Selasa, 03 Juni 2014

Fiskal di Tengah Perlambatan Ekonomi

Fiskal di Tengah Perlambatan Ekonomi

Firmanzah  ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di tengah tahun Pemilu 2014, tantangan ekonomi dan fiskal Indonesia menjadi tidak ringan dan sederhana. Bersama dengan emerging-countries lain, Indonesia sedang memitigasi dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Baru-baru ini Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,4% dari proyeksi awal 3,6% pada November tahun lalu. Sementara realisasi pertumbuhan ekonomi banyak negara pada kuartal I 2014 di bawah proyeksi awal. Secara year on year ; China hanya mampu tumbuh 7,4%, Brasil 0,2%, India 4,6%, Rusia 0,9%, dan Amerika Serikat (AS) 0,1%. Sedikit berbeda dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang sempat menaikkan proyeksi perdagangan dunia pada 2014 yang tumbuh 4,7% bulan lalu, OECD justru mencatat ekspor negara-negara G-7 dan BRICS turun 2,6% pada kuartal I/2014.

Sejumlah ketegangan di beberapa wilayah seperti Ukraina, Laut China Selatan, dan Timur Tengah dikhawatirkan turut memperbesar ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia. Ini turut berdampak pada rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2014 di sejumlah negara ASEAN. Misalnya realisasi ekspansi produk domestik bruto (PDB) Filipina hanya 5,7% dan Thailand terkontraksi 0,6% di tengah situasi politik yang tidak menentu. Ini membuat lembaga-lembaga internasional dan pemerintah di banyak negara melakukan revisi target pertumbuhan ekonomi dan anggaran (state budget).

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dipastikan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti kita ketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2014 hanya 5,2%. Realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2014 memberikan implikasi dari sisi fiskal yang tidak sederhana dan membutuhkan segera langkah-langkah antisipasi. Dengan situasi dunia yang tidak kondusif, dapat dipastikan revisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 perlu segera dilakukan.

Di mana target dalam APBN 2014 sebesar 6,0% perlu disesuaikan dengan kondisi terkini. Salah satu fokus perhatian pemerintah dalam APBNP 2014 adalah revisi penerimaan negara yang semula ditargetkan dalam APBN 2014 sebesar Rp1.667,1 triliun. Revisi dari sisi penerimaan dilakukan dengan mempertimbangkan risiko tidak tercapai penerimaan dari sektor perpajakan yang semula ditargetkan sebesar Rp1.280,4 triliun. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berpengaruh terhadap realisasi penerimaan sektor perpajakan pada 2014 meski pemerintah akan terus berupaya mencari dan meningkatkan pos-pos penerimaan yang selama ini belum optimal.

Revisi target penerimaan negara akan berdampak pada penyesuaian dari sisi pengeluaran agar defisit anggaran sesuai amanat Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di mana ditetapkan defisit anggaran tidak boleh melampaui 3% PDB. Salah satu tantangan dari sisi fiskal adalah menjaga subsidi energi sesuai target yang telah ditetapkan pada awal. Dalam APBN 2014 subsidi bahan bakar minyak (BBM) ditetapkan 48 juta kiloliter atau Rp210,7 triliun dan subsidi listrik Rp71,3 triliun. Kementerian ESDM tengah mempersiapkan langkah-langkah untuk tetap menjaga besaran subsidi khususnya BBM tidak melampaui anggaran yang telah ditetapkan.

Sementara opsi menaikkan harga BBM pada tengah tahun politik akan sangat berisiko mengganggu stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban. Terlebih lagi secara timing dalam 1-3 bulan ini kita harus tetap fokus pada persiapan kelancaran arus barang, manusia, dan modal jelang Ramadan dan Idul Fitri. Pada saat yang bersamaan beberapa hari lagi Indonesia akan memasuki masa kampanye Pemilihan Presiden RI untuk periode 2014-2019. Untuk menjaga fiskal tetap sehat, upaya penghematan belanja pada 86 kementerian/ lembaga perlu dilakukan.

Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2014, ditargetkan ada penghematan sebesar Rp100 triliun dari APBN 2014.Program-program yang memiliki dampak langsung pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan angka kemiskinan tetap menjadi prioritas belanja negara pada 2014. Dengan begitu, anggaran K/L menjadi sebesar Rp539,3 triliun dalam rancangan APBNP dari sebelumnya sebesar Rp637,8 triliun. Selain itu juga penghematan dan pemotongan anggaran tidak dilakukan terhadap anggaran pendidikan untuk memenuhi 20% amanat konstitusi, anggaran yang bersumber dari hibah dan pinjaman, dan anggaran yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak badan layanan umum (PNBP-BLU).

Karena itu, penghematan dan pemotongan belanja utamanya dilakukan pada belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsiyering, biaya iklan, pengadaan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran dari kegiatan yang belum terikat kontrak. Perumusan APBNP yang segera diajukan pemerintah ke DPR akan memasukkan revisi asumsi indikator makroekonomi, penerimaan, dan belanja negara. Revisi ini dilakukan agar postur anggaran negara lebih realistis, tetap fokus, lebih berdampak, dan sebagai langkah respons sekaligus antisipatif atas perubahan kondisi perekonomian dunia.

Langkah-langkah ini untuk tetap menjaga fundamental perekonomian nasional tetap baik dan berdaya tahan di tengah ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia. Kita semua berharap, dengan segera dibahas APBNP 2014 oleh pemerintah dan DPR, tidak hanya membuat fiskal menjadi lebih baik, tapi juga sebagai upaya mitigasi atas perlambatan ekonomi dunia. Dengan mengalokasikan belanja negara kepada sektor dan program yang lebih berdampak untuk menjaga daya beli masyarakat, peningkatan kesejahteraan,

pengurangan angka kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja akan mengurangi efek negatif pelemahan ekonomi dunia. Dengan begitu, fiskal dan ekonomi Indonesia akan tetap mampu melalui perlambatan ekonomi dunia seperti dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pasca-Reformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar