Selasa, 07 Oktober 2014

Di Atas Ransel Ku Angkat Kaki

Di Atas Ransel Ku Angkat Kaki

Hari Prasetyo  ;   Wartawan Tempo
KORAN TEMPO,  06 Oktober 2014




"Mas lagi di Jakartakah? Kalau iya, hari ini jadwalnya nonton SCC kan, ya? He-he-he...."

Mas Bro terhenyak membaca pesan itu di jejaring sosial yang ditujukan kepadanya dari seorang sahabat, aktris muda berbakat dari sebuah teater yang punya prospek cerah di negeri ini.

Segera, ia pergi secara tergesa-gesa menuju Galeri Nasional (Galnas) di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, dari kantornya di selatan ibu kota pada suatu hari, hendak menonton pementasannya.

Mas Bro menuju Galnas dengan menumpang beberapa kali angkutan umum dan berbekal sebuah tas punggung atau ransel.

Pementasan berlangsung di salah satu halaman Galnas itu. Bambu menjadi elemen utama yang dimainkan oleh para aktrisnya. Mengutip tulisan pengantar mereka dalam buku pertunjukan, bambu menjadi aktor dan juga simbol dari waktu itu sendiri.

Manusia yang diimpit oleh waktu di berbagai belahan dunia, terutama di perkotaan, menjadi tema pementasan ini.

Tapi, mengapa bambu, bukan ransel yang melekat di punggung Mas Bro, untuk menandai problematik masyarakat perkotaan? Tentu saja, tak ada yang salah dengan pilihan itu.

Ini hanya semacam resepsi dari Mas Bro yang tampak masih berjarak dengan bambu, yang sudah ribuan tahun dikenali oleh manusia. Meski ransel punya riwayat sama panjangnya.

Ransel adalah sebuah wadah yang dipakai di punggung seseorang dan dilindungi dua tali yang memanjang vertikal melewati bahu. Dipakai oleh manusia dari zaman berburu sampai era modern.

Bambu yang terus tumbuh bisa melambangkan manusia yang selalu bisa menyesuaikan diri dengan zaman masing-masing. Tapi Mas Bro termasuk yang tercerabut dari akar tradisi masyarakatnya yang mengakrabi bambu.

Ia larut dalam benda lain yang mengikat manusia di era modern dalam sebuah ketergantungan yang nyaris absolut sehingga layak menjadi simbol atau siap dijadikan penanda sebuah problem manusia perkotaan dalam pentas teater. Benda itu adalah televisi, lemari es, telepon genggam, dan ransel.

Deretan tas ransel di pundak atau di dada para penumpang itu bagaikan sebuah pergelaran seni rupa.

Ia serupa manusia yang pada satu saat memaknai kehidupannya secara fungsional, yakni mencari nafkah untuk makan dan menghidupi diri serta keluarga. Tapi, di lain kesempatan atau saat bersamaan, memaknai kehidupannya sebagai pewujud kesenangan, keindahan, dan eksistensi bagi dirinya dan orang lain.

Ransel itu benda fungsional dan penanda identitas. Puluhan tahun lalu, sambil beramai-ramai memakai sandal jepit dengan satu dari dua tangkai ransel tergantung di bahu kanan, Mas Bro dan kawan-kawan menyusuri lorong kampus sebuah universitas yang dulu berdomisili di Rawamangun. "Ssst anak-anak Sastra lewat, tuh," bisik mereka yang sedang duduk di taman kampus.

Di kursi kereta api Mojopahit dari Stasiun Senen, Jakarta, yang membawanya ke Malang untuk mendaki puncak Mahameru, Mas Bro memandangi tasnya dan membayangkannya serasa koper dalam syair lagu Kereta Laju karya Leo Kristi: "Di atas koper ku angkat kaki Serasa melayang serasa terbang Senyumku terkembang walau kusendiri.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar