Haru
Jean Couteau ; Penulis Kolom “UDAR RASA” di Kompas Minggu
|
KOMPAS,
19 Oktober 2014
APA yang telah terjadi pada diriku selama waktu itu? Dua puluh tahun.
Aku tidak tahu. Sejak aku memilih tinggal di pinggir sungai Ayung ini,
baru-baru saja aku menyadari diriku telah ”buta”. Bisa jadi hasratku akan
keindahan rimbun sisi sungai ini telah menghanyutkan kesadaranku. Bisa jadi
pula aku telah sibuk dengan tulisan ini dan impian itu. Yang jelas bak air
sungai keruh yang mengalir hanyut di depan mataku untuk melebur di hilir
terlupakan di lautan sana, kesadaranku pun telah hanyut dua puluh tahun
lamanya…Dan aku baru sadar atas ketaksadaranku itu.
Masalahnya bukan air keruh, bukan keindahan sungai, bukan tulisan ini,
atau impian itu, tetapi bunga-bunga jepun layu yang telah bertahun-tahun
gagal kulihat berguguran di bawah pohonnya, serta seorang wanita krempeng
yang tak pernah pula kumau perhatikan cara dia mencari nafkah.
Hal-hal ini aku insafi baru-baru saja; ketika, lagi asyik ”ngobrol” di
kios pulsa yang terletak tepat di mulut gang rumahku, aku melihat perempuan
tetanggaku–kurus-kering dan reot–keluar tertatih-tatih dari gang sambil
memungut-mungut sesuatu di tanah. ”Apa yang dilakukan oleh Ibu Sumerti itu?”
tanyaku heran. ”Oh, dia hanya memungut bunga,” jawab Dayu pemilik kios
santai. Bunga-bunga apa? Walau memandangi perempuan itu membungkuk, aku
mula-mula tak ’melihat’ adanya bunga-bunga itu. Atau tepatnya aku baru
melihatnya setelah betul-betul mengamati: bunga-bunga yang dia pungut adalah
’sisa’ bunga, kuntum jepun robek nan layu, yang tinggal menanti hujan untuk
musnah menjadi tanah. ”Untuk apa dipungut begitu?” tanyaku lagi. ”Untuk
dijual, agar kemudian dapat diolah menjadi pewangi dupa,” sahut Dayu.…Aku
tertegun, terbesit sekilas di benakku bayangan orang yang sembahyang dan
memanggil Tuhan.
Tiba-tiba aku insaf. Baru mengerti mengapa aku selama ini tak pernah
”melihat” gerak-gerik wanita tua itu: ya, dia miskin-bodoh, tak cantik
berseri, dan jepun-jepun pungutannya tidak lagi mekar, melainkan layu… Aku
kini teringat sikapku: bila naik dari sungai mengemudi mobil, kerap kutemui
wanita itu di ujung gang rumahku membungkuk-bungkuk layaknya mencari-cari
sesuatu di tanah. Dia selalu menyapaku halus: ”Kemana, Pak Kadek”, lalu
meminggir malu. Tetapi aku? Bagaimana reaksiku? Mataku hanya singgahi mukanya
dan, disekat kaca mobil, aku cepat-cepat lewat bahkan tanpa melihat bunganya,
lalu melupakannya. Memang, bagiku, kala itu, baik jepun-jepun maupun wanita
desa itu sama-sama layu berkerunyut tua, menanti menjadi tanah terbawakan
waktu… Banal, tak menarik, tak ”pantas” menjadi pokok perhatianku; tak mampu
membuatku haru.
Kini, sesudah beberapa minggu aku tidak melihat Ibu Sumerti lagi,
timbul dalam diri pertanyaan-pertanyaan tentang sikapku? Apakah aku selama
ini memang sedemikian terkecoh dengan impian mulukku sehingga tak mampu
melihat kemiskinan si renta yang menyapaku? Jangan-jangan seruan-seruan
keadilan sosial yang gemar aku lontarkan perihal peristiwa ini atau itu,
sejatinya tak lebih dari sarana merasa diri ”baik” nan soleh, atau bahkan
”pinter”!!
Aku kini berupaya membuka mata: di dunia kesadaranku sudah hadir Pak
Tua, asal Madura, pedagang keliling kerai bambu yang aku selama ini ”lupa”
memperhatikan batuknya; hadir juga si Kelor nan kerempeng, yang setiap hari
membayar Rp 20.000 cicilan bunga kepada rentenir kecil yang meminjamkannya
500.000 rupiah; tak terlupakan juga Mas Rudi yang hingga kemarin masih
memandang sehelai terpal sebagai rumahnya. Dan Ibu Sumerti? Meskipun ”hadir”
di benakku tentu saja, aku tidak melihatnya lagi. Dia sakit. Seperti halnya
bunga jepun kering yang tak lagi dipungutnya, aku khawatir dia memang pada
akhirnya sudah bersiap-siap kembali menjadi tanah.
Aku telah dibuat tersentuh haru oleh kuntum-kuntum layu bunga dan
wanita tua …Bagaimana dengan Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar