Rabu, 01 Oktober 2014

Matinya Nalar Demokrasi

Matinya Nalar Demokrasi

Wiwin Suwandi  ;   Pemerhati Tata Negara dan Pegiat Antikorupsi
KORAN TEMPO,  29 September 2014

                                                                                                                       


Dalam teori kekuasaan, demokrasi lahir paling akhir setelah tirani, monarki, dan aristokrasi. Demokrasi adalah pilihan terbaik karena menempatkan demos (rakyat) sebagai pemilik kedaulatan.

Tampaknya hal ini tak dipahami Koalisi Merah Putih, yang ngotot mendorong usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD-tidak lagi secara langsung oleh rakyat-dalam Rapat Paripurna DPR tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 25 September 2014, yang akhirnya mereka menangi. Kemenangan tersebut terasa semu dan hambar di tengah mayoritas aspirasi rakyat yang masih menghendaki pilkada langsung.

Inilah tirani partai politik. Tirani yang dibangun di atas watak kekuasaan yang otoriter: memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas sebagai landasan demokrasi. Tirani yang dibangun di atas keangkuhan dan libido kekuasaan.

Undang-Undang Pilkada sah secara politik, iya, tapi tidak menurut demokrasi yang bertumpu pada asas daulat rakyat. Itu keputusan politik, bukan keputusan demokratis. Itu kemenangan parpol, bukan kemenangan rakyat. Parpol telah membajak demokrasi dengan menggunakan hak konstitusionalnya di parlemen untuk membalut keputusan tersebut dengan baju undang-undang. Seolah-olah sidang paripurna demokratis karena melalui mekanisme voting. Padahal demokrasi tidak sesederhana dan sesempit itu.

Nyata bahwa Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan bertentangan dengan asas dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, tujuan sebuah undang-undang dibentuk adalah menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara, apa pun isu yang diwakili dalam beleid itu. Dengan demikian, sebuah rancangan undang-undang harus didahului dengan kajian akademik yang memuat landasan filosofis, sosiologis, dan historis. Landasan filosofis memuat prinsip daulat rakyat. Bagaimana posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan di hadapan negara sebagai organisasi politik yang rentan silang kepentingan? Apakah undang-undang itu mengayomi segenap rakyat atau hanya menjadi alat kepentingan elite penguasa?

Landasan sosiologis memuat asas keterwakilan, yakni undang-undang harus mewakili aspirasi segenap warga negara. Karena itu, sebuah rancangan undang-undang mesti melewati uji publik sebelum diputuskan menjadi undang-undang. Uji publik itu bisa bersifat formal, misalnya, jajak pendapat dengan metode survei penjaringan aspirasi atau melihat respons pro-kontra yang muncul di tengah masyarakat. Jika mayoritas publik menolak, pembahasan rancangan undang-undang itu wajib dihentikan.

Landasan historis memuat aspek sejarah, yakni undang-undang harus sejalan dengan perjalanan bangsa sebagai negara kesatuan. Ini bukan soal kita pernah melaksanakan demokrasi perwakilan melalui pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada rezim Orde Lama dan Orde Baru dan terbukti gagal. Tapi bagaimana kegagalan menerapkan demokrasi perwakilan itu menjadi "cermin" untuk tidak lagi kembali pada sistem (perwakilan) itu.

UU Pilkada yang baru disahkan telah membawa kita kembali ke belakang, ke era otoriter Orde Baru, zaman saat kekuasaan oligarki bertakhta. Karena itu, demokrasi harus diselamatkan. Uji materi terhadap UU Pilkada adalah jalan konstitusional untuk mengembalikan asas daulat rakyat itu dan menyelamatkan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar