Kamis, 02 Oktober 2014

Dari Rakyat Kembali ke DPRD

Dari Rakyat Kembali ke DPRD

Slamet Sudjono  ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008
SUARA MERDEKA,  30 September 2014

                                                                                                                       


“Akan lebih baik bila muncul kekuatan politik pendulum sebagai penengah yang benar-benar komit prorakyat”

DRAMA politik pembahasan RUU tentang Pilkada sudah berakhir melalui voting yang dimenangi kelompok partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Voting yang tidak seimbang, yakni 226 suara mendukung pilkada lewat DPRD dan 133 mendukung pilkada langsung. Pembahasan rancangan undang-undang itu lebih beraroma politik ketimbang substansi hukumnya.

Pemerintah, melalui mendagri sebagai insiator, yang semula mengusulkan RUU itu, yakni pilkada kabupaten/kota dipilih langsung dan pilkada provinsi dipilih DPRD, malah bereposisi mengikuti tekanan pilkada langsung, yang semula didukung mayoritas fraksi. Beberapa fraksi di DPR yang awalnya mendukung pilkada langsung pun, kemudian bereposisi ke pilkada lewat DPRD.

Buru-buru Presiden SBY mendukung pilkada langsung kendati menyertakan 10 syarat. Tapi dalam voting itu Partai Demokrat memilih walk out sehingga makin memberi jalan lapang bagi kembalinya pilkada dari rakyat ke DPRD. Padahal sebagian anggota Apeksi dan Apkasi sebagai adresat dan pelaku pilkada, justru menolak pilkada lewat DPRD.

Montesquieu mengajarkan Trias Politica bahwa di dalam negara perlu ada checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setelah era reformasi, di Indonesia berkembang ’’tri akses politika’’ atau tiga lingkaran kekuasaan pemerintahan yang diakses melalui kontestasi tiga pemilu.

Pertama; akses pilpres yang memperebutkan lingkaran kekuasaan presiden dan pembantunya. Kedua; akses pileg yang memperebutkan lingkaran kekuasaan di parlemen, dan ketiga; akses pilkada memperebutkan lingkaran kekuasaan pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang terdiri atas DPRD dan kepala daerah.

Lingkaran kekuasaan pemerintahan melalui pilpres kini sudah dikuasai Jokowi-JK dan partai pendukungnya, sedangkan lingkaran kekuasaan pemerintahan melalui pileg dikuasai Koalisi Merah Putih. Giliran lingkaran kekuasaan berikutnya, yaitu pemerintahan daerah, kini sedang dan akan diperebutkan lewat pembahasan RUU Pilkada.

Di atas kertas, manakala pilkada dipilih melalui DPRD serta Koalisi Merah Putih tetap solid dan permanen sampai ke tingkat daerah maka peluang koalisi itu menguasai lingkaran kekuasaan pemda sudah dalam genggaman. Dampak secara horizontal, hubungan antara presiden dan parlemen bisa dan telah terjadi keseimbangan. Secara vertikal, hubungan antara presiden dan gubernur/bupati/wali kota yang secara fungsional adalah kepala satuan pemerintahan yang bersama DPRD menyelenggarakan desentralisasi dari presiden, juga bisa seimbang.

Bahayanya adalah bila terjadi ’’keseimbangan yang tak seimbang’’ sebagaimana kita lihat dalam voting RUU Pilkada baru-baru ini, terlebih bila dominasi di parlemen juga akan muncul di DPRD. Keseimbangan akan sangat baik dalam kerangka checks and balances namun keseimbangan yang tidak seimbang, secara kuantitatif baik secara horizontal maupun vertikal, akan dihantui oleh ketidakstabilan pemerintahan. Terlebih bila dalih sila ke-4 Pancasila,’’kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’’ justru diarahkan dan diakhiri dengan voting.

Dalam konfgurasi semacam itu, akan lebih baik muncul kekuatan politik pendulum sebagai penengah yang komit prorakyat, artinya bersikap ’’semua untuk semua’’dan bukannya untuk kepentingan golongan tertentu. Semula, banyak orang mengira Demokrat bisa tampil mengisi peran pendulum sebagai penengah kontestasi dua koalisi yang bersaing secara tidak seimbang itu. Sayang, menjelang akhir drama Demokrat malah ’’lari’’.

Sistem Sendiri

Dalam sidang BPUKI berkait sistem pemerintahan negara, Soepomo setelah menguraikan kelebihan dan kelemahan sistem presidensial seperti di AS dan sistem parlementer seperti di Inggris mengemukakan bahwa negara kita sebaiknya memakai sistem sendiri, yaitu presiden bukan bertanggung jawab kepada DPR melainkan kepada MPR.

Pada bagian lain, dia mengemukakan bahwa untuk menjamin supaya pimpinan negara, terutama presiden, bisa terus-menerus ’’bersatu jiwa dengan rakyat’’ maka dalam susunan pemerintahan negara kita harus dibentuk sistem MPR. Berdasarkan UUD 1945 sebelum diamendemen, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR mengingat majelis tersebut adalah penjelmaan rakyat.

Sekarang, sistem pilkada langsung telah kembali ke DPRD. Itulah realitasnya minimal seusai drama voting di DPR, kecuali bila MK memutus lain. Benar bahwa pilkada lewat DPRD juga demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 namun ada tiga hal yang perlu dijamin sebagai prinsip supremasi konstitusi.

Pertama; prinsip kedaulatan rakyat bahwa hak politik dan partisipasi politik rakyat tidak boleh tercerabut. Kedua; prinsip otda bahwa hak daerah otonom khususnya kabupaten/kota yang memiliki otonomi penuh tak boleh diintervensi oleh pusat. Ketiga; prinsip presidensial bahwa di daerah pun kepala pemerintahan daerah harus “bersatu jiwa dengan rakyatnya”. Panta rhei semuanya bisa berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar