Lokomotif
Reformasi dan Gerbong Demokrasi
Candra Malik ; Peminat Tasawuf
|
KORAN
TEMPO, 01 Oktober 2014
Batang pokok demokrasi, yaitu hak rakyat untuk memilih atau tidak
memilih--selain hak untuk dipilih-secara langsung, telah ditebang oleh DPR.
Sampai sekarang memang tak jelas benar mengapa anggota parlemen disebut
sebagai wakil rakyat. Mereka lebih cocok disebut wakil konstituen, jika bukan
wakil partai politik. Padahal tak jelas betul pula apakah setiap pemilih yang
mencoblos gambar wajah mereka dulu sewaktu pemilu adalah konstituen atau
anggota partai politik mereka.
Sesampai di gedung parlemen, tak banyak yang benar-benar menyuarakan
aspirasi rakyat. Yang ada pun lantas tak populer. Dari yang sedikit itu,
masih juga tergeser ke pojokan karena ketajamannya dikeroyok oleh batu dan
besi. Kalaupun tak menjadi tumpul, mata pisau wakil-wakil rakyat yang benar-benar
wakil rakyat serta-merta bengkok atau patah setiap membentur perlawanan dari
wakil-wakil partai politik. Pertarungan menjadi tidak seimbang. Suara rakyat
dikalahkan.
Banyak orang baik di lingkaran politik, sesungguhnya. Mereka adalah
orang-orang yang berangkat dari rumah-rumah idealisme untuk cita-cita yang
luhur membangun harkat dan martabat bangsa dan negara. Namun kutukan dewa
hukum bahwa kekuasaan cenderung untuk korup telah membuat orang-orang baik
itu patah arang.
Bangsa ini memang suka euforia. Jika senang, mereka mudah menjadi
terlalu senang sampai lupa diri. Reformasi yang pada zamannya dielu-elukan
sebagai sukses besar perjuangan rakyat, baru hari-hari ini diratapi sebagai
prestasi kebablasan. Tak ada yang serius mengingatkan sesama rakyat untuk
tidak terlalu lama berpesta. Diam-diam, pelan tapi pasti, lokomotif reformasi
membawa gerbong-gerbong demokrasi achteruit
(baca: atret).
Jika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, lalu
siapa yang memilih anggota DPRD? Mengapa tidak sekalian saja dipilih oleh
partai politik? Tak perlu lagi bawa-bawa nama rakyat. Ya, ini kalimat patah
hati, melampaui patah arang. Sesungguhnya bangsa ini dibawa ke arah
kehancuran ketika oleh wakil rakyat diseret mundur. Semakin tidak jelas ke mana
bangsa ini digerakkan para pengendali negara dan pemerintah. Runyam jika
kepala negara dan pemerintah pun mengkhianati rakyat.
Gerakan pemunduran bangsa ini bahaya laten. Rakyat dipaksa oleh
kenyataan di gedung legislatif, yudikatif, dan eksekutif untuk tidak lagi
percaya pada negara dan pemerintah. Wakil rakyat yang jauh lebih paham
tentang politik beserta seluruh adagiumnya yang seolah adiluhung itu tentu cakap benar bersilat lidah di depan rakyat
yang dianggapnya awam. Mereka bukan saja menutup mata dan telinga sendiri,
tapi juga mulai menutup mata dan telinga rakyat--bahkan diam-diam telah
berusaha membungkam mulut rakyat.
Sejarah menulis bangsa ini rentan untuk dipecah belah. Politik adu
domba lebih menakutkan daripada serangan fisik. Politik kebencian menyerang
langsung ke ulu hati rakyat dan pecahlah kebersatuan: sama bangsa tapi saling
mencurigai, bahkan saling memusuhi. Jika bangsa adalah suatu kumpulan manusia
yang dipersatukan oleh persamaan, bangsa ini justru dipersatukan oleh
perbedaan. Ini kokoh sekaligus ringkih.
Tapi, jika partai politik berusaha menjajah rakyat, mereka membangunkan singa
golongan putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar