Selasa, 14 Oktober 2014

Setelah DPR Menjagal Hak Rakyat

                           Setelah DPR Menjagal Hak Rakyat

Abdul Wahid  ;   Mengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
di Universitas Islam Malang
KORAN JAKARTA,  09 Oktober 2014

                                                                                                                       


Apa lagi langkah DPR setelah mengeliminasi hak politik rakyat dalam pilkada? Proyek apa lagi yang akan dilakukan DPR setelah menggusur hak daulat rakyat? Rakyat telah dikhianati sekelompok anggota Dewan. Komunitas elite yang diberi kepercayaan mengayomi hak berpolitik rakyat telah menunjukkan diri sebagai penjagal.

Pengkhianatan itu tampaknya akan berlanjut karena masih ada UU yang tengah dibidik untuk dibonsai, terutama yang mengatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK terancam diobrak-abrik Dewan lantaran sejumlah pemimpin Dewan sekarang sedang atau akan bermasalah dengan KPK.

Meskipun ada saluran yudisial di Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa digunakan, sejumlah pakar tidak sependapat dengan pemberangusan hak daulat rakyat. Warga wajib bersuara lantang menolak. Masyarakat tidak boleh mendiamkan pengeliminasian hak konstitusional berjaya, termasuk hak mendapat keadilan dalam penanganan korupsi.

Albert Einstein pernah mengingatkan, ”Dunia menjadi semakin tidak aman dan damai untuk dihuni. Ini bukan karena ulah para penjahat, tetapi akibat sikap kita yang mendiamkan kejahatan berlangsung.”

Einstein mengajarkan konstruksi demokrasi tetap akan terjaga dengan baik sepanjang rakyat tidak membiarkannya dikeroposi para penyelenggara negara. Demokrasi dan keadilan hanya akan menjadi macan kertas manakala kekuatan elite dibiarkan menjadi pemenang dan mengangkanginya.

”Kalau orang kecil berdusta, tidak banyak mengandung racun bagi orang lain. Tapi bila yang berdusta orang berpangkat atau berkedudukan, bisanya menjalar ke mana-mana. Dia dapat menggerogoti dan merapuhkan negara, bahkan bisa membuat negara tinggal jadi bayang-bayang,” demikian pernyataan Misbah El-Huda (2010). Ini mengingatkan setiap elite bangsa supaya tidak berdusta dan menebas pengkhianatan di mana-mana.

Dalam pengkhianatan. terkandung bisa yang menyakiti dan mematikan bangsa. Siapa saja yang terjangkiti bisa bakal memunculkan petaka sosial yang struktural. Berbagai bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, manipulasi, dan suap, merupakan deskripsi konkret malapraktik jabatan. Ini bersumber dari pengkhianatan yang merajalela dan melahirkan penjahat jabatan.

Kelompok DPR yang mengesahkan RUU Pilkada dan bernafsu mempreteli UU KPK, yang bertujuan memberangus hak demokrasi dan keadilan, hanyalah pemain-pemain sinetron. Dalam panggung sinetron, diatur sedemikian rupa akrobat rekayasa yang mengesankan bahwa ucapan-ucapannya suatu kebenaran. Padahal yang disampaikan, sejatinya, hanya permainan yang mengikuti arahan sutradara. Para dalang sudah mengadakan kesepakatan dengan sesama Dewan untuk menjadikan pengkhianatan sebagai opsi agar kepentingan individu, kelompok, dan partai terwujud.

Itulah strategi yang hanya mengejar keuntungan sesaat. Suara Dewan harus bisa mendatangkan pendapatan sebanyak-banyaknya, termasuk keuntungan politik dan yuridis. Mereka tidak peduli menyalahgunakan kekuasaan.

Filsof Aristoteles sudah mengingatkan, semakin tinggi pemujaan manusia pada uang, tambah rendahlah penghargaan insan pada nilai-nilai kesusilaan, kepantasan, kebenaran, dan kejujuran. Ini menunjukkan bahwa maraknya korupsi atau pemujaan uang secara ilegal merupakan bukti kemenangan pengkhianatan yang telah melahirkan dan menyemaikan racun di mana-mana. Dewan tidak lagi merasa bersalah untuk menjual, bahkan mematikan hak berpolitik rakyat.

Buta Keadaban

Indonesia Corruption Watch pernah melaporkan anggota DPR menempati urutan pertama tersangka korupsi. Kasus tersebut menunjukkan dosa yang dilakukan Dewan dalam mengkhianati rakyat memalukan dan memilukan. Kredibilitas yang diberikan rakyat telah dinodai. Mereka secara umum berasal dari kalangan terpelajar, namun perbuatannya mencerminkan orang buta tatanan masyarakat berkeadaban.

Tindakan Dewan telah mengakibatkan problem besar masyarakat. Tidak sedikit uang rakyat yang semestinya untuk proyek-proyek pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan akhirnya mengalir ke tempat yang tidak seharusnya. Kriminalisasi anggaran dilakukan dengan cara membonceng kepentingan-kepentingan publik.

Tindakan Dewan dapat dikategorikan sejalan pikiran Nicollo Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingannya. Mereka melupakan kepentingan dan penderitaan rakyat.

Para koboi Senayan, dalam perjalanan perpolitikan, memang senantiasa berpola-pola pengkhianatan. Mereka antara lain pernah mengkhianati bidang hukum. Mantan Ketua MK, Mahfud MD, menamainya korupsi legislasi sebab Dewan menerima usulan pembaruan hukum karena ada dana besar yang mengalir.

Membaca sepak terjang Dewan seperti itu, rakyat berkewajiban turun gelanggang untuk melakukan protes. Demikian juga kelompok-kelompok yang tergabung dalam LSM, ormas, keagamaan, mahasiswa, akademisi, dan media massa.

Rakyat tidak boleh menunggu sampai pemilu lagi dengan mengancam tidak memberikan suara kepada anggota Dewan atau parpol yang merestui RUU Pilkada. Warga harus bergerak sekarang juga dengan berbagai cara, seperti melancarkan gugatan, selebaran, dan “curhat” secara terus-menerus di media sosial tentang bentuk-bentuk pengkhiatan atau kejahatan yang dilakukan Dewan.

Masyarakat dengan berbagai cara harus merebut kembali hak-hak yang telah dikangkangi DPR. Jangan biarkan hak diberangus hanya untuk kepentingan sesaat segelintir Dewan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar