Senin, 20 Oktober 2014

Kekerasan dan Lingkungan Siswa

Kekerasan dan Lingkungan Siswa

Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  19 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KASUS kekerasan terus terjadi di lingkungan sekolah. Orangtua sangat khawatir jika anaknya menjadi korban dan semua cemas membayangkan apa yang akan terjadi jika di usianya, anak atau remaja telah menjadi pelaku kekerasan serius di lingkungannya. Banyak pihak membahas sanksi dan penghukuman tegas terhadap pelaku bullying serta (otoritas) sekolah, yang lalai atau membiarkan hal ini dapat terjadi. Yang lain mengingatkan bahwa anak, termasuk pelaku, harus dilindungi, tidak boleh diungkap jati dirinya dan tidak tepat memperoleh penghukuman keras, apalagi pidana.

Persoalan serius

Kekerasan di sekolah menjadi keprihatinan bukan saja di Indonesia, melainkan di banyak negara. Bahkan di Jepang, setidaknya ada beberapa kasus bunuh diri dari korban ijime di sekolah (Shikagawa di 1986; Ohkouchi, 1994; Ohno, 2000; Takigawa, 2005; dan Mori, 2006; diambil dari Mino, 2008). Satu kasus yang cukup sering disebut adalah bunuh dirinya seorang anak laki-laki usia 13 tahun tahun 1994, yang terus mengalami kekerasan dan dipaksa mencuri uang keluarganya oleh siswa-siswa lain.

Jadi, persoalannya memang amat memprihatinkan dan harus ditangani sangat serius, tetapi tidak khas atau unik kasus Indonesia. Yang membedakan adalah bahwa pada banyak negara maju, ada mekanisme dan program-program khusus yang diterapkan untuk menangani persoalan ini. Di Indonesia, mungkin kita masih sangat bingung, bersikap reaktif dan belum memiliki pemahaman, apalagi mekanisme yang tepat dan efektif untuk mencegah atau menanggulangi.

Apa yang paling efektif untuk menanggulangi? Apakah memotret pelaku sebagai anak jahat yang berasal dari keluarga kacau? Apakah anak perlu memperoleh sanksi tegas untuk penjeraan, dalam bentuk apa? Apabila anak—termasuk pelaku—harus dilindungi, dalam artian apa, dan bagaimana memastikan bahwa perlindungan ini tidak justru membuat anak makin mengembangkan perilaku tidak peduli dan tidak bertanggung jawab?

Bagaimana pula memahami guru dan sekolah: apakah sebagai tokoh otoritas yang tidak peduli, tidak paham mengenai fakta kekerasan yang terjadi, ”tertipu” oleh sikap manipulatif dari pelaku, atau sangat gamang dan tak mengerti apa yang harus dilakukan sehingga akhirnya diam saja, tidak berbuat sesuatu?

Memahami lingkungan siswa

Mino (2008) menemukan bahwa ijime di Jepang terjadi secara berkelompok. Siswa yang tidak berkelompok atau tidak mengikuti kehendak kelompok akan ”dihukum” karena dianggap tidak patuh dan tidak solider. Cukup banyak siswa yang mengikuti saja keinginan peer agar dapat bertahan di sekolah.

Di Indonesia dan di tempat lain, hal sama juga terjadi. Mengingat solidaritas kelompok dan konformitas dinilai tinggi, disadari atau tidak, bullying, dalam tampilannya yang tidak ekstrem (misalnya anak diledek oleh anak-anak lain, anak mendominasi atau mendorong anak lain) diterima sebagai norma umum, oleh siswa bahkan oleh guru.

Karena itu, agar tertangani baik, mungkin bullying tidak dikerucutkan sebagai kasus unik dengan menunjuk pada pelaku sebagai anak yang ”mengalami gangguan” atau dari lingkungan keluarga yang ”sakit”. Cara pandang yang melekatkan stigma pada pelaku, korban, ataupun sekolah perlu dibuang.

Rodkin dan Hodges (2003) melakukan telaah terhadap berbagai penelitian mengenai bullying di Amerika Serikat dan mengusulkan pendekatan peer ecology. Pendekatan ini menekankan keutuhan, di mana yang menjadi figur atau gambar utama (pelaku dan korban) ada dalam jalinan keutuhan dengan konteks atau latar belakangnya (siswa-siswa lain, guru, orangtua, sekolah, dan keterhubungan di antara mereka).

Struktur sosial dalam ekologi anak/remaja mengorganisasi perilaku siswa secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, umumnya ada kelompok-kelompok dengan 3-7 siswa, ada pula siswa yang cenderung tak berteman/dipinggirkan. Struktur vertikal menjelaskan dimensi status dan pengaruh sosial antarsiswa, ada yang lebih berkuasa, diterima dan disukai, ada pula yang dianggap rendah atau dikenai stigma.

Suka tidak suka, tidak semua pelaku kekerasan dikenal trouble-maker. Sebagian justru populer di tengah siswa bahkan guru karena tampil percaya diri, menarik, atletis. Mungkin siswa lain cukup takut, tetapi tetap menganggap mereka ”oke” (kadang membantu siswa lain juga dan, toh, tidak melakukan kekerasan kepada siswa lain kecuali pada si X dan si Y?). Sementara itu, guru kecolongan, tidak menyangka bahwa kejadiannya sedemikian serius, dikira sekadar ”kenakalan biasa”.

Di sisi lain, penelitian menunjukkan kecenderungan kesamaan karakteristik korban, yang memudahkan sikap blaming the victim dari siswa lain, bahkan guru. Misalnya, bahwa korban ”aneh”, tidak bisa bergaul, tidak punya atau tidak mau berteman, kuper.

Dengan temuan di atas, Rodkin dan Hodges (2003) mengusulkan pentingnya penanganan melalui mekanisme pengelolaan sistem lingkungan. Sekolah perlu mengidentifikasi pengelompokan-pengelompokan siswa, siswa yang rentan jadi korban bullying, serta yang potensial jadi pelaku. Pelaku kadang berlindung di balik kelompok dan kelompok enggan membuka identitasnya sehingga identifikasi pengelompokan siswa jadi penting dan mungkin diperlukan restrukturisasi kelompok oleh otoritas sekolah.

Perlu dipastikan bahwa anak-anak yang rentan jadi korban dibaurkan dan diterima dalam kelompok untuk meminimalkan mereka jadi sasaran kekerasan. Sementara itu, pengawasan dilakukan agar siswa-siswa lain mendukung integrasi dari siswa yang dianggap rentan dalam pergaulan dan agar tindak kekerasan segera dilaporkan dan teridentifikasi.

Rodkin dan Hodges tidak bicara mengenai sanksi atau penghukuman, juga soal nilai-nilai. Saya merenung, mungkin kadang kita terpaksa mengesampingkan dulu persoalan nilai-nilai dan mengambil langkah konkret dulu membangun sistem? Apabila mekanisme penanganan terbangun, kita sekaligus dapat menumbuhkan nilai-nilai yang lebih tinggi pada generasi muda kita, seperti empati, kepedulian, atau perilaku pro sosial. Pembahasan tentang sanksi sebenarnya sangat penting, tetapi mungkin harus kita tunda dalam kesempatan berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar