Kekerasan
dan Lingkungan Siswa
Kristi Poerwandari ; Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
19 Oktober 2014
KASUS kekerasan terus terjadi di lingkungan sekolah. Orangtua sangat
khawatir jika anaknya menjadi korban dan semua cemas membayangkan apa yang
akan terjadi jika di usianya, anak atau remaja telah menjadi pelaku kekerasan
serius di lingkungannya. Banyak pihak membahas sanksi dan penghukuman tegas
terhadap pelaku bullying serta (otoritas) sekolah, yang lalai atau membiarkan
hal ini dapat terjadi. Yang lain mengingatkan bahwa anak, termasuk pelaku,
harus dilindungi, tidak boleh diungkap jati dirinya dan tidak tepat
memperoleh penghukuman keras, apalagi pidana.
Persoalan
serius
Kekerasan di sekolah menjadi keprihatinan bukan saja di Indonesia,
melainkan di banyak negara. Bahkan di Jepang, setidaknya ada beberapa kasus
bunuh diri dari korban ijime di sekolah (Shikagawa di 1986; Ohkouchi, 1994;
Ohno, 2000; Takigawa, 2005; dan Mori, 2006; diambil dari Mino, 2008). Satu
kasus yang cukup sering disebut adalah bunuh dirinya seorang anak laki-laki
usia 13 tahun tahun 1994, yang terus mengalami kekerasan dan dipaksa mencuri
uang keluarganya oleh siswa-siswa lain.
Jadi, persoalannya memang amat memprihatinkan dan harus ditangani
sangat serius, tetapi tidak khas atau unik kasus Indonesia. Yang membedakan
adalah bahwa pada banyak negara maju, ada mekanisme dan program-program
khusus yang diterapkan untuk menangani persoalan ini. Di Indonesia, mungkin
kita masih sangat bingung, bersikap reaktif dan belum memiliki pemahaman,
apalagi mekanisme yang tepat dan efektif untuk mencegah atau menanggulangi.
Apa yang paling efektif untuk menanggulangi? Apakah memotret pelaku
sebagai anak jahat yang berasal dari keluarga kacau? Apakah anak perlu
memperoleh sanksi tegas untuk penjeraan, dalam bentuk apa? Apabila
anak—termasuk pelaku—harus dilindungi, dalam artian apa, dan bagaimana
memastikan bahwa perlindungan ini tidak justru membuat anak makin
mengembangkan perilaku tidak peduli dan tidak bertanggung jawab?
Bagaimana pula memahami guru dan sekolah: apakah sebagai tokoh otoritas
yang tidak peduli, tidak paham mengenai fakta kekerasan yang terjadi,
”tertipu” oleh sikap manipulatif dari pelaku, atau sangat gamang dan tak
mengerti apa yang harus dilakukan sehingga akhirnya diam saja, tidak berbuat
sesuatu?
Memahami
lingkungan siswa
Mino (2008) menemukan bahwa ijime di Jepang terjadi secara berkelompok.
Siswa yang tidak berkelompok atau tidak mengikuti kehendak kelompok akan
”dihukum” karena dianggap tidak patuh dan tidak solider. Cukup banyak siswa
yang mengikuti saja keinginan peer agar dapat bertahan di sekolah.
Di Indonesia dan di tempat lain, hal sama juga terjadi. Mengingat
solidaritas kelompok dan konformitas dinilai tinggi, disadari atau tidak,
bullying, dalam tampilannya yang tidak ekstrem (misalnya anak diledek oleh
anak-anak lain, anak mendominasi atau mendorong anak lain) diterima sebagai
norma umum, oleh siswa bahkan oleh guru.
Karena itu, agar tertangani baik, mungkin bullying tidak dikerucutkan
sebagai kasus unik dengan menunjuk pada pelaku sebagai anak yang ”mengalami
gangguan” atau dari lingkungan keluarga yang ”sakit”. Cara pandang yang
melekatkan stigma pada pelaku, korban, ataupun sekolah perlu dibuang.
Rodkin dan Hodges (2003) melakukan telaah terhadap berbagai penelitian
mengenai bullying di Amerika Serikat dan mengusulkan pendekatan peer ecology.
Pendekatan ini menekankan keutuhan, di mana yang menjadi figur atau gambar
utama (pelaku dan korban) ada dalam jalinan keutuhan dengan konteks atau
latar belakangnya (siswa-siswa lain, guru, orangtua, sekolah, dan
keterhubungan di antara mereka).
Struktur sosial dalam ekologi anak/remaja mengorganisasi perilaku siswa
secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, umumnya ada
kelompok-kelompok dengan 3-7 siswa, ada pula siswa yang cenderung tak
berteman/dipinggirkan. Struktur vertikal menjelaskan dimensi status dan
pengaruh sosial antarsiswa, ada yang lebih berkuasa, diterima dan disukai,
ada pula yang dianggap rendah atau dikenai stigma.
Suka tidak suka, tidak semua pelaku kekerasan dikenal trouble-maker.
Sebagian justru populer di tengah siswa bahkan guru karena tampil percaya
diri, menarik, atletis. Mungkin siswa lain cukup takut, tetapi tetap
menganggap mereka ”oke” (kadang membantu siswa lain juga dan, toh, tidak
melakukan kekerasan kepada siswa lain kecuali pada si X dan si Y?). Sementara
itu, guru kecolongan, tidak menyangka bahwa kejadiannya sedemikian serius,
dikira sekadar ”kenakalan biasa”.
Di sisi lain, penelitian menunjukkan kecenderungan kesamaan
karakteristik korban, yang memudahkan sikap blaming the victim dari siswa
lain, bahkan guru. Misalnya, bahwa korban ”aneh”, tidak bisa bergaul, tidak
punya atau tidak mau berteman, kuper.
Dengan temuan di atas, Rodkin dan Hodges (2003) mengusulkan pentingnya
penanganan melalui mekanisme pengelolaan sistem lingkungan. Sekolah perlu
mengidentifikasi pengelompokan-pengelompokan siswa, siswa yang rentan jadi
korban bullying, serta yang potensial jadi pelaku. Pelaku kadang berlindung
di balik kelompok dan kelompok enggan membuka identitasnya sehingga
identifikasi pengelompokan siswa jadi penting dan mungkin diperlukan
restrukturisasi kelompok oleh otoritas sekolah.
Perlu dipastikan bahwa anak-anak yang rentan jadi korban dibaurkan dan
diterima dalam kelompok untuk meminimalkan mereka jadi sasaran kekerasan.
Sementara itu, pengawasan dilakukan agar siswa-siswa lain mendukung integrasi
dari siswa yang dianggap rentan dalam pergaulan dan agar tindak kekerasan
segera dilaporkan dan teridentifikasi.
Rodkin dan Hodges tidak bicara mengenai sanksi atau penghukuman, juga
soal nilai-nilai. Saya merenung, mungkin kadang kita terpaksa mengesampingkan
dulu persoalan nilai-nilai dan mengambil langkah konkret dulu membangun
sistem? Apabila mekanisme penanganan terbangun, kita sekaligus dapat
menumbuhkan nilai-nilai yang lebih tinggi pada generasi muda kita, seperti
empati, kepedulian, atau perilaku pro sosial. Pembahasan tentang sanksi sebenarnya
sangat penting, tetapi mungkin harus kita tunda dalam kesempatan berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar