam menjalankan mandat tersebut adalah keberanian merombak cara mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan menerapkan empat tolok ukur ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.

Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, bukan bagi swasta atau asing. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat menentukan manfaat sumber daya alam. Keempat, penghormatan hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Hanya dengan cara itulah kaum pinggiran mampu menyongsong masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar