Senin, 20 Oktober 2014

Haru

Haru

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “UDAR RASA” di Kompas Minggu
KOMPAS,  19 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


APA yang telah terjadi pada diriku selama waktu itu? Dua puluh tahun. Aku tidak tahu. Sejak aku memilih tinggal di pinggir sungai Ayung ini, baru-baru saja aku menyadari diriku telah ”buta”. Bisa jadi hasratku akan keindahan rimbun sisi sungai ini telah menghanyutkan kesadaranku. Bisa jadi pula aku telah sibuk dengan tulisan ini dan impian itu. Yang jelas bak air sungai keruh yang mengalir hanyut di depan mataku untuk melebur di hilir terlupakan di lautan sana, kesadaranku pun telah hanyut dua puluh tahun lamanya…Dan aku baru sadar atas ketaksadaranku itu.

Masalahnya bukan air keruh, bukan keindahan sungai, bukan tulisan ini, atau impian itu, tetapi bunga-bunga jepun layu yang telah bertahun-tahun gagal kulihat berguguran di bawah pohonnya, serta seorang wanita krempeng yang tak pernah pula kumau perhatikan cara dia mencari nafkah.

Hal-hal ini aku insafi baru-baru saja; ketika, lagi asyik ”ngobrol” di kios pulsa yang terletak tepat di mulut gang rumahku, aku melihat perempuan tetanggaku–kurus-kering dan reot–keluar tertatih-tatih dari gang sambil memungut-mungut sesuatu di tanah. ”Apa yang dilakukan oleh Ibu Sumerti itu?” tanyaku heran. ”Oh, dia hanya memungut bunga,” jawab Dayu pemilik kios santai. Bunga-bunga apa? Walau memandangi perempuan itu membungkuk, aku mula-mula tak ’melihat’ adanya bunga-bunga itu. Atau tepatnya aku baru melihatnya setelah betul-betul mengamati: bunga-bunga yang dia pungut adalah ’sisa’ bunga, kuntum jepun robek nan layu, yang tinggal menanti hujan untuk musnah menjadi tanah. ”Untuk apa dipungut begitu?” tanyaku lagi. ”Untuk dijual, agar kemudian dapat diolah menjadi pewangi dupa,” sahut Dayu.…Aku tertegun, terbesit sekilas di benakku bayangan orang yang sembahyang dan memanggil Tuhan.

Tiba-tiba aku insaf. Baru mengerti mengapa aku selama ini tak pernah ”melihat” gerak-gerik wanita tua itu: ya, dia miskin-bodoh, tak cantik berseri, dan jepun-jepun pungutannya tidak lagi mekar, melainkan layu… Aku kini teringat sikapku: bila naik dari sungai mengemudi mobil, kerap kutemui wanita itu di ujung gang rumahku membungkuk-bungkuk layaknya mencari-cari sesuatu di tanah. Dia selalu menyapaku halus: ”Kemana, Pak Kadek”, lalu meminggir malu. Tetapi aku? Bagaimana reaksiku? Mataku hanya singgahi mukanya dan, disekat kaca mobil, aku cepat-cepat lewat bahkan tanpa melihat bunganya, lalu melupakannya. Memang, bagiku, kala itu, baik jepun-jepun maupun wanita desa itu sama-sama layu berkerunyut tua, menanti menjadi tanah terbawakan waktu… Banal, tak menarik, tak ”pantas” menjadi pokok perhatianku; tak mampu membuatku haru.

Kini, sesudah beberapa minggu aku tidak melihat Ibu Sumerti lagi, timbul dalam diri pertanyaan-pertanyaan tentang sikapku? Apakah aku selama ini memang sedemikian terkecoh dengan impian mulukku sehingga tak mampu melihat kemiskinan si renta yang menyapaku? Jangan-jangan seruan-seruan keadilan sosial yang gemar aku lontarkan perihal peristiwa ini atau itu, sejatinya tak lebih dari sarana merasa diri ”baik” nan soleh, atau bahkan ”pinter”!!

Aku kini berupaya membuka mata: di dunia kesadaranku sudah hadir Pak Tua, asal Madura, pedagang keliling kerai bambu yang aku selama ini ”lupa” memperhatikan batuknya; hadir juga si Kelor nan kerempeng, yang setiap hari membayar Rp 20.000 cicilan bunga kepada rentenir kecil yang meminjamkannya 500.000 rupiah; tak terlupakan juga Mas Rudi yang hingga kemarin masih memandang sehelai terpal sebagai rumahnya. Dan Ibu Sumerti? Meskipun ”hadir” di benakku tentu saja, aku tidak melihatnya lagi. Dia sakit. Seperti halnya bunga jepun kering yang tak lagi dipungutnya, aku khawatir dia memang pada akhirnya sudah bersiap-siap kembali menjadi tanah.

Aku telah dibuat tersentuh haru oleh kuntum-kuntum layu bunga dan wanita tua …Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar