Islam
dan Pancasila
Abu
Rokhmad ; Dosen Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 31 Mei 2014
TANGGAL
1 Juni dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Pada hari itu, Bung Karno
menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI tentang dasar negara (philosofische gronsslag) atau
pandangan dunia (weltanschauung)
yang diterima rakyat Indonesia. Bung Karno mengusulkan Pancasila dengan sila:
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Pancasila
yang merupakan usulan Bung Karno kini digunakan sebagai dasar negara dengan
urutan sedikit berbeda.
Sayang,
’’popularitas’’ Pancasila sebagai dasar negara jatuh terpuruk sejak orde
reformasi. Sebagian rakyat masih menghendaki mengganti Pancasila dengan dasar
agama. Cita-cita menghidupkan Piagam Jakarta masih tersisa, bahkan kini
mendapat teman baru dengan kehadiran kelompok Islam radikal. Sila-sila dari
Pancasila tidak lagi berisi sebagaimana lazimnya tapi berbunyi lain, misal Allah Tujuanku, Alquran Konstitusiku,
Muhammad Imamku, Jihad Jalanku, dan Syahid Puncak Impianku (Masudi: 2012).
Menjelang
pilpres, capres-cawapres wajib menjadikan Pancasila sebagai tema sentral
kampanye. Rakyat menginginkan mereka fasih berbicara Pancasila dan mampu
menerapkannya dalam seluruh kebijakan kelak. Mereka harus menawarkan konsep
bagaimana menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi lain.
Hubungan
antara Islam dan Pancasila menjadi dilema sejak kelahiran Indonesia. Terjadi
perdebatan sengit bapak pendiri bangsa tentang dasar negara yang tepat bagi
bangsa yang berpenduduk beragam suku dan agama. Tanggal 22 Juni 1945,
perdebatan itu melahirkan kompromi politik dalam wujud Piagam Jakarta.
Seluruh
rakyat Indonesia menyambut dengan bangga dan antusias kemerdekaan Indonesia
yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tetapi dirasakan oleh kelompok
non-Islam ada yang tidak beres dalam dasar negara Pancasila, terutama anak
kalimat, ’’ ...dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’’
Setelah
melewati masa-masa kritis, tanggal 18 Agustus 1945, wakil-wakil dari umat
Islam akhirnya menyetujui usul penghapusan anak kalimat tersebut dari
Pancasila dan batang tubuh UUD 1945, dengan tambahan atribut yang sangat
kunci, hingga berbunyi, ’’Ketuhanan
Yang Maha Esa.’’
Perdebatan
tentang dasar negara rupanya tidak berhenti setelah kemerdekaan. Perdebatan
kembali muncul pada sidang Majelis Konstituante tahun 1957, setelah Indonesia
menggelar pemilu pertama tahun 1955, dan waktu itu partai-partai Islam
memperoleh kurang dari 45% suara. Partai Komunis Indonesia (PKI) juga pernah
melakukan kudeta pada September 1965 (Gestapu).
Pada
konteks Indonesia modern, keinginan mengganti Pancasila dengan dasar agama
masih saja muncul, seperti dilakukan HTI. Mereka ingin mengganti Pancasila
dengan Khilafah Islamiyyah. Ditemukan pula indikasi ada parpol Islam yang
garis perjuangan kenegaraannya mirip dengannya. Di luar itu, banyak ormas
Islam tidak berideologi Pancasila. Mereka mengusung sejenis Islam radikal dan
ideologi NII yang memusuhi Pancasila.
Usaha
percobaan untuk mengganti Pancasila akan terus mewarnai sejarah. Bagi umat
Islam, seperti ditulis M Natsir, cita-cita tidak pernah berhenti setelah
kemerdekaan dicapai. Mereka tetap akan meneruskan perjuangan selama negeri
ini belum diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam (Pranowo, 1992: 7).
Rumah Bersama
Pada
masa sekarang, barangkali banyak umat Islam memegang pandangan Natsir.
Sekalipun mungkin dengan alasan berbeda, kelompok-kelompok Islam yang masih
menyimpan agenda terselubung untuk mengganti dasar negara dengan dasar Islam
akan menjadi ancaman nyata keutuhan NKRI.
Islam
sejatinya tak pernah mewajibkan umat mendirikan negara Islam. Dasar negara
suatu bangsa, tempat di mana Islam tumbuh dan berkembang, adalah konsensus
rakyatnya. Mereka bebas membentuk dan mendasari negaranya dengan dasar Islam,
sekuler atau dasar lain. Mengingat Indonesia memiliki beragam kultur dan
agama maka dasar negara yang dianggap tepat adalah yang bisa mengayomi semua
agama, etnis, dan golongan.
Pancasila
yang menjadi dasar NKRI merupakan rumah besar bagi rakyat Indonesia yang
beragam agama, suku, dan golongan. Seluruh rakyat bebas menjalankan agama dan
kepercayaan masing-masing. Pancasila memang bukan wahyu Tuhan tapi di
dalamnya mengandung kebenaran-kebenaran yang didukung tiap agama. Karena itu,
konsesus bangsa ini harus dihormati dan tidak dikhianati oleh rakyatnya
sendiri. Pancasila harus dijaga dan dilindungi dari tangan-tangan yang ingin
menggantinya dengan ideologi lain.
Era
reformasi menyimpan persoalan tersendiri bagi Pancasila. Negara tidak punya
instrumen formal untuk melindungi Pancasila. Tidak ada ada kewajiban bagi
rakyat untuk mengikuti penataran dan mendalami Pancasila seperti dulu.
Anak-anak sekolah juga tidak lagi dikenalkan dengan Pancasila lewat kurikulum
formal. Bahkan, mengutip pendapat Idham Samawi, berdasarkan penelitian LIPI,
86% mahasiswa di 5 perguruan tinggi terkemuka di Jawa menolak Pancasila (Kompas, 10/4/12).
Jadi,
perlu bersama memikirkan bagaimana cara penanaman Pancasila kepada masyarakat
secara smooth dan smart
supaya tidak mengulangi kesalahan Orde Baru. Capres dan cawapres harus
bisa memecahkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar