Melawan
Keganasan Politik Uang
Triyono
Lukmantoro ; Dosen
Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas
Diponegoro Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 17 Juni 2014
Pasangan
Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah mengambil pilihan tepat pada
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Mereka membuka rekening bank yang
dimaksudkan menerima dana dari masyarakat.
Ada hal
radikal yang digulirkan. Jika selama ini telah berlangsung kutukan politik
uang dalam bentuk pemberian uang tunai dari calon anggota legislatif kepada
rakyat, mereka justru membalik logika itu.
Tentu
saja, Jokowi-JK tidak sedang mengemis. Ia melawan keganasan politik uang yang
terjadi secara sistematis. Jokowi-JK menggalang dana dengan cara-cara yang
sangat partisipatoris, yakni melibatkan kemampuan riil rakyat.
Pasangan
Jokowi-JK ingin mengembalikan pamor pernyataan vox populi, vox dei. Suara
rakyat, suara Tuhan. Itulah prinsip demokrasi yang diakui kebenarannya hingga
saat ini. Suara rakyat disepadankan dengan suara berdaulat Tuhan. Apa yang
dikehendaki rakyat merupakan perintah Tuhan.
Namun,
realitasnya, pernyataan itu tidak berlaku lagi dengan perkembangan demokrasi
di negeri ini, ketika praktik politik uang demikian meluas. Aspirasi rakyat
yang dapat disetarakan dengan kekuatan Tuhan itu tidak dapat dipegang
kesahihannya karena politik uang begitu merajalela.
Sulit
untuk menyatakan suara rakyat adalah suara Tuhan. Catatan amat penting yang
harus dibuat untuk pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 adalah, politik
uang telah dianggap kelaziman. Sistem yang diterapkan dalam pelaksanaan
pemilihan umum saat ini adalah proporsional terbuka. Setiap calon legislatif
bisa melenggang menjadi wakil rakyat bila mampu meraih suara terbanyak.
Melalui mekanisme ini, sesama kandidat dalam satu partai politik pun harus
bertarung.
Secara
hiperbolis, fenomena itu disebut sebagai kanibalisasi politik. Seperti halnya
dalam hukum rimba, sesama manusia harus saling memangsa untuk bertahan hidup
serta pada akhirnya keluar sebagai pemenang.
Dalam
perpolitikan, kanibalisasi itu seharusnya ditunjukkan dengan berbagai visi,
misi, dan program yang mengundang ketertarikan masyarakat. Namun, semua hal
yang berkaitan dengan problem ideologis yang serba menjulang itu lantas
direduksi menjadi satu bentuk materi yang jelas nilainya: uang.
Kanibalisasi
dalam pemilihan umum harus dimaknai pertarungan uang melawan uang. Uang yang
nilainya lebih besar dipastikan mampu menjadi pemenang. Uang besar mencaplok
uang kecil.
Kandidat
wakil rakyat yang menggenggam modal lebih tebal sangat dimungkinkan
mengalahkan calon lain yang bermodal tipis. Tidak heran jika ingin lolos
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), minimal harus punya uang Rp
3,5 miliar. Uang telah menjadi alat untuk saling menjegal.
Menjadi Budaya
Politik
uang telah menjadi budaya dalam perpolitikan kita. Dalam setiap level kompetisi
politik, dari pemilihan kepala desa, pemilihan bupati atau wali kota, dan
pemilihan wakil rakyat di berbagai tingkatan, terlihat benar politik uang
dipandang sebagai kewajaran. Bahkan, kalau politik uang dianggap sebagai
praktik kejahatan, aksi kriminalitas itu dinilai sebagai perilaku banal.
Apa yang
dimaksud dengan banalitas politik uang adalah ketidaknormalan yang dilakukan
bersama, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang diterima. Politik uang itu
banal. Justru karena banal itulah maka dipandang sebagai normalitas sosial.
Pada
titik banalitas dan normalitas itulah, politik uang menjadi budaya yang sulit
dilawan. Budaya, mengikuti konsep yang dikemukakan Margaret L Andersen dan
Howard F Taylor (Sociology: The
Essentials, Sixth Edition, 2011), adalah sistem kompleks makna serta
perilaku yang mendefinisikan satu kelompok orang atau masyarakat tertentu.
Mengikuti pemikiran tersebut, setidaknya ada lima alasan yang mampu
menjelaskan kenapa politik uang pantas dikategorikan sebagai budaya.
Pertama,
politik uang telah diterima dalam pola-pola kebiasaan dalam setiap momentum
perebutan jabatan publik. Politik uang secara kolektif telah dialami serta
saat yang serentak telah pula disepakati.
Kedua,
politik uang merupakan hasil dari pembelajaran. Keyakinan-keyakinan dan
praktik-praktik mengenai politik uang telah dipelajari, lebih tepat lagi
ditanamkan secara sosial, dalam benak kesadaran para individu yang terlibat
secara aktif pada kontestasi kekuasaan.
Apa yang
pada awalnya dipraktikkan sebagai hal yang canggung karena menimbulkan rasa
risih dan malu, akhirnya diberlakukan sebagai kewajiban. Itulah naturalisasi,
suatu proses untuk melakukan pembiasaan terhadap politik uang yang berjalan
mulus.
Ketiga,
politik uang telah dipandang sebagai aksioma, kebenaran yang tidak memerlukan
pembuktian dan argumentasi lagi. Akibatnya, tidak ada orang yang amat serius
mempertanyakan atau menggugatnya.
Bahkan,
jika ada pihak yang menyangkal praktik-praktik politik uang justru akan
diperlakukan sebagai pihak yang lain. Mereka adalah orang luar (outsiders)
yang tidak memahami secara baik tentang kebiasaan yang telah berlaku.
Keempat,
politik uang adalah perwujudan dari pengungkapkan secara simbolik status yang
melekat pada figur-figur yang terlibat di dalamnya. Uang sebagai simbol
terlihat pada jumlah yang diberikan akan dilihat sebagai kepedulian.
Semakin
besar jumlah uang yang diberikan, si pemberi dipandang memiliki kepedulian
yang tinggi. Selain itu, jumlah uang yang tinggi menunjukkan kemampuan
ekonomi pihak yang memberinya.
Telah
tertanam cukup kuat dalam hidup keseharian, konsekuensi yang bisa dilihat
adalah politik uang telah dianggap sebagai keunikan dalam wilayah
perbandingan politik. Itulah ciri kelima yang menandai politik uang sebagai
budaya. Kemungkinan saja bagi orang-orang yang telah menerima nilai-nilai
demokrasi secara matang, politik uang dipandang sebagai aksi penyuapan.
Namun,
dalam realitasnya, politik uang di sini sekadar dianggap sebagai pertukaran
yang saling menguntungkan. Calon wakil rakyat yang memberi dilihat sebagai
figur yang bermurah hati. Rakyat yang menerima uang menganggapnya sebagai
limpahan rezeki.
Komodifikasi Jabatan
Hanya saja, dalam perspektif pertukaran
itulah dapat diungkapkan secara kritis bagaimana politik uang melahirkan
komodifikasi jabatan politik. Merujuk ide yang dikemukakan kaum Marxis (Tom Bottomore [ed.], A Dictionary of
Marxist Thought: Second Edition, 2001), uang memediasi pertukaran
komoditas.
Pertukaran
komoditas (barang dagangan) terjadi ketika komoditas itu dijual untuk
mendapatkan uang. Pada saat bersamaan, komoditas itu dibeli juga dengan uang.
Marx menggambarkannya dengan diagram C-M-C (Commodity-Money-Commodity). Komoditas dijual untuk mendapatkan
uang. Seterusnya, uang yang didapatkan dari penjualan itu digunakan untuk
membeli komoditas lainnya.
Dalam
politik uang, apa yang disebut sebagai komoditas itu adalah jabatan publik,
misalnya saja kedudukan sebagai wakil rakyat. Pada pertukaran itu terjadilah
komodifikasi, yang berarti posisi wakil rakyat telah dijadikan barang
dagangan belaka.
Pola
pertukaran yang terjadi bukan lagi C-M-C, melainkan M-C-M
(Money-Commodity-Money). Kalangan kandidat wakil rakyat menebarkan uang untuk
membeli jabatan sebagai anggota DPR.
Setelah
mereka mampu meraih jabatan itu, mereka mencari uang lagi, bahkan dalam
jumlah lebih banyak. Aksi-aksi semacam itu telah melahirkan fetisisme
komoditas. Jabatan politik begitu dipuja dan diberhalakan, sehingga
kepentingan rakyat diabaikan.
Namun,
di sisi lain, rakyat pun semakin tidak peduli dengan aneka proses politik
yang berlangsung setelah uang diterima. Terlebih lagi berbagai proses politik
yang terjadi memang tidak memberikan bukti dan harapan yang signifikan.
Apakah anggota DPR berkinerja baik atau buruk bukan dianggap sebagai urusan
rakyat lagi.
Masalah
politik lantas dikemas secara ringkas dalam uang sebagai wujud pertukaran.
Ketika Jokowi-JK membuka rekening untuk menerima dana dari masyarakat, apa
yang mereka jalankan adalah keberanian untuk melawan keganasan politik uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar