Kamis, 02 Oktober 2014

Demokrasi di Hongkong

Demokrasi di Hongkong

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA,  30 September 2014

                                                                                                                       


STABILITAS politik domestik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) belakangan ini terusik, menyusul demonstrasi secara masif masyarakat Hong Kong menuntut pelaksanaan demokrasi penuh dalam pemilihan pemimpin eksekutif di wilayah bekas koloni Inggris itu. Tuntutan itu mulai digelorakan sejak 10 tahun lalu. Kala itu aktivis prodemokrasi kerap turun ke jalan dengan massa cukup besar, terutama dari kalangan mahasiswa sejumlah unversitas.

Sejak pengembalian Hong Kong oleh pemerintah Inggris kepada penguasa RRT per 1 Juli 1997, bekas koloni itu berstatus wilayah khusus. Status itu berdasarkan Basic Law (Konstitusi Mini) yang dibentuk sesudah penandatanganan Perjanjian Inggris-RRT pada 19 Desember 1984. Hong Kong dikuasai Inggris setelah militer Tiongkok kalah dalam Perang Candu 1841.

Berdasar Basic Law, Hong Kong diperintah special administration region (SAR) yang penentuan pimpinan eksekutifnya dipengaruhi kuat oleh penguasa Partai Komunis Tiongkok. Selama 17 tahun terakhir, pemimpin eksekutif SAR selalu loyalis Beijing, termasuk Leung Chun Chunying, pemimpin sekarang. Kenyataan itu tidak disukai kalangan prodemokrasi di Hong Kong dan sejak satu dasawarsa lalu memprotesnya.

Saat ini, penolakan mereka terlihat lebih kuat. Rangkaian aksi demo yang sudah sering muncul sejak akhir Juli lalu selalu melibatkan ribuan orang. Bahkan demo tanggal 23 Juli lalu yang digalang kelompok-kelompok prodemokrasi yang tergabung dalam Gerakan Occupy Central with Love and Peace, diikuti tak kurang dari 510 ribu aktivis.

Setelah 31 Agustus 2014 pemerintah komunis RRTresmi menolak tuntutan pencalonan (pemimpin eksekutif SAR) secara terbuka dan lebih demokratis, massa prodemokrasi di kepulauan berluas 1.000 km2 dan kini berpenduduk 7,2 juta jiwa itu makin intensif berunjuk rasa.

Unjuk rasa berskala luas (melibatkan mahasiswa, siswa SLTA, dan masyarakat) dan berdurasi panjang yang direncanakan berlangsung lebih dari sepekan, sudah dimulai 22 September lalu. Bahkan aksi protes lebih besar diagendakan 1 Oktober besok (SM, 23/9/14). Demonstran tak hanya akan memadati lapangan-lapangan umum semisal Victoria Park tapi juga pusat-pusat bisnis dan keuangan. Keadaan ini membuat kalangan pelaku ekonomi di Hongkong mengantisipasi kemungkinan terburuk.

Bernard Chan (Presiden Asia Financial Holding) telah mempersiapkan segala sesuatu guna menyelamatkan kegiatan bisnis andai situasi terburuk terjadi. Selain itu, demonstran menyeru pemogokan sipil secara luas (melibatkan akademisi, pebisnis, dan karyawan pabrik) demi dipenuhinya tuntutan praktik demokrasi penuh dalam pemilihan pemimpin eksekutif, yakni para kandidat pemimpin dari masyarakat, dan dipilih langsung oleh masyarakat yang punya hak pilih.

Apakah aksi demonstrasi besar Rabu besok bisa memaksa pemerintah komunis di Beijing memenuhi tuntutan pelaksanaan demokrasi penuh seperti diinginkan pengunjuk rasa? Atau sebaliknya aksi tersebut gagal total?

Melihat sinyal dari Beijing, agaknya demonstrasi besar kalangan prodemokrasi di Hong Kong untuk memaksa penguasa Tiongkok memenuhi tuntutan mereka tidak akan berhasil. Sejauh ini sikap penguasa Tiongkok konsisten untuk tidak memenuhi tuntutan pelaksanaan demokrasi penuh. ’

Setelah 31 Agustus lalu resmi menolak tuntutan tersebut, Presiden Tiongkok Xi Jinping, sebagaimana dilansir Harian Ta Kung Pao (22/9/14), menyatakan, ’’Kami tak akan memberi kelongggaran sedikit pun kepada tuntutan demokrasi. Kebijakan Beijing terhadap Hong Kong terutama terkait pemilihan pemimpin eksekutif tidak berubah, dan tak akan pernah berubah yakni rakyat Hongkong hanya boleh memilih para calon pemimpin yang ditunjuk oleh kaum loyalis Beijing.’’

Tuduhan Subversif

Di luar itu, aparat keamanan di Hong Kong yang dikendalikan langsung dari Beijing sudah bertindak tegas terhadap sejumlah tokoh pendukung demonstran prodemokrasi. Beberapa tokoh pendukung demokrasi, antara lain Jimmy Lay (pemilik Harian Hongkong Apple), Lee Cheuk-yan (angggota parlemen Hong Kong), dan Tang Lingling (pengacara hak asasi manusia) diinterogasi. Bahkan Tang Lingling ditahan atas tuduhan tindakan subversif.

Konsistensi penguasa Beijing bertindak keras terhadap kalangan prodemokrasi tentu dilatarbelakangi kekhawatiran meluasnya tuntutan serupa di beberapa wilayah sensitif lain, seperti Macau, eks koloni Portugal yang masyarakatnya juga menginginkan praktik demokrasi. Apa yang bakal terjadi bila demonstran ngotot tidak mau menghentikan aksinya?

Apakah aparat keamanan di Hong Kong akan bertindak keras terhadap demonstran seperti saat aparat keamanan Tiongkok membungkam ribuan pengunjuk rasa di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989, yang menelan banyak korban jiwa?

Melihat eskalasinya, tak menutup kemungkinan hal itu terjadi. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengantisipasi kemungkinan Hong Kong menjadi ’’Tiananmen Kedua’’. Apabila demonstran prodemokrasi terus bertahan untuk berunjuk rasa dan penguasa Beijing bersikeras tak memberi konsesi apa pun, niscaya tragedi Tiananmen seperempat abad lampau terjadi di Hong Kong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar