Apakah
Aku Orang yang Bahagia?
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
19 Oktober 2014
DI suatu sore, di sebuah kafe, sahabat saya curhat begini, ”Mas, aku mau nanya, ya. Menurut Mas, aku
ini seorang yang bahagia enggak? Kata beberapa orang, saya ini tidak
bahagia.”
Tidak
mengerti
Beberapa jam setelah percakapan di atas, sesi curhat itu berubah
menjadi sesi yang memaksa saya mengajukan pertanyaan yang sama. Am I a happy person? Kalau sudah ada
pertanyaan semacam itu, kata-kata yang sederhana yang sering kali diucapkan
dan terlihat sepele itu tiba-tiba membuat kelabakan. Tiba-tiba saya menjadi
tidak tahu bahagia itu apa.
Maka, inilah yang saya dapatkan setelah mencari artinya dari beberapa
kamus online. Bahagia adalah feeling or
showing pleasures or contentment. Having a sense of confidence in or
satisfaction with a person or situation. Convenient. Fortunate. An event or
situation characterized by happiness.
Itu bahagia. Bagaimana yang tidak bahagia? Lawan kata bahagia itu
dijelaskan sebagai sad sampai mengandung unsur unwilling.
Saya membaca dan melihat adanya peperangan, perkelahian, mulai dari
yang terjadi di tengah jalan sampai di dalam gedung parlemen, perbedaan
pendapat yang menyulut hal-hal yang melarakan. Dalam keseharian hidup pun
terjadi.
Beberapa minggu lalu, sopir kantor saya dipalak dan berakhir dengan
menjadi korban perampasan. Awalnya mau merampas mobil, tetapi berakhir dengan
merampas SIM. Padahal ia yang merampas, yang telah melakukan kesalahan karena
melawan arus jalan yang membahayakan.
Hanya karena ia berbadan tinggi, tegap, dan suara yang lantang, sopir
saya yang kurus kering kalah telak. Penjelasan yang diberikan dan maaf yang
diucapkan mulut sopir saya tak bisa menahan kemarahan si perampas.
Dan ketika sopir saya bercerita soal peristiwa naas itu kepada beberapa
temannya, mereka mengatakan bahwa itu sudah sering terjadi. Itu sebuah modus
dari sebuah kelompok kejahatan. ”Mereka sengaja membuat perkara, kemudian
mengancam,” komentar teman-temannya.
Melihat peristiwa itu, saya kembali kepada makna bahagia seperti
penjelasan di atas. Orang yang bahagia adalah mereka yang mampu showing
pleasures or contentment. Dalam tidak bahagia dijelaskan ada unsur unwilling,
itu berarti menjadi bahagia ada unsur willing-nya.
Perampok, peperangan, perkelahian, dan kepongahan adalah mereka yang
belum mampu dan belum willing menunjukkan rasa bahagia dan menjadi manusia
yang bahagia. Disebut kelompok kejahatan, bisa jadi bukan sebuah kelompok
orang yang melakukan kejahatan, tetapi sekelompok orang-orang yang belum
mampu menunjukkan dan masih enggan menjadi bahagia.
Mengerti
dan memaknai
Kalau saya katakan belum mampu dan belum mau, artinya mereka memiliki
kesempatan untuk mampu dan mau di suatu hari. Maka, pertobatan menjadi sebuah
bukti nyata bahwa seseorang mampu dan mau menjadi bahagia, bukan mampu dan
mau menjadi orang baik setelah pernah menjadi orang jahat. Bahagia itu dasar
utama untuk melahirkan kebaikan. Bukan baik yang menjadi dasar bahagia.
Teman saya yang bekerja di sebuah butik jam tangan supermahal
bercerita, beberapa kliennya sering sekali mengucapkan kalimat ancaman ketika
tidak mendapatkan potongan harga. ”Kamu enggak tahu saya ini siapa?”
Kata bahagia mengandung unsur fortunate dan having a sense of
confidence in or satisfaction with (a person or situation). Kalau saja ia
punya rasa percaya diri, kalau saja ia merasa satisfy dengan sebuah keadaan,
yaitu tidak mendapat potongan harga, kalau saja ia menyadari ia adalah orang
yang fortunate, yang artinya mampu membeli tanpa potongan harga, maka kalimat
semacam itu tak akan pernah terlontar keluar. Hanya orang yang tidak bahagia
yang mampu melahirkan ancaman. Apakah orang yang satisfy masih perlu
mengancam?
Katakan ia mendapat potongan harga setelah mengancam, apakah kemudian
ia menjadi orang yang bahagia? Nah, saya pernah dalam situasi semacam itu.
Maka di situasi itu saya sering salah menilai. Saya pikir saya bahagia.
Padahal, setelah saya mendapat potongan harga, saya tetap menjadi manusia
yang tidak bahagia.
Mengapa? Tidak mendapat potongan harga adalah ancaman. Coba tanyakan
kepada diri Anda sendiri, apa rasanya terancam? Bahagiakah Anda? Maka
mendapat potongan harga setelah mengancam karena terancam adalah hanya sebuah
bentuk keinginan memuaskan ego menjadi pemenang atas ancaman. Padahal,
bahagia itu bukan sebuah perlombaan untuk menjadi pemenang, tetapi satisfaction with.
Dulu, saya merasa friksi itu terjadi karena saya memiliki perbedaan
pendapat, perbedaan latar belakang, perbedaan nilai, dan sejuta alasan
lainnya dengan orang lain. Saya merasa perbedaan sebagai biang kerok
terjadinya friksi.
Setelah saya tahu makna bahagia, maka friksi tak akan pernah lahir dari
sebuah perbedaan. Ia lahir karena saya dan orang yang berseberangan dengan
saya enggan menjadi bahagia. Selain enggan, kami tidak percaya diri. Oleh
karenanya, kambing hitam patut diciptakan. Dan, kambing yang hitam itu adalah
perbedaan.
Manusia yang bahagia tidak akan memaksa, tidak mengancam, dan tidak
melarakan sesamanya. Rasa bahagia itu yang melahirkan dan memaknai pengertian
akan sejuta perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar