Pernikahan
Beda Agama : Mengapa Bermasalah?
Achmad Nurcholis ; Konselor Pernikahan Beda Agama,
Peneliti dan Penulis buku-buku tentang pernikahan beda
agama
|
SATU
HARAPAN, 02 Oktober 2014
Pro-kontra
pernikahan beda agama kembali mencuat setelah 5 (lima) orang yang kesemuanya
mahasiswa dan alumni hukum Uiversitas Indonesia mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi. Mereka antara lain mempersoalkan bunyi Pasal 2 ayat 1 yang
mengatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Menurut
mereka, pengaturan (bunyi ayat tersebut) ini menyebabkan ketidakpastian hukum
bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena
penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi
baik secara individual maupun secara institusional. Pro dan kontra pun terus
merebak di ruang public. Yang pro terhadap pernikahan beda agama tentu
mendukung langkah JR tersebut. Sementara yang kontra meluapkan tentangannya
melalui berbagai arus.
Melalui
tulisan yang serba terbatas ini saya hendak mendudukkan pernikahan beda agama
dari tiga sudut pandang: agama, hukum (konstitusi) dan hak asasi manusia.
Dengan memaparkan ketiga persepektif ini saya berharap kita dapat melihat
pernikahan beda agama secara proporsional, tidak emosional.
Pertama,
dari sudut pandang keagamaan, melalui penelitian yang penulis, dkk. lakukan
tahun 2005 dan 2010 (bersama ICRP –
Komnas HAM), pandangan agama-agama tentang pernikahan beda agama ternyata
tidak tunggal. Betul bahwa sebagian agamawan melarangnya atau paling tidak
mewanti-wanti untuk tidak dilakukan, tapi ternyata juga tidak sedikit yang
memberikan argument keagamaan (teologis) bagi dimungkinkannya terjadinya
pernikahan beda agama.
Dalam
Islam misalnya, meski yang nyaring kita dengar adalah pengharaman atas
pernikahan beda agama, namun sejumlah tafsir lain muncul berbeda. Secara
ringkas pandangan para ulama mengenai hal ini terpola kepada tiga pendapat:
(1) melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan
antara Muslim dan non-Muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun ahlul
kitab dan larangan itu berlaku, baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki
Muslim. Kelompok ini mendasarkan argumenta pada Q.S. al-Baqarah/2: 221 &
al-Mumtahanah/60: 10; (2) membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama
membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan non-Muslim dengan
syarat perempuan non-Muslim itu dari kelompok ahlul kitab, tetapi tidak
sebaliknya. Kelompk ini mengacu pada Q.S. al-Maidah/5: 5 yang menjelaskan
kebolehan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan beriman dari kalangan ahl
al-kitab; dan (3) membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, dan
kebolehan itu berlaku untuk laki-laki
dan perempuan.
Dalam
Kristen dan Katolik pun demikian. Melalui
Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(MPL PGI) tahun 1989 telah menyatakan sikapnya terhadap pernikahan. Pertama,
institusi yang berhak mengesahkan (mencatat) suatu pernikahan adalah Negara,
dalam hal ini kantor catatan sipil. Kedua, Gereja berkewajiban meneguhkan dan
memberkati suatu perkawinan yang telah disahkan oleh Pemerintah. Dalam gereja
Katolik jemaat Katolik memungkinkan untuk menikah dengan non-Katolik dengan
terlebih dahulu memohon dispensasi pernikahan melalui Paroki setempat. Hamper
100% permohonan tersebut dikabulkan, sehingga tetap mendapatkan layanan
pemberkatan nikah oleh pastor gereja Katolik.
Pun
dalam agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, Khonghucu, bahkan Penghayat
Kepercayaan pun tidak menutup mata terhadap fenomena pernikahan beda agama.
Sejumlah rohaniwan dari berbagai agama tersebut telah tampil bijak dengan
membuka pintu bagi terwujudnya pernikahan beda agama (lihat, Ahmad Nurcholish
& Ahmad Baso (ed), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan
dan Analisis Kebijakan, Jakarta: ICRP-Komnas HAM, 2005 & 2010).
Kedua,
dalam ranah konstitusi (hukum dan perundang-undangan) telah terjadi
ketidak-sepahaman para penyelenggara dalam menyikapi pernikahan beda agama.
Mengacu pada UU yang sama, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil (DKPS) tidak seiya-sekata. KUA hingga saat ini menolak
pernikahan Muslim dengan non-Muslim. Mereka mengacu pada fatwa MUI dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tidak mentolelir pernikahan beda agama.
Sedangkan DKPS tak seragam dalam praktiknya. Ada yang menolak sebagaimana
KUA, ada pula yang berkenan mencatat pasangan beda agama asal sudah
mendapatkan pengesahan dari agamawan/rohaniwan.
Ketidakjelasan,
persisnya ketidakpastian ini mendorong banyaknya upaya-upaya lari dari
“hukum” dengan cara-cara yang sebetulnya seharusnya negara bertanggung jawab
agar hal itu tidak terjadi. Seperti menikah di luar negeri, yang menunjukkan
bahwa negara kita tidak mampu melindungi warganya sendiri, malah negara lain
yang memberi perlindungan, seperti Singapura dan Australia. Maraknya menikah
di luar negeri menunjukkan kepada orang-orang luar bahwa negara kita belum
menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Bahwa diskriminasi masih
menghantui setiap pasangan beda agama yang akan menikah, sehingga mereka
ramai-ramai mengesahkan perkawinannya di luar negeri.
Selain
itu, ada pula yang menikah dengan siasat dibuatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk)
dimana dicantumkan agama yang disesuaikan dengan agama pasangannya sehingga
bisa dianggap sebagai pernikahan yang seagama, dan bukan pernikahan beda
agama. Seperti pembuatan “KTP Islam” agar bisa menikah/dicatatkan di KUA. Ada
pula yang berupaya pindah agama “untuk sementara” dengan tujuan pernikahannya
disahkan oleh negara karena sudah dianggap seagama. Tidak lama setelah
menikah salah satu pasangan tetap kembali ke agama semula. Ada pula dengan
cara mengikuti prosesi salah satu “hukum agama” sehingga pernikahan mereka
bisa disahkan oleh pemuka agama dan dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah.
Cara seperti ini dianggap serupa atau mirip dengan upaya “pura-pura pindah
agama”, yakni hanya untuk memuluskan perkawinan pasangan beda agama.
Lalu, di
mana sebetulnya masalahnya, sehingga pernikahan beda agama tidak mendapat
perlakuan yang baik dan sewajarnya di negeri ini? Hal itu berakar dari
penafsiran tentang UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Sekali lagi, ini adalah
masalah penafsiran atas UU produk Orde Baru itu. Terutama Pasal 2 ayat 1 UU
tersebut. Pihak pencatatan sipil (DKCS) menolak pernikahan beda agama, dengan
argumen Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan ini. Ditambah dengan dalil-dalil dari
Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan.
Tentu dalam sekian pasal dan ayat itu, bahkan keseluruhan Pasal dalam UU
Perkawinan, tidak disebutkan secara eksplisit soal pelarangan nikah beda
agama.
Di lain
pihak, ada DKCS yang menerima pencatatan pernikahan beda agama. DKCS yang
mencatatkan dan menerima perkawinan beda agama berargumen pada Pasal 2 dan
Pasal 66 UU Perkawinan, dan juga surat edaran Mendagri tahun 1975 yang
merujuk ke GHR, juga kepada Keputusan MA 1986/1989. Keputusan MA itu di antaranya menyatakan:
“Undang-undang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang
menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan calon istri
merupakan larangan perkawinan, hal mana adalah sejalan dengan Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 27 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk
kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh
undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk
perkawinan, maka asas itu sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang-undang Dasar
1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara
untuk memeluk agama masing-masing”.
Selain
itu, DKPS yang mau melakukan pencatatan pasangan beda agama juga mengacu pada
UU Adminduk No. 23 tahun 2006. Ada ketentuan Pasal 35 dalam UU yang menyebut
demikian: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku
pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”. Penjelasan Pasal
35 Huruf a ini menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan
oleh Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda
agama”. Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(adminduk) memungkinkan pasangan berbeda agama dicatatkan perkawinannya asal
melalui penetapan pengadilan. Bahkan dalam praktik di lapangan ada sejumlah
DKPS yang mau mencatat langsung tanpa melalui putusan Pengadilan.
Ketiga,
yang tak kalah pentingnya adalah pemenuhan hak menikah sebagai bagian dari
hak asasi manusia. Negara menghormati prinsip kebebasan beragama dalam UUD
1945 tersebut, dan juga senafas dengan isi DUHAM Pasal 18: “Setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk
kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat
dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka
umum maupun sendiri.”
Selanjutnya,
hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No.
XVII Tahun 1998 Bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia
Pasal 37: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)”.
TAP MPR
No. XVII/1998 menyebut 8 (delapan) kelompok hak asasi manusia yang diakui
pemerintah sebagai hak yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh siapapun,
termasuk oleh negara sekalipun. Yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak memperoleh kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan.
Dengan
demikian sudah sepatutnya Negara tak boleh terlibat dalam perdebatan teologis
yang tak aja ujungnya. Negara harus focus pada pemenuhan hak-hak sipil
warganegara, termasuk dalam hal menikah. Hal ini sejalan pula dengan Pasal 22
ayat (1) UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”; dan bagian penjelasan pasal 22 ayat
(1) “Yang dimaksud dengan ‘hak untuk bebas memeluk agamanya dan
kepercayaannya’ adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri,
tanpa adanya paksaan dari siapapun juga”.
Artinya, hak berkeyakinan tersebut tidak harus terganggu manakala
seseorang menikah dengan orang yang berbeda agama atau keyakinan, sebab
masing-masing tetap mendapatkan jaminan untuk menjalankannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar