Minggu, 19 Oktober 2014

Gadungan

                                                                Gadungan

Trias Kuncahyono  ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
KOMPAS,  12 Oktober 2014

                                                                                                                       


SETAIP orang, politisi, dapat mengklaim bahwa apa yang dilakukan adalah demokratis. Setiap orang juga dapat mengklaim sebagai seorang demokrat sejati; sebagai pejuang dan pembela demokrasi. Semua itu sah-sah saja.

Ingat, tokoh neofasis Rusia, Vladimir Zhirinovsky. Tokoh ultranasionalis ini bersama Partai Demokratik Liberal Rusia dalam pemilu parlemen (1993) meraih 22,8 persen suara. Apa ia seorang demokrat hanya dengan mendirikan partai ”Demokratik Liberal”?

Dulu, Jerman Timur bernama resmi Republik Demokratik Jerman. Padahal, pemerintah negeri itu di tangan partai tunggal berhaluan Marxis-Leninis. Tak usah jauh-jauh, Korea Utara juga bernama resmi Republik Demokratik Rakyat Korea. Negeri itu juga di bawah kekuasaan partai tunggal, Partai Para Pekerja Korea, yang berideologi Stalinis.

Bagaimana mungkin demokrasi tanpa partai politik? Partai politik adalah pilar demokrasi. Mungkinkah sebuah bangunan demokrasi tanpa pilar? Namun, sebaliknya, apakah apabila banyak pilar berdiri, juga berarti berdirilah bangunan demokrasi, berdirinya rumah rakyat itu? Bukankah menurut konsep klasik, kata ”demokrasi” adalah gabungan dua kata Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Dua kata itu lalu dikombinasikan menjadi ”demokrasi” yang berarti ”pemerintahan oleh rakyat”.

Shaukat M Zafar dalam artikelnya di Pakistan Observer (22/1/2003) menulis, rakyat Pakistan semakin menyadari bahwa ”kedaulatan” pemerintah demokratik mereka sudah tidak ada lagi. Kedaulatan dan demokrasi ada tangan kaum elite yang memiliki kepentingan finansial di luar.

Politik telah menjadi bisnis orang-orang kaya di Pakistan. Sistem parlementer yang dianut Pakistan hanya cocok untuk para elite politik feodal, yang merebut kekuasaan lewat sistem ini. Pada akhirnya, Zafar menulis, ”demokrat gadungan” tentu saja melahirkan demokrasi gadungan.

Tes yang sesungguhnya dari demokrasi adalah apakah orang—di semua level masyarakat; entah itu rakyat jelata, elite partai, anggota legislatif, eksekutif, maupun siapa saja—berkelakuan demokratik? Seperti apa?

Mengutip pendapat Muchtar Buchori, sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, ada pula yang bersifat tertutup.

Di negara kita, budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang.

Sekarang, setelah reformasi berlalu lebih dari 15 tahun, lahir budaya politik baru, yang mengatasnamakan demokrasi meskipun tak berperilaku layaknya demokrat sejati. Dengan kata lain, demokrasi kita tanpa kaum demokrat. Inilah ”demokrasi aji mumpung”, termasuk dalam hal ini, ”mumpung berkuasa”.

Bagaimana kita bisa bicara mengenai cita-cita luhur kebangsaan, tabiat politik yang etis dan santun, atau bicara mengenai amanat penderitaan rakyat yang diwariskan para bapak bangsa, kalau yang dikembangkan justru ”demokrasi aji mumpung”? Perilaku politik para politisi adalah ”perilaku aji mumpung” yang tidak lagi mengutamakan kehendak umum.

Ini barangkali yang oleh John Keane, profesor politik pendiri Center for the Study of Democracy di London, Inggris, disebut sebagai ”matinya demokrasi” (The Life and Death of Democracy). Demokrasi telah mati, tinggal simbol kosong tak berarti karena yang hidup bukan lagi kehendak rakyat, kehendak umum, melainkan kehendak politisi, kehendak elite politik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar