Ambivalensi
Demokrat
Arya Budi ; Peneliti Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 29 September 2014
Hasil Rapat Paripurna DPR RI pada 26 September 2014 pada dasarnya
mengkonfirmasikan dua nalar penting representasi politik: populisme dan
elitisme. Koalisi Merah Putih (KMP), yang terdiri atas Partai Gerakan
Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai
Persatuan Pembangunan, dan Partai Golongan Karya, berada dalam garis elitisme
dengan mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sementara itu, koalisi
partai yang tergabung dalam pencalonan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani
Rakyat) berada pada posisi politik populisme.
Tentu, dasar pilihan semua fraksi adalah kepentingan politik. Populisme
tidak semata bermakna pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Debat mekanisme
pemilihan kepala daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
adalah persoalan populisme (kepala daerah dipilih langsung oleh
publik-pemilih) dan elitisme (menyerahkan atau mengembalikan pemilihan kepala
daerah dipilih langsung oleh DPRD alias elite partai).
Bagi partai-partai yang tergabung dalam KMP, memenangkan opsi kepala
daerah dipilih DPRD dengan hasil voting 226 suara adalah titik awal memasang
jangkar politik elektoral dari level pusat melalui penguasaan kursi parlemen
sampai level daerah lewat penguasaan kursi legislatif sekaligus eksekutif.
Tentu, output-nya adalah 2019.
Bagi partai-partai pendukung pemerintah Jokowi-Kalla, kalahnya opsi
kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dengan hasil voting hanya 135 suara
berarti lonceng peringatan untuk bersiap dengan inefektivitas pemerintah
akibat manuver politik dari level pusat hingga daerah. Tentu, cerita akan
berubah jika gugatan terhadap hasil rapat final pembahasan RUU Pilkada ini
dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Dalam konfrontasi politik inilah panggung paripurna bagi DPR periode
2014-2019 mempertontonkan ambivalensi Partai Demokrat yang sebenarnya
berkekuatan 129 suara dari 148 anggota. Sikap politik Demokrat terlihat
"tak berjenis kelamin". Media massa, baik elektronik, online,
maupun cetak, sudah merekam drama dan kronologi politik sidang paripurna RUU
Pilkada yang digelar seharian.
Sikap ambivalen Demokrat ditunjukkan oleh dua drama politik. Pertama,
Demokrat semula berada dalam satu barisan dengan partai anggota KMP yang
lantang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD melalui fraksinya di DPR
sejak isu ini diputar oleh para elite KMP. Namun Demokrat mengubah sikap
seusai pemutaran video Susilo Bambang Yudhoyono yang memperlihatkan
dukungannya terhadap pilkada langsung, yang kemudian disusul dengan pilkada
langsung "bersyarat".
Kedua, sepanjang rapat paripurna, Demokrat memperjuangkan opsi ketiga,
yakni pilkada langsung dengan sepuluh syarat. Namun, ketika partai pengusung
Jokowi-Kalla telihat "mengalah" dengan mendukung usul Demokrat itu
dan pimpinan sidang di bawah Priyo Budi Santoso (Golkar) mencabut keputusan
dua opsi, Fraksi Demokrat membacakan sikap untuk netral diikuti walk-out.
Ambivalensi Demokrat inilah yang barangkali disebut Erving Goffman
(1959) sebagai dramaturgi: merintih di depan panggung paripurna, tetapi
sebenarnya tertawa riang di belakang panggung. Prasangka politik bisa saja
muncul. Pertama, pimpinan sidang adalah elite Golkar yang bisa memainkan palu
secara ritmis: memutuskan dua opsi (pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD),
dan lalu mencabutnya sebagai pembenar bahwa usul Demokrat tak diakomodasi.
Atau prasangka kedua, yakni Demokrat bukan aktor tunggal ketika kursi
rapat paripurna berada di bawah kendali Ketua Fraksi Demokrat yang sejak awal
berpolemik dengan perubahan sikap DPP Demokrat dalam soal dukungan terhadap
pilkada langsung. Ketiga, terlepas dari pernyataan "kecewa" SBY
setelah mengetahui kronologi rapat paripurna yang sesungguhnya, sikap
Demokrat menunjukkan karakter kepemimpinan SBY yang bipolar.
Bagaimanapun, walau ada enam anggotanya yang bertahan dan memilih
pilkada langsung, Demokrat perlu dilihat sebagai entitas tunggal. Seluruh
fungsionaris Demokrat meletakkan legitimasi politiknya pada figur SBY yang
secara struktural adalah Ketua Umum, Ketua Dewan Pembina, sekaligus Ketua
Majelis Tinggi Demokrat, plus Presiden RI yang mempunyai kontrol dan akses
atas alat dan sumber daya negara. Nasib demokrasi lokal yang sebenarnya dalam
kontestasi rapat paripurna 26 September terletak di tangan Demokrat-di bawah
kendali SBY-akhirnya terpasung.
Padahal, secara politik, sidang kemarin adalah the last minute bagi Demokrat untuk menggunakan kekuatan
politiknya di parlemen dengan 148 kursi sebelum kursinya menyusut dua kali
lipat menjadi 61 kursi setelah pelantikan anggota Dewan baru pada 1 Oktober
2014. Dominasi Demokrat dan kepemimpinan SBY menemukan antiklimaks di
penghujung periode, baik eksekutif maupun legislatif.
Drama sidang paripurna RUU Pilkada mengingatkan saya pada tesis Joseph
Schumpeter (1961) bahwa democracy is a
competition among elites. Demokrasi lokal menjadi 'untuk, oleh, dan dari
elite'. Partai dan elite di dalamnya bekerja dengan nalarnya sendiri.
Representasi adalah narasi kosong yang kadang terkesan utopis. Dan rakyat
akan mengingatnya, walau sekejap saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar