Matinya
Nalar Demokrasi
Wiwin Suwandi ; Pemerhati Tata Negara dan Pegiat Antikorupsi
|
KORAN
TEMPO, 29 September 2014
Dalam teori kekuasaan, demokrasi lahir paling akhir setelah tirani, monarki,
dan aristokrasi. Demokrasi adalah pilihan terbaik karena menempatkan demos
(rakyat) sebagai pemilik kedaulatan.
Tampaknya hal ini tak dipahami Koalisi Merah Putih, yang ngotot
mendorong usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD-tidak lagi secara langsung
oleh rakyat-dalam Rapat Paripurna DPR tentang Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah pada 25 September 2014, yang akhirnya mereka menangi.
Kemenangan tersebut terasa semu dan hambar di tengah mayoritas aspirasi
rakyat yang masih menghendaki pilkada langsung.
Inilah tirani partai politik. Tirani yang dibangun di atas watak
kekuasaan yang otoriter: memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi
mayoritas sebagai landasan demokrasi. Tirani yang dibangun di atas keangkuhan
dan libido kekuasaan.
Undang-Undang Pilkada sah secara politik, iya, tapi tidak menurut
demokrasi yang bertumpu pada asas daulat rakyat. Itu keputusan politik, bukan
keputusan demokratis. Itu kemenangan parpol, bukan kemenangan rakyat. Parpol
telah membajak demokrasi dengan menggunakan hak konstitusionalnya di parlemen
untuk membalut keputusan tersebut dengan baju undang-undang. Seolah-olah
sidang paripurna demokratis karena melalui mekanisme voting. Padahal demokrasi tidak sesederhana dan sesempit itu.
Nyata bahwa Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan bertentangan
dengan asas dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya,
tujuan sebuah undang-undang dibentuk adalah menjamin terpenuhinya hak-hak
konstitusional warga negara, apa pun isu yang diwakili dalam beleid itu. Dengan demikian, sebuah
rancangan undang-undang harus didahului dengan kajian akademik yang memuat
landasan filosofis, sosiologis, dan historis. Landasan filosofis memuat
prinsip daulat rakyat. Bagaimana posisi rakyat sebagai pemilik kedaulatan di
hadapan negara sebagai organisasi politik yang rentan silang kepentingan?
Apakah undang-undang itu mengayomi segenap rakyat atau hanya menjadi alat
kepentingan elite penguasa?
Landasan sosiologis memuat asas keterwakilan, yakni undang-undang harus
mewakili aspirasi segenap warga negara. Karena itu, sebuah rancangan
undang-undang mesti melewati uji publik sebelum diputuskan menjadi
undang-undang. Uji publik itu bisa bersifat formal, misalnya, jajak pendapat
dengan metode survei penjaringan aspirasi atau melihat respons pro-kontra
yang muncul di tengah masyarakat. Jika mayoritas publik menolak, pembahasan
rancangan undang-undang itu wajib dihentikan.
Landasan historis memuat aspek sejarah, yakni undang-undang harus
sejalan dengan perjalanan bangsa sebagai negara kesatuan. Ini bukan soal kita
pernah melaksanakan demokrasi perwakilan melalui pemilihan kepala daerah oleh
DPRD pada rezim Orde Lama dan Orde Baru dan terbukti gagal. Tapi bagaimana
kegagalan menerapkan demokrasi perwakilan itu menjadi "cermin"
untuk tidak lagi kembali pada sistem (perwakilan) itu.
UU Pilkada yang baru disahkan telah membawa kita kembali ke belakang,
ke era otoriter Orde Baru, zaman saat kekuasaan oligarki bertakhta. Karena
itu, demokrasi harus diselamatkan. Uji materi terhadap UU Pilkada adalah
jalan konstitusional untuk mengembalikan asas daulat rakyat itu dan
menyelamatkan demokrasi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar