Teks-Teks
yang Merindu Pemimpin
Tjahjono
Widarmanto ; Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Kalimas,
Penyair, Guru &
Mahasiswa Doktoral Unesa
|
JAWA
POS, 02 Juni 2014
TERSEBUTLAH,
seorang yang bernama Kleistenes hendak mengubah sistem pemerintahan Kota
Athena. Sebuah majelis pun dibentuk secara terbuka, lahirlah demokratia.
Peristiwa ini terjadi pada 508 SM. Semenjak itulah, rakyat, individu-individu
dalam masyarakat, dapat terlibat dan ikut bagian dalam memilih pemimpinnya
sesuai dengan citranya, bahkan dapat pula menawarkan dirinya untuk dipilih
menjadi pemimpin. Sejak saat itulah demokrasi menjadi pintu yang terkuak
lebar bagi setiap individu dalam masyarakat untuk menentukan pilihannya.
Dalam
putaran sejarah berikutnya, demokrasi menjadi sebuah harapan untuk menemukan
dan menentukan pemimpin. Demokrasi menjadi sebuah pesta, bahkan pasar, untuk
menawarkan jago-jago yang diharapkan dapat menjadi pemimpin yang memenuhi
harapan yang lebih cemerlang di masa depan. Demokrasi adalah ruang pasar yang
menawarkan komoditas ”dagangan pemimpin” yang dilemparkan kepada konsumennya,
yaitu masyarakat. Apa boleh buat, yang namanya pasar selalu menyediakan
komoditas yang pada ujungnya tidak selalu bisa memuaskan hasrat konsumennya.
Demikian juga komoditas pemimpin dalam pasar demokrasi, pada akhirnya belum
tentu tuntas memenuhi hasrat masyarakat. Namun, paling tidak demokrasi telah
menyediakan ruang untuk memenuhi obsesi masyarakat dalam menentukan
pemimpinnya.
Obsesi,
harapan, dan citra pemimpin telah menjadi hasrat perenungan sejak
berabad-abad lampau ketika manusia berkenalan dengan kekuasaan. Obsesi untuk
menjadi dan menentukan pemimpin menjadi obsesi kultural dan obsesi kolektif
yang mendorong direnungkannya kriteria-kriteria yang ideal pada sosok
pemimpin dan kepemimpinannya.
Teks-teks
sastra (bahkan teks yang lain!) selalu hadir dengan penawaran-penawaran
pemikiran, itu berarti selalu menawarkan dunia yang ideal. Maka, tak heran
kalau teks-teks itu selalu memimpikan citraan yang indah, kondisi sosial yang
ideal, dan individu-individu yang ideal. Wolfgang Iser menyebutnya sebagai
teks yang mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan apa yang tidak
terpentaskan, bahkan menghadirkan permasalahan yang tak bisa dituntaskan
dalam realitas keseharian.
Obsesi
tentang pemimpin dan kepemimpinan pun menjadi inspirasi berbagai teks,
terutama teks-teks sastra. Garry Yukl mendefinisikan kepemimpinan sebagai
perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu
kelompok menuju share goal atausatu tujuan, yang hendak dicapai bersama
(Hemhill, 1957). Senada dengan pendapat itu, Rauch dan Behling (1984)
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas sebuah
kelompok yang diorganisasi untuk pencapaian tujuan. Kedua pendapat tersebut
mengisyaratkan bahwa pemimpin dan cara memimpin (kepemimpinan) merupakan satu
kesatuan.
Teks-teks
di berbagai belahan dunia dan berbagai zaman telah memimpikan citra pemimpin
dan kepemimpinan yang ideal. Teks Ramayana dari India yang dianggap sebagai
salah satu teks epos dunia, dalam salah satu episodenya, yaitu Arranya Kanda,
yang kemudian disalin dan diadaptasi dalam bahasa Jawa dalam Kakawin
Ramayana, memaparkan delapan sifat ideal yang harus dimiliki seorang
pemimpin. Delapan sifat ideal itu disebut sebagai Hasta Brata atau delapan
laku pemimpin. Dalam teks India lainnya, yaitu Mahabarata, dalam satu
episodenya yaitu Bhisma Parwa, terdapat nasihat Bhisma kepada Yudhistira
tentang tugas-tugas seorang pemimpin dan bagaimana seorang pemimpin dalam
menjalankan amanat kekuasaannya.
Di Jawa
dan Bali banyak teks yang juga merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin
Gajah Mada dengan bertumpu pada sosok Gajah Mada, mahapatih Majapahit
termasyhur, digambarkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era
kapujanggan, citra dan gagasan pemimpin menjadi tema sentral dalam teks-teks
Jawa. Di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti
Praja, Serat Wulangreh (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV),
Serat Laksita Raja (Mangkunegara VII), dan sebagainya. Bahkan, sebelumnya, di
peradaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan
citra pemimpin.
Teks
Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan. Taj
us-Salatin (Mahkota Raja-Raja), sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari
al-Jauhari (1630), merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Dalam teks
tersebut diuraikan berbagai sifat pemimpin yang baik, yang sanggup membedakan
yang baik dan yang buruk, berilmu, mampu memilih bawahan yang benar, berbudi
pekerti baik, berani, tidak berfoya-foya, dan lurus.
Di
belahan dunia yang lain, di Eropa, pada 1513 muncullah sebuah teks berjudul
II Principe yang ditulis Niccolo Machiavelli. Teks ini menjadi sebuah rujukan
yang realistis bagi seorang penguasa dan pemimpin. Teks ini berisikan semacam
nasihat bagi seorang pemimpin. Untuk melanggengkankekuasaan, dia harus berani
dan tega melibas lawan-lawan politiknya, melipat saingan-saingan politiknya,
bahkan harus berani menjadi seorang tiran. Untuk mempertahankan kekuasaannya,
seorang pemimpin harus dapat melakukan cara apa pun untuk meraih kekuasaan
(the end justify the means). Bagi Machiavelli, seorang pemimpin harus
memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia dan sifat binatang.
Lalu
bagaimanakah impian-impian teks itu dalam dunia nyata?
Demokrasi
adalah pasar. Pasar tak selamanya bisa memuaskan berahi para konsumennya.
Risiko demokrasi adalah memberikan fatamorgana yang bisa saja berhenti sebatas
ilusi. Demokrasi berisiko mengelabui individu-individu masyarakat yang
terjebak pada kecanggihan strategi public relation melalui mesin kampanyenya.
Jadilah impian-impian itu, obsesi-obsesi tentang pemimpin menjadi impian yang
menguap, yang bisa melahirkan kekecewaan belaka.
Kekecewaan-kekecewaan
itu sebenarnya juga sudah diisyaratkan dalam teks-teks. Dalam The Leader
(Sang.Pemimpin) karya Ionesco digambarkan sebuah masyarakat yang
bertahun-tahun mengimpikan dan menantikan pemimpinnya yang konon agung, adil,
gagah, dan tampan; ternyata yang muncul adalah sosok pemimpin yang tak
berkepala! Lebih sarkasme dari Ionesco, pada 1945 George Orwell melalui novel
alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang) menunjukkan bahwa dalam
realitasnya sosok pemimpin yang ternyata jauh dari ideal penuh karut-marut
nafsu untuk korup dan menginjak.
Apa pun
yang tergambar dalam teks-teks yang berkait dengan obsesi mencari pemimpin,
baik yang merindu maupun yang mencaci, mengajarkan kepada kita untuk
menyiapkan diri untuk bahagia dan kecewa. Dengan kata lain, melalui teks-teks
itu kita diingatkan untuk tidak terlampau tersihir dan larut. Kita
diperingatkan untuk tidak terlalu menaruh harapan yang berlebihan kepada
sosok dan citra pemimpin yang ditawar-tawarkan, aja nggumunan dan aja
kagetan, sehingga jika nanti pemimpin yang muncul tak seideal yang
diinginkan, kita tak terkubur dalam frustrasi yang berkepanjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar