Minggu, 19 Oktober 2014

Kurawa

                                                                   Kurawa

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS,  12 Oktober 2014

                                                                                                                       


KURAWA bersorak-sorai. Begitulah yang terjadi setiap kali mereka mencapai tahap yang mereka kira bakal membawa ke kemenangan, dengan terbunuhnya para putra Pandawa satu per satu.

Paling dramatik adalah ketika Abimanyu gugur. Ksatria muda yang luar biasa terampil berperang ini dijebak dalam formasi kembang teratai pasukan Kurawa. Pada saat ia terisolasi sendirian itulah ia dikeroyok beramai-ramai oleh kekuatan utama Kurawa seperti Durna, Kripa, Karna, Aswatama, Brihatbala, dan Kritawarma.

Abimanyu tewas mengenaskan. Dia seperti landak. Ribuan anak panah menancap di tubuhnya. Para Kurawa bersorak-sorai, menari-nari, meniup terompet dan memukul genderang kemenangan. Salah satu ksatria Kurawa, Yuyutsu, putra Destarata, malu dan prihatin melihat tingkah saudara-saudaranya.

”Kalian telah melupakan etika dan moral di medan perang. Mestinya kalian merasa malu atas apa yang kalian lakukan,” katanya seperti diceritakan kembali oleh Rajagopalachari dengan sangat bagus dalam Mahabharata.

Di angkasa, burung-burung bangkai yang melayang-layang di atas medan perang pun tampak menyesalkan kejadian itu.

Etika dan moral. Wayang selalu terasa aktual, karena dia menyentuh antara lain dua aspek tersebut. Terlebih lagi, ketika etika dan moral dalam kehidupan keseharian kita semakin merosot. Berapa banyak orang kini menjadi muak, hoekk, menonton televisi yang menayangkan ulah para politisi?

Kembali ke wayang. Kekayaan cerita wayang memunculkan berbagai tafsir yang tak kalah kaya. Di antaranya suatu tafsir yang berhubungan dengan politik tubuh, di mana tokoh-tokoh wayang dianggap sejatinya menggambarkan tubuh dan diri kita.

Dalam tafsir ini, putra tertua Pandawa, Yudhistira, dianggap simbol pikiran. Oleh karena itu, dia selalu gelisah, terus-menerus berkonflik dalam diri sendiri. Putra kedua Pandawa, Bima, merupakan simbol tubuh. Nama lain Bima, yakni Werkudara, artinya adalah ’perut serigala’, untuk menyebut pinggangnya yang gendut dan rasa laparnya yang sulit terpuaskan. Putra ketiga, Arjuna, adalah simbol mata. Hemm, itukah yang menyebabkannya lirak-lirik setiap kali ada wanita cantik lewat? Saha eta? Lalu si kembar Nakula-Sadewa, simbol telinga, terlihat tak banyak bicara, selain hanya mendengar. Dalam konteks ini pula, kemungkinan mengapa lalu digambarkan mereka mengawini satu wanita, yakni Drupadi.

Menarik melihat satu per satu tokoh wayang dalam perspektif ini. Durna menyimbolkan jantung. Saat suasana tenang, damai, dia baik-baik saja. Dia guru yang baik bagi semua pihak, Kurawa maupun Pandawa. Hanya begitu suasana berubah, situasi tegang, dia akan menjadi sibuk, termasuk mengompori Raja Duryudana untuk segera melancarkan perang.

Sebagai guru yang tak tertandingi kesaktiannya, dalam Mahabharata diceritakan, Durna hanya bisa dikalahkan ketika dibohongi bahwa putra kesayangannya, Aswatama, tewas. Durna menjadi patah hati, kehilangan hasrat hidup dan membuang senjatanya.

Rajagopalachari mendaraskan cerita, bagaimana waktu itu kemudian dengan mudah Drestadumena menebas leher Durna. Jiwa Durna lepas dari badannya dengan cahaya yang memancar terang dan kemudian melayang menuju surga.

Yang paling menyebalkan bagi banyak orang barangkali adalah Sengkuni. Ia simbol lidah. Dalam dunia politik kita, orang bisa melihat siapa yang lidahnya tak terjaga. Tahun 1998 bilang begitu, sekarang bilang begini, pagi dia bilang F sore bilang CK. Sengkuni adalah mastermind tipu daya permainan dadu Kurawa versus Pandawa yang menyebabkan Pandawa kehilangan segala-galanya, termasuk istrinya, Drupadi. Dursasana menelanjangi Drupadi di depan mata banyak orang, serupa penguasa melucuti hak-hak rakyat di depan hidung kita.

Pandawa kemudian mengolah diri, sebelum Bharatayuda tiba. Olah kanuragan para ksatria, penguasaan diri, kesanggupan menjaga moral dan etika, adalah upaya untuk membuat kehidupan tetap terjaga. Itulah politik tubuh, yang berbeda dari politik Senayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar