Senin, 20 Oktober 2014

Apakah Aku Orang yang Bahagia?

Apakah Aku Orang yang Bahagia?

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  19 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


DI suatu sore, di sebuah kafe, sahabat saya curhat begini, ”Mas, aku mau nanya, ya. Menurut Mas, aku ini seorang yang bahagia enggak? Kata beberapa orang, saya ini tidak bahagia.”

Tidak mengerti

Beberapa jam setelah percakapan di atas, sesi curhat itu berubah menjadi sesi yang memaksa saya mengajukan pertanyaan yang sama. Am I a happy person? Kalau sudah ada pertanyaan semacam itu, kata-kata yang sederhana yang sering kali diucapkan dan terlihat sepele itu tiba-tiba membuat kelabakan. Tiba-tiba saya menjadi tidak tahu bahagia itu apa.

Maka, inilah yang saya dapatkan setelah mencari artinya dari beberapa kamus online. Bahagia adalah feeling or showing pleasures or contentment. Having a sense of confidence in or satisfaction with a person or situation. Convenient. Fortunate. An event or situation characterized by happiness.

Itu bahagia. Bagaimana yang tidak bahagia? Lawan kata bahagia itu dijelaskan sebagai sad sampai mengandung unsur unwilling.

Saya membaca dan melihat adanya peperangan, perkelahian, mulai dari yang terjadi di tengah jalan sampai di dalam gedung parlemen, perbedaan pendapat yang menyulut hal-hal yang melarakan. Dalam keseharian hidup pun terjadi.

Beberapa minggu lalu, sopir kantor saya dipalak dan berakhir dengan menjadi korban perampasan. Awalnya mau merampas mobil, tetapi berakhir dengan merampas SIM. Padahal ia yang merampas, yang telah melakukan kesalahan karena melawan arus jalan yang membahayakan.

Hanya karena ia berbadan tinggi, tegap, dan suara yang lantang, sopir saya yang kurus kering kalah telak. Penjelasan yang diberikan dan maaf yang diucapkan mulut sopir saya tak bisa menahan kemarahan si perampas.

Dan ketika sopir saya bercerita soal peristiwa naas itu kepada beberapa temannya, mereka mengatakan bahwa itu sudah sering terjadi. Itu sebuah modus dari sebuah kelompok kejahatan. ”Mereka sengaja membuat perkara, kemudian mengancam,” komentar teman-temannya.

Melihat peristiwa itu, saya kembali kepada makna bahagia seperti penjelasan di atas. Orang yang bahagia adalah mereka yang mampu showing pleasures or contentment. Dalam tidak bahagia dijelaskan ada unsur unwilling, itu berarti menjadi bahagia ada unsur willing-nya.

Perampok, peperangan, perkelahian, dan kepongahan adalah mereka yang belum mampu dan belum willing menunjukkan rasa bahagia dan menjadi manusia yang bahagia. Disebut kelompok kejahatan, bisa jadi bukan sebuah kelompok orang yang melakukan kejahatan, tetapi sekelompok orang-orang yang belum mampu menunjukkan dan masih enggan menjadi bahagia.

Mengerti dan memaknai

Kalau saya katakan belum mampu dan belum mau, artinya mereka memiliki kesempatan untuk mampu dan mau di suatu hari. Maka, pertobatan menjadi sebuah bukti nyata bahwa seseorang mampu dan mau menjadi bahagia, bukan mampu dan mau menjadi orang baik setelah pernah menjadi orang jahat. Bahagia itu dasar utama untuk melahirkan kebaikan. Bukan baik yang menjadi dasar bahagia.

Teman saya yang bekerja di sebuah butik jam tangan supermahal bercerita, beberapa kliennya sering sekali mengucapkan kalimat ancaman ketika tidak mendapatkan potongan harga. ”Kamu enggak tahu saya ini siapa?”

Kata bahagia mengandung unsur fortunate dan having a sense of confidence in or satisfaction with (a person or situation). Kalau saja ia punya rasa percaya diri, kalau saja ia merasa satisfy dengan sebuah keadaan, yaitu tidak mendapat potongan harga, kalau saja ia menyadari ia adalah orang yang fortunate, yang artinya mampu membeli tanpa potongan harga, maka kalimat semacam itu tak akan pernah terlontar keluar. Hanya orang yang tidak bahagia yang mampu melahirkan ancaman. Apakah orang yang satisfy masih perlu mengancam?

Katakan ia mendapat potongan harga setelah mengancam, apakah kemudian ia menjadi orang yang bahagia? Nah, saya pernah dalam situasi semacam itu. Maka di situasi itu saya sering salah menilai. Saya pikir saya bahagia. Padahal, setelah saya mendapat potongan harga, saya tetap menjadi manusia yang tidak bahagia.

Mengapa? Tidak mendapat potongan harga adalah ancaman. Coba tanyakan kepada diri Anda sendiri, apa rasanya terancam? Bahagiakah Anda? Maka mendapat potongan harga setelah mengancam karena terancam adalah hanya sebuah bentuk keinginan memuaskan ego menjadi pemenang atas ancaman. Padahal, bahagia itu bukan sebuah perlombaan untuk menjadi pemenang, tetapi satisfaction with.

Dulu, saya merasa friksi itu terjadi karena saya memiliki perbedaan pendapat, perbedaan latar belakang, perbedaan nilai, dan sejuta alasan lainnya dengan orang lain. Saya merasa perbedaan sebagai biang kerok terjadinya friksi.

Setelah saya tahu makna bahagia, maka friksi tak akan pernah lahir dari sebuah perbedaan. Ia lahir karena saya dan orang yang berseberangan dengan saya enggan menjadi bahagia. Selain enggan, kami tidak percaya diri. Oleh karenanya, kambing hitam patut diciptakan. Dan, kambing yang hitam itu adalah perbedaan.

Manusia yang bahagia tidak akan memaksa, tidak mengancam, dan tidak melarakan sesamanya. Rasa bahagia itu yang melahirkan dan memaknai pengertian akan sejuta perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar