Di
Atas Ransel Ku Angkat Kaki
Hari Prasetyo ; Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 06 Oktober 2014
"Mas
lagi di Jakartakah? Kalau iya, hari ini jadwalnya nonton SCC kan, ya?
He-he-he...."
Mas Bro
terhenyak membaca pesan itu di jejaring sosial yang ditujukan kepadanya dari
seorang sahabat, aktris muda berbakat dari sebuah teater yang punya prospek
cerah di negeri ini.
Segera,
ia pergi secara tergesa-gesa menuju Galeri Nasional (Galnas) di kawasan
Gambir, Jakarta Pusat, dari kantornya di selatan ibu kota pada suatu hari,
hendak menonton pementasannya.
Mas Bro
menuju Galnas dengan menumpang beberapa kali angkutan umum dan berbekal
sebuah tas punggung atau ransel.
Pementasan
berlangsung di salah satu halaman Galnas itu. Bambu menjadi elemen utama yang
dimainkan oleh para aktrisnya. Mengutip tulisan pengantar mereka dalam buku
pertunjukan, bambu menjadi aktor dan juga simbol dari waktu itu sendiri.
Manusia
yang diimpit oleh waktu di berbagai belahan dunia, terutama di perkotaan,
menjadi tema pementasan ini.
Tapi,
mengapa bambu, bukan ransel yang melekat di punggung Mas Bro, untuk menandai
problematik masyarakat perkotaan? Tentu saja, tak ada yang salah dengan
pilihan itu.
Ini
hanya semacam resepsi dari Mas Bro yang tampak masih berjarak dengan bambu,
yang sudah ribuan tahun dikenali oleh manusia. Meski ransel punya riwayat
sama panjangnya.
Ransel
adalah sebuah wadah yang dipakai di punggung seseorang dan dilindungi dua
tali yang memanjang vertikal melewati bahu. Dipakai oleh manusia dari zaman
berburu sampai era modern.
Bambu
yang terus tumbuh bisa melambangkan manusia yang selalu bisa menyesuaikan
diri dengan zaman masing-masing. Tapi Mas Bro termasuk yang tercerabut dari
akar tradisi masyarakatnya yang mengakrabi bambu.
Ia larut
dalam benda lain yang mengikat manusia di era modern dalam sebuah
ketergantungan yang nyaris absolut sehingga layak menjadi simbol atau siap
dijadikan penanda sebuah problem manusia perkotaan dalam pentas teater. Benda
itu adalah televisi, lemari es, telepon genggam, dan ransel.
Deretan
tas ransel di pundak atau di dada para penumpang itu bagaikan sebuah
pergelaran seni rupa.
Ia
serupa manusia yang pada satu saat memaknai kehidupannya secara fungsional, yakni
mencari nafkah untuk makan dan menghidupi diri serta keluarga. Tapi, di lain
kesempatan atau saat bersamaan, memaknai kehidupannya sebagai pewujud
kesenangan, keindahan, dan eksistensi bagi dirinya dan orang lain.
Ransel
itu benda fungsional dan penanda identitas. Puluhan tahun lalu, sambil
beramai-ramai memakai sandal jepit dengan satu dari dua tangkai ransel
tergantung di bahu kanan, Mas Bro dan kawan-kawan menyusuri lorong kampus
sebuah universitas yang dulu berdomisili di Rawamangun. "Ssst anak-anak Sastra lewat, tuh," bisik mereka yang
sedang duduk di taman kampus.
Di kursi kereta api Mojopahit dari Stasiun Senen, Jakarta, yang
membawanya ke Malang untuk mendaki puncak Mahameru, Mas Bro memandangi tasnya
dan membayangkannya serasa koper dalam syair lagu Kereta Laju karya Leo Kristi: "Di
atas koper ku angkat kaki Serasa melayang serasa terbang Senyumku terkembang
walau kusendiri.." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar