Bandara
Kamil dan Pelabuhan Bergarbarata
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 06 Oktober 2014
“Saya
pernah kehujanan saat antre imigrasi di bandara Bandung ini. Antrenya panjang
sampai ke luar bangunan.”
Yang
mengucapkan itu bukan orang sembarangan: Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
“Setahun lagi Pak Wali Kota tidak akan malu lagi. Bandara wajah baru akan
selesai dalam 12 bulan.” Yang mengucapkan ini saya.
Hari
itu, pekan lalu, pembangunan terminal baru Bandara Husein Sastranegara
Bandung dimulai. Waskita Karya, kontraktornya, sanggup mengerjakannya dalam
12 bulan. Dengan demikian, saat HUT kota Bandung September tahun depan,
bandara baru bisa jadi kado terbaik.
Direktur
Utama PT Angkasa Pura II Tri Sunoko sebenarnya sudah merencanakan
pembangunannya tahun lalu. Anggarannya pun sudah siap. Tapi, urusan
tukar-menukar lahan baru minggu lalu tuntas.
Bandara
Bandung memang unik. Ini adalah bandara milik TNI-AU. Lokasi perluasan itu menyangkut
tanah PT Dirgantara Indonesia, PT AP II, dan TNI-AU. Harus ada administrasi
yang panjang untuk menyepakatinya agar tidak terjadi masalah di kemudian
hari.
Memang
bandara Bandung masih termasuk salah satu yang “memalukan”. Mirip dengan
kondisi bandara Semarang, Jogja, dan Banjarmasin. Tapi, Bandung sedang dalam
pengerjaan. Semarang juga segera mulai. Dua minggu lagi.
Bahkan,
seandainya tidak ada masalah lahan, tahun lalu pun pembangunan Bandara Ahmad
Yani Semarang yang baru sudah bisa dimulai. Dirut Angkasa Pura I Tommy
Soetomo sudah menyediakan dananya sejak tahun lalu.
Bandara
Banjarmasin juga sama. Tommy sudah menganggarkan tahun lalu. Persoalan tanah
luar biasa alotnya. Tapi, masalah itu kini juga sudah selesai. Dua minggu
lagi pekerjaan sudah bisa dimulai. Tinggal Jogja yang masih agak lama. Harus
menunggu perpindahan lokasi ke Kulon Progo. Tidak mudah mengadakan lahan
hampir 1.000 hektare di lokasi baru.
Setelah
Lombok, Medan, Makassar, Riau, Jambi, Palembang, Balikpapan, Denpasar semua
memiliki bandara baru dan kalau pembangunan di Bandung, Semarang, Silangit,
dan Banjarmasin selesai, praktis tidak ada lagi bandara di bawah BUMN yang
masih “memalukan”.
Minggu
kemarin, dalam perjalanan menuju Waingapu, saya meninjau (lagi dan lagi)
bandara baru Bali. Yang sudah seminggu tidak ke Bali sebaiknya segera ke Bali
lagi. Lihatlah terminal domestiknya. Sudah seminggu ini difungsikan. Tidak
lagi “nebeng darurat” di terminal baru internasional.
Lihatlah
ruang check-in-nya. Terbaik di dunia sepanjang yang saya tahu. Saya lebih
menyukai terminal domestik ini daripada terminal internasionalnya yang mewah
itu.
Tentu
saya juga berkeliling terminal internasional. Atas dan bawah. Sampai ke ruang
boarding. “Ini sudah sekelas bandara Hongkong,” ujar saya kepada Herry
Sikado, GM Bandara Ngurah Rai, yang selama dua jam menyertai saya “olahraga
pagi” jalan cepat dari terminal ke terminal.
“Yang
jelas sudah mengalahkan bandara Melbourne dan Sydney,” celetuk Sikado. “Saya
baru kembali dari sana,” jelasnya. “Nilai bandara Melbourne kira-kira 7,5.
Nilai Ngurah Rai setidaknya 8,5,” tambahnya.
Itu
dibenarkan seorang turis asal Perth, Australia Barat. Kepada Sikado, turis
tersebut mengatakan, nilai bandara Bali ini sembilan. Bahkan, mungkin
sepuluh. “Bandara Perth nilainya delapan,” kata turis itu.
“Revolusi”
harga diri juga terjadi di pelabuhan laut. Minggu lalu, dengan agak
dipaksakan, saya diminta meresmikan Terminal Penumpang Gapura Surya
Nusantara, sebuah terminal modern di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, milik
Pelindo III.
Saya
sebut “agak dipaksakan” karena pelabuhan tersebut sebenarnya baru benar-benar
selesai bulan depan. Masih ada beberapa kabel yang belum nyambung.
Masa
jabatan saya berakhir pada 18 Oktober minggu depan. Mungkin Dirut Pelindo III
ingin agar saya melihat sendiri apakah antara perencanaan dan pelaksanaannya
sesuai dengan yang saya harapkan.
“Melebihi
yang kita rencanakan,” komentar saya kepada Djarwo Surjanto, Dirut Pelindo
III. “Saya tidak menyangka Anda merealisasikannya sebagus ini,” tambah saya
sambil menunjuk garbarata.
Garbarata?
Yes!
Inilah untuk kali pertama penumpang kapal dilewatkan garbarata. Seperti naik
pesawat saja. Tidak lagi lewat tangga di dinding kapal yang bergoyang-goyang
itu. Yes! Pelindo III memulainya! Sejarah! Terminalnya pun istimewa. Bandara
Halim saja kalah! Bandara Terminal I Surabaya pun takluk!
Tapi,
“dendam” saya sebenarnya bukan di Surabaya. Melainkan di Nunukan. Nunukan-lah
pelabuhan laut yang langsung berhadapan dengan Malaysia (Tawao, Sabah). Lalu
lintasnya sangat ramai. Tapi, pelabuhan penumpangnya ampun-ampun jelek dan
semrawutnya!
Rasanya
begitu malu. Begitu meninggalkan Tawao dan mendarat di Nunukan, njomplang-nya
luar biasa. Seolah-olah bangsa ini memang pantas menjadi pesuruh bangsa
Malaysia. Ngurusi pelabuhan saja tidak bisa.
Beda
Tawao (Malaysia) dan Nunukan (Indonesia) bukan lagi langit dan bumi. Tapi,
langit dan sumur!
Saya
langsung menelepon Dirut ASDP Danang Baskoro. “Memalukan,” kata saya. “Ayo
kita bangun yang modern. Lebih modern daripada Tawao. Ini persoalan kecil,”
kata saya.
“Pak
Dahlan, itu bukan milik BUMN,” jawabnya lantas tertawa. Begitu gelinya dia
mendengar omelan saya, sampai-sampai gerak bibir Danang terasa di HP saya.
“Kalau
begitu, ajukan permintaan untuk kita ambil alih,” kata saya agak malu.
“Hehehe,” jawabnya.
Kini
dengan selesainya Terminal Penumpang Gapura Surya di Tanjung Perak, dendam
itu setengah terbayar. Thanks, Pak Djarwo!
Jawaban
separonya lagi akan diberikan Dirut Pelindo IV Mulyono. Tahun depan. Mulyono sudah
menganggarkan akan membangun terminal penumpang di Nunukan. Dirut Pelindo I
Bambang Eka Cahyana juga membangun hal yang sama di Pelabuhan Belawan. Saya
sudah setujui desainnya.
Pelindo
IV-lah yang akan membalaskan “dendam” kita di Nunukan. Inilah SMS Mulyono,
dua hari lalu:
“Selamat
pagi Pak Dahlan, kami laporkan untuk Nunukan tahun depan kami anggarkan
membangun terminal baru yang akan lebih bagus dibandingkan terminal penumpang
di Tawao (Malaysia)”.
Alhamdulillah.
Tentu bukan pepesan kosong. Bukan pula PHP. Sebagai bukti bahwa tekad itu
sudah membaja, Mulyono pun kini menyelesaikan terminal penumpang kapal di
Makassar sama modernnya dengan yang baru saya resmikan di Tanjung Perak itu.
Juga, menggunakan garbarata dan eskalator-eskalator. “Tiga bulan lagi garbaratanya sudah
terpasang,” ujar Mulyono.
Tentu
saya bangga dengan teman-teman BUMN. Saya pun, dari bawah pohon kesambi di
pedalaman pulau Sumba yang kering, sambil memandang “kebun kincir angin”
ciptaan Ricky Elson, saya membalas SMS itu: “Saya terharu baca SMS Pak Mul.
Kalau terminal di Nunukan itu jadi kelak, jangan lupa SMS saya ya. Meskipun
saya tidak jadi menteri lagi, saya akan lihat ke sana.”
Pak Mul
pun menjawab: “Kami berharap Bapak tetap menyebarkan virus kerja keras,
cerdas, dan ikhlas.” “Amiiin,”
batin saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar