Senin, 16 Juni 2014

Pesan Antikorupsi kepada Capres 2014

Pesan Antikorupsi kepada Capres 2014

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kegigihan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kasus- kasus korupsi signifikan yang melibatkan penyelenggara negara setingkat menteri telah menambah daftar menteri, dirjen, dan kepala daerah korup sepanjang tahun 2013–2014.

Dari banyak kasus korupsi yang telah ditangani KPK dan kejaksaan, terbukti bahwa bidang perizinan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan tempat subur dan potensial penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Korupsi terjadi mulai dari hulu (perencanaan program) sampai dengan hilir (pelaksanaan program) dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah.

Maka pantas jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi sistemik dan meluas serta telah menghambat tujuan pembangunan nasional khususnya target pencapaian kesejahteraan manusia dan pembangunan infrastruktur. Kerugian negara yang bersifat masif melalui mafia proyek dan dikuatkan dengan kolaborasi penyelenggara negara yang tidak amanah dan bertanggung jawab sekalipun telah dicokok KPK dan Kejaksaan, tetap saja tidak bergeming karena masih kuat anggapan semua bisa dibeli dengan uang.

Beperkara sekalipun, terutama dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, bahkan pada tingkat pemeriksaan perkara di pengadilan, masih dipandang rentan suap dan gratifikasi sehingga mengurangi efek jera yang signifikan untuk mereda atau menghentikan syahwat duniawi aparatur penyelenggara negara.

Kondisi parah integritas penyelenggara negara harus dijadikan momentum presiden terpilih 2014 untuk segera menyusun strategi pemutarbalikan mindset dan sikap mental kinerja aparatur penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum secara berencana, berkesinambungan dan konsisten. Perubahan strategi antikorupsi berbasis tujuan retributifrepresif harus diimbangi dengan tujuan berbasis restoratifpreemptif dan preventif.

Jika selama ini pemenjaraan dijadikan ikon sukses penegakan hukum maka kini dan sejak 2014 ikon ke depan adalah pemulihan kerugian negara oleh pelaku dan ganti rugi kepada korban, baik perorangan, kelompok maupun korporasi. Strategi ini harus dijadikan pilihan alternatif yang diharapkan dapat memulihkan situasi sosial ekonomi Indonesia secara utuh. Perubahan strategi ini merupakan pilihan yang telah berhasil juga diterapkan di negaranegara maju.

Namun dengan catatan bahwa untuk Indonesia, alternatif strategi tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta perubahan mindsetdan sikap pelaksananya khususnya petinggi hukum termasuk petugas Polri, jaksa, dan hakim. Sebagai contoh, jika biaya perkara korupsi di Kejaksaan Agung atau di KPK sekitar Rp100 juta, tentu arah dan sasarannya harus perkara korupsi dengan nilai di atas Rp 100 juta sehingga penanganan perkara korupsi dapat memberikan nilai tambah bagi keuangan negara; tidak sebaliknya.

Dalam konteks ini, efek jera bukan satu-satunya solusi keberhasilan penanganan korupsi, melainkan agar negara tidak dirugikan dua kali dalam perkara yang sama; kerugian pertama, akibat perbuatan pelaku, dan kerugian kedua, karena uang yang dapat dikembalikan kepada negara justru jauh lebih rendah dari biaya perkara yang disediakan dalam APBN.

Bagi kaum retribusionis, tentu gagasan strategi ini tidak sesuai dengan filosofi dan misinya. Akan tetapi karakter pidana abad pertengahantersebutseharusnya disesuaikan dengan perubahan karakter pidana abad ke-20 dan ke-21 memasuki gelombang ekonomi internasional.  

Selain pertimbangan tersebut, karakter mental bangsa Indonesia sangat dipengaruhi juga secara tradisional oleh gaya hidup dan perilaku pemimpinnya baik tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat provinsi dan tingkat nasional termasuk seluruh petinggi K/L dan penegakan hukum.

Lihat saja bagaimana pemimpin Singapura dapat mengubah sikap perilaku rakyatnya yang awalnya tidak menghargai kebersihan dan kejujuran kini tampak berhasil membalikkan keadaan sosial tersebut karena gaya hidup dan perilaku pemimpinnya. Begitu pula Hong Kong dan Selandia Baru atau Skandinavia. Perubahan strategi antikorupsi yang saya usulkan berhasil/ tidaknya dapat dipengaruhi politik perdagangan Indonesia ke depan yang seharusnya membatasi impor barang-barang mewah secara selektif dan terkendali.

Khusus barang-barang mewah adalah yang dapat mengubah sikap mental konsumerisme kepada hidup hemat dan produktif. Antara lain dengan cara meningkatkan kreativitas pengusaha pribumi dengan produk lokalnya dan berkualitas ekspor yang dapat memberikan kontribusi devisa negara dibandingkan dengan menghabiskan devisa untuk membayar hutang luar negeri.

Perubahan lain yang bersifat strategis adalah melakukan kajian perundang-undangan khusus berkaitan dengan pemberantasan korupsi untuk mencapai tujuan hukum berbasis kepastian hukum yang berkeadilan yang dilaksanakan dengan hati-hati, objektif, lugas dan tuntas, dan sejauh mungkin tidak menyisakan celah multitafsir di kalangan pelaksananya.

Semua perundang-undangan pidana administratif harus dirumuskan dengan tetap mengedepankan sanksi administratif dan hukuman terberat hanya hukuman kurungan dan denda saja. Untuk perundangundangan pidana khusus (lex specialis) harus ditetapkan standar minimum khusus sesuai dengan pedoman dalam UNTOC 2000 dan maksimum pidana penjara 20 tahun dan pidana denda yang tinggi khusus terhadap korporasi dilengkapi dengan pidana tambahan (pencabutan izin usaha dan penyitaan) serta dihapuskannya pidana mati sesuai dengan ICCPR.

Perubahan strategi di atas harus diselesaikan dalam waktu paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun sejak pembentukan kabinet pemerintahan 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar