Dari
Rakyat Kembali ke DPRD
Slamet Sudjono ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota
KPU Jawa Tengah 2003-2008
|
SUARA
MERDEKA, 30 September 2014
“Akan lebih
baik bila muncul kekuatan politik pendulum sebagai penengah yang benar-benar
komit prorakyat”
DRAMA politik pembahasan RUU tentang Pilkada sudah berakhir melalui
voting yang dimenangi kelompok partai politik yang tergabung dalam Koalisi
Merah Putih. Voting yang tidak seimbang, yakni 226 suara mendukung pilkada
lewat DPRD dan 133 mendukung pilkada langsung. Pembahasan rancangan
undang-undang itu lebih beraroma politik ketimbang substansi hukumnya.
Pemerintah, melalui mendagri sebagai insiator, yang semula mengusulkan
RUU itu, yakni pilkada kabupaten/kota dipilih langsung dan pilkada provinsi
dipilih DPRD, malah bereposisi mengikuti tekanan pilkada langsung, yang
semula didukung mayoritas fraksi. Beberapa fraksi di DPR yang awalnya
mendukung pilkada langsung pun, kemudian bereposisi ke pilkada lewat DPRD.
Buru-buru Presiden SBY mendukung pilkada langsung kendati menyertakan
10 syarat. Tapi dalam voting itu
Partai Demokrat memilih walk out
sehingga makin memberi jalan lapang bagi kembalinya pilkada dari rakyat ke
DPRD. Padahal sebagian anggota Apeksi dan Apkasi sebagai adresat dan pelaku pilkada, justru menolak pilkada lewat DPRD.
Montesquieu mengajarkan Trias
Politica bahwa di dalam negara perlu ada checks and balances di antara
tiga pilar kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setelah era
reformasi, di Indonesia berkembang ’’tri akses politika’’ atau tiga lingkaran
kekuasaan pemerintahan yang diakses melalui kontestasi tiga pemilu.
Pertama; akses pilpres yang memperebutkan lingkaran kekuasaan presiden
dan pembantunya. Kedua; akses pileg yang memperebutkan lingkaran kekuasaan di
parlemen, dan ketiga; akses pilkada memperebutkan lingkaran kekuasaan pemda,
baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang terdiri atas DPRD dan kepala
daerah.
Lingkaran kekuasaan pemerintahan melalui pilpres kini sudah dikuasai
Jokowi-JK dan partai pendukungnya, sedangkan lingkaran kekuasaan pemerintahan
melalui pileg dikuasai Koalisi Merah Putih. Giliran lingkaran kekuasaan
berikutnya, yaitu pemerintahan daerah, kini sedang dan akan diperebutkan
lewat pembahasan RUU Pilkada.
Di atas kertas, manakala pilkada dipilih melalui DPRD serta Koalisi
Merah Putih tetap solid dan permanen sampai ke tingkat daerah maka peluang
koalisi itu menguasai lingkaran kekuasaan pemda sudah dalam genggaman. Dampak
secara horizontal, hubungan antara presiden dan parlemen bisa dan telah
terjadi keseimbangan. Secara vertikal, hubungan antara presiden dan
gubernur/bupati/wali kota yang secara fungsional adalah kepala satuan
pemerintahan yang bersama DPRD menyelenggarakan desentralisasi dari presiden,
juga bisa seimbang.
Bahayanya adalah bila terjadi ’’keseimbangan yang tak seimbang’’
sebagaimana kita lihat dalam voting RUU Pilkada baru-baru ini, terlebih bila
dominasi di parlemen juga akan muncul di DPRD. Keseimbangan akan sangat baik
dalam kerangka checks and balances namun keseimbangan yang tidak seimbang,
secara kuantitatif baik secara horizontal maupun vertikal, akan dihantui oleh
ketidakstabilan pemerintahan. Terlebih bila dalih sila ke-4
Pancasila,’’kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan’’ justru diarahkan dan diakhiri dengan voting.
Dalam konfgurasi semacam itu, akan lebih baik muncul kekuatan politik
pendulum sebagai penengah yang komit prorakyat, artinya bersikap ’’semua
untuk semua’’dan bukannya untuk kepentingan golongan tertentu. Semula, banyak
orang mengira Demokrat bisa tampil mengisi peran pendulum sebagai penengah
kontestasi dua koalisi yang bersaing secara tidak seimbang itu. Sayang,
menjelang akhir drama Demokrat malah ’’lari’’.
Sistem
Sendiri
Dalam sidang BPUKI berkait sistem pemerintahan negara, Soepomo setelah
menguraikan kelebihan dan kelemahan sistem presidensial seperti di AS dan
sistem parlementer seperti di Inggris mengemukakan bahwa negara kita
sebaiknya memakai sistem sendiri, yaitu presiden bukan bertanggung jawab
kepada DPR melainkan kepada MPR.
Pada bagian lain, dia mengemukakan bahwa untuk menjamin supaya pimpinan
negara, terutama presiden, bisa terus-menerus ’’bersatu jiwa dengan rakyat’’ maka
dalam susunan pemerintahan negara kita harus dibentuk sistem MPR. Berdasarkan
UUD 1945 sebelum diamendemen, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR mengingat majelis tersebut adalah penjelmaan rakyat.
Sekarang, sistem pilkada langsung telah kembali ke DPRD. Itulah
realitasnya minimal seusai drama voting
di DPR, kecuali bila MK memutus lain. Benar bahwa pilkada lewat DPRD juga
demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 namun ada tiga hal
yang perlu dijamin sebagai prinsip supremasi konstitusi.
Pertama; prinsip kedaulatan rakyat bahwa hak politik dan partisipasi
politik rakyat tidak boleh tercerabut. Kedua; prinsip otda bahwa hak daerah
otonom khususnya kabupaten/kota yang memiliki otonomi penuh tak boleh
diintervensi oleh pusat. Ketiga; prinsip presidensial bahwa di daerah pun kepala
pemerintahan daerah harus “bersatu jiwa dengan rakyatnya”. Panta rhei semuanya bisa berubah
kecuali perubahan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar