Hari
Raya Orde Baru (30 September dan 1 Oktober)
Made Supriatma ; Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer, Jurnalis
Lepas
|
INDOPROGRESS,
02 Oktober 2014
SUDAH
sejak jaman Orde Baru, Indonesia memiliki hari nasional yang dirayakan dua
hari berturut-turut, yakni 30 September dan 1 Oktober. Tanggal 30 September
diperingati sebagai ‘Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI.’ Sementara
tanggal 1 Oktober adalah hari ‘Kesaktian Pancasila.’ Kita tentu sudah tahu
bagaimana ini terjadi. Tanggal 30 September, tujuh jenderal TNI-Angkatan
Darat diculik dan dibunuh di sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang bernama
Lubang Buaya. Pelakunya adalah ‘Gerakan 30 September’ sebuah gerakan
bersenjata yang isinya adalah perwira dan prajurit-prajurit TNI-Angkatan
Darat juga.
Hari
berikutnya dirayakan sebagai ‘Hari Kesaktian Pancasila.’ Dalam versi Orde
Baru, tanggal 30 September adalah hari pengkhianatan Pancasila. Sehari
sesudahnya, Pancasila ternyata tidak bisa dikhianati, dan dengan demikian, ia
sakti adanya.
Dua hari
ini adalah hari yang paling sentral dari ‘agama Orde Baru.’ Saya katakan
agama karena dua hari ini berfungsi mirip seperti agama: ada upacara, ada
renungan, ada doa-doa, ada ritus-ritus (berkunjung ke Lubang Buaya). 30
September adalah hari kematian. Disusul kemudian oleh 1 Oktober yang
merupakan hari kemenangan. Susunan upacara peringatan ini sungguh
mengingatkan kita pada hari raya agama-agama, dimana ada penaklukan atas
kematian dan kemudian merayakannya sebagai kemenangan?
Jika
Orde Baru adalah agama, maka tentara adalah pendeta atau ulamanya dan
militerisme adalah ideologinya. Tidak terlalu mengherankan jika perayaan dua
hari ini didominasi oleh militer karena mereka adalah pemimpin upacaranya.
Juga, dalam dua hari ini, jalan-jalan dihiasi spanduk-spanduk yang
mengingatkan kembali massa-rakyat akan ‘bahaya laten Komunisme’ atau
‘kebangkitan Komunisme.’ Di Koran-koran, pemuka-pemuka militer mengeluarkan
fatwa yang terus diulang-ulang akan bahaya Komunis. Hari ini, saya baca
Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Gatot Nurmantyo mengatakan, ‘Ada aliran
baru, yaitu Neo Komunis yang seolah-olah mengedepankan demokrasi di kehidupan
sehari-hari. Bagi Indonesia, komunisme merupakan bahaya laten dan musuh
bersama.’
Perlu
diketahui, Jendral Gatot ini kelahiran Tegal pada 13 Maret 1960. Dia baru
berumur lima tahun ketika G30S itu meledak. Dengan begitu, tentu kita bisa
simpulkan bahwa pengetahuan dia tentang komunisme pastilah berasal dari
sumber-sumber kedua. Demikian pula pengetahuan dia tentang G30S dan kaitannya
dengan PKI. Boleh jadi dia membaca buku putih yang disusun oleh Rezim
Soeharto. Bisa jadi dia menonton film seram Pengkhianatan G30S/PKI itu.
Jargon
yang dipakai oleh Gatot Nurmantyo sesungguhnya tidak baru. Hampir semua
petinggi militer hafal luar kepala akan bahaya komunisme itu. Yang menarik
adalah kaitan antara ‘Neo Komunis yang seolah-olah mengedepankan demokrasi di
kehidupan sehari-hari.’ Gatot Nurmantyo menyuruh pendengarnya untuk
‘menginterogasi’ prakter demokrasi dalam kehidupan sehari-hari yang manakah
yang ‘Neo Komunis’ itu.
Menangkap
Neo Komunis itu tentulah bukan pekerjaan yang mudah. Karena Neo Komunis itu
sesungguhnya seperti setan dalam agama-agama. Setan itu ada, berbahaya, dan
menjadi musuh. Namun sulit untuk menangkapnya. Yang terjadi kemudian usaha
untuk ‘menyetankan’ orang lain. Neo Komunis atau Komunis itu pun setali tiga
uang. Karena Komunis itu mangkir dalam kehidupan sehari-hari maka ia perlu
ditubuhkan. Yang rentan untuk menjadi Komunis tentulah orang-orang yang tidak
sejalan dengan TNI, seperti misalnya para petani yang menuntut haknya atas
tanah; buruh yang meminta upah yang layak; kaum miskin perkotaan yang meminta
tempat tinggal dan tempat berusaha, dan lain-lain. Mereka-mereka inilah yang
rentan menjadi Komunis.
Tentu
ada pertanyaan, mengapa petinggi militer seperti Jendral Gatot Nurmantyo
memandang Komunis sebagai musuh terbesar?
Lagi-lagi,
kita dipaksa untuk melihat ke jaman Orde Baru. Jenderal kita ini lulus
Akademi Militer tahun 1982. Di tahun-tahun itu, militer Indonesia sudah mulai
dikuasai oleh generasi akhir revolusi. Sementara, Suharto berhasil menjadikan
militer sebagai basis kekuasaannya. Itu adalah jaman ketika menjadi militer
berarti bisa menjadi apa saja di negeri ini: dari lurah hingga ke menteri;
dari bankir hingga jaksa agung; bahkan hingga menjadi presiden. Generasi
Jenderal Gatot ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk ‘multi-tasking’
seperti itu.
Tentu,
untuk menjadi tentara Orde Baru, tidaklah lengkap tanpa mempelajari
‘ajaran-ajaran’-nya. Di dalam Orde Baru, tentara menemukan bahwa dirinya
perlu hadir di tengah-tengah massa-rakyat. Mereka mereka-ulang persepsi
sebagai ‘tentara-rakyat’, sebuah konsep kemiliteran yang sesungguhnya dianut
oleh kaum Komunis. Dengan persepsi ‘tentara-rakyat’ mereka merumuskan
‘dwi-fungsi,’ yakni tentara yang berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan
keamanan dan sekaligus kekuatan politik.
Para
pelajar serius teori-teori Komunisme pasti akan dengan mudah menemukan betapa
mudahnya menemukan paralelisme antara konsep kemiliteran tentara Indonesia
dengan konsep kemiliteran Komunis. Namun, uniknya, tentara menjadikan
Komunisme sebagai ‘nemesis’-nya. Lagi-lagi sejarah memainkan peranan di sini.
Tidak
banyak orang yang menyadari bahwa tentara sesungguhnya belum lahir ketika
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Karena kelahirannya yang terlambat
itulah, tentara absen dalam semua perdebatan, pengorganisasian, pemogokan,
hingga ke pemberontakan menuntut Indonesia merdeka.
Tentara
lahir beberapa bulan setelah proklamasi. Ia dibentuk sebagai alat
mempertahankan revolusi. Dalam pembentukannya, tentara Indonesia diisi,
terutama, oleh bekas tentara didikan Jepang dan laskar-laskar pemuda. Namun
tiga tahun kemudian, tentara regular disempurnakan lewat proses reorganisasi
dan rasionalisasi (ReRa). Setelah pengakuan kedaulatan, tentara Indonesia
terpaksa juga harus menerima tentara-tentara KNIL. Secara perlahan-lahan,
elemen-elemen revolusioner tersingkir dari dinas ketentaraan. Perwira-perwira
TNI diisi oleh kalangan-kalangan terdidik. Sejak awal perwira-perwira ini
sudah memperlihatkan ambisinya untuk terlibat dalam politik. Faksionalisme di
dalam tentara sangat tinggi. Persaingan juga memuncak. Gontok-gontokan di dalam
tubuh tentara dan gontok-gontokan keluar dengan kekuatan politik lain juga
meningkat. Faksionalisme ini membikin tumbuh suburnya warlordism di
daerah-daerah. Banyak komandan militer di daerah tidak mau tunduk kepada
komando pusat. Puncaknya adalah pemberontakan PRRI-Permesta yang dimotori
oleh komandan-komandan militer di luar jawa.
Peranan
tentara semakin diperkuat pada tahun 1957 saat Soekarno menasionalisasi
perusahan-perusahan Belanda. Tentara mengambilalih banyak perusahan-perusahan
tersebut. Dengan tiba-tiba tentara memiliki banyak dana. Namun di sisi yang
lain, tentara juga harus berhadapan dengan serikat-serikat buruh yang kuat
yang telah ada di perusahaan-perusahan tersebut sejak lama. Banyak dari dari
serikat-serikat buruh ini berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak saat itu pulalah rivalitas antara PKI dengan militer terbangun dan
semakin hari semakin menajam.
Kita
semua tahu puncaknya. Ketika berhasil mengambilalih kekuasaan, Suharto
pertama-tama menggasak musuh besarnya, PKI. Anti-PKI kemudian dilembagakan
dengan kuat. Ia menjadi agama Orde Baru. Perlakuan brutal rejim Orde Baru
kepada anggota dan simpatisan PKI menjadi alat teror yang sangat efektif
untuk menjinakkan massa-rakyat.
Tumbangnya
kekuasaan Soeharto dan Orde Barunya, tidak dengan serta merta menghapus
ajaran-ajarannya. Terlebih di dalam tubuh tentara, yang merupakan epicenter
kekuasaan Orde Baru. Perwira-perwira militer, seperti Gatot Nurmantyo, adalah
didikan Orde Baru. Untuk saat ini, hukum melarang mereka terlibat dalam
politik. Namun, bukan berarti mereka punah sebagai sebuah kekuatan politik.
Siapapun yang berkuasa di Indonesia perlu melihat apa yang dimaui tentara.
Bukan sesuatu yang kebetulan ketika dua hari raya Orde Baru ini
nantinya akan ditutup oleh perayaan Hari Kelahiran TNI, 5 Oktober. Selain
unjuk kekuatan senjata dan ketrampilan kekuatan para prajurit, biasanya juga
dipertontonkan ‘replikasi’ dari massa-rakyat. Militer akan berusaha meniru
(tepatnya: menyaru) seperti massa-rakyat di daerah-daerah dimana militer
mengalami gangguan yang paling besar. Keanehan itu terlihat, misalnya, ketika
tentara-tentara menarikan tarian ‘Yosim Pancar’ dari Papua. Sementara pada
saat yang bersamaan mereka memerangi gerakan kemerdekaan rakyat Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar