Minggu, 01 Juni 2014

“Enjoy Ajah”!

“Enjoy Ajah”!

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  01 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Itu adalah nasihat yang diberikan seorang sopir taksi saat mulut saya mengeluarkan sumpah serapah atas kemacetan lalu lintas yang membuat agenda kerja saya berantakan, seberantakan-berantakannya. Saya kesal karena si pak sopir menasihati dengan kalimat singkat padat dan menusuk.

Tak berdaya

Setelah mendengar suaranya itu, saya berkata dalam hati. ”Enjoy ajah? Elo aja, gue ma kagak.” Setelah emosi mereda karena memang sudah tak bisa apa-apa lagi, saya jadi penasaran, apa sih enjoy itu?

Seperti sopir nan bijak itu, teman-teman saya suka sekali menasihati hal yang sama kalau saya sedang menghadapi sebuah kondisi seperti kemacetan yang terjadi di atas. Benarkah kekesalan itu dinikmati saja? Menikmati rasa kesal sampai pada akhirnya menjadi tidak kesal? Apakah enjoy itu, begitu maknanya?

Coba saya ceritakan beberapa contoh mengesalkan yang terjadi setelah kemacetan itu. Dan kalau Anda menjadi saya, kira-kira bagaimana cara menikmati kekesalan itu. Tepatnya, menikmati enjoy ajah itu. Buat saya, terjadinya beberapa kali kekesalan setelah kemacetan itu saja, sudah membuat saya naik pitam. Saya sungguh tak tahu apa enjoy ajah itu.

Setiba di apartemen, saya mengambil cucian di sebuah binatu di dalam lingkungan apartemen. Setelah beberapa baju diambil, si mbak penjaga berkata bahwa salah satu pakaian saya belum selesai. Kemudian saya berkomentar bahwa di dalam bon pengambilan barang tertulis tanggal selesai dan mengapa bisa ada satu yang tidak selesai. Si mbak yang polos dan sejujurnya baik hati itu hanya bisa menjawab tidak tahu. ”Itu dari pusatnya begitu, Mas.”

Masalahnya pakaian yang tidak selesai tepat waktu itu adalah pakaian yang saya harapkan bisa saya kenakan untuk berlibur di akhir pekan di Pulau Dewata. Saya juga beberapa kali mendapat pujian gara-gara mengenakan pakaian itu. Nah, pujian yang saya harapkan terjadi, pupus di tempat binatu. Saya kesal. Dan kalimat enjoy ajah, tak bisa saya nikmati.

Setelah meletakkan pakaian di lemari, saya kembali ke lobi apartemen untuk menunggu taksi karena saya harus mengejar agenda yang babak belur gara-gara kemacetan itu. Sambil menunggu taksi, saya berniat men-charge baterai telepon genggam saya yang sudah mati total. Baru saja saya memasukkannya ke stop kontak, mbak resepsionis berkata begini, ”Mas, maaf, itu enggak ada aliran listriknya.”

Berusaha berdaya

Saya kesalnya setengah mati, bagaimana sebuah lobi apartemen memiliki stop kontak yang tak ada aliran listriknya? Karena buat saya, telepon genggam sampai mati total itu seperti kiamat. Karena itu berarti saya tak bisa menerima telepon dan menelepon. Dan yang terutama, saya tak bisa berkeliaran di social media.

Tidak bisa mem-posting komentar, foto, atau melihat serta membaca posting dari orang lain, itu bencana buat saya. Apalagi menjadi tidak bisa chatting. La wong saya ini senang sekali ngobrol, dan apa saja saya posting. Sepatulah, makananlah, muka sayalah, bajulah, dus belanjaan bermereklah, shopping bag-lah, lokasilah. Saya kesal dan sekali lagi saya tak tahu bagaimana menikmati keadaan itu dan mempraktikkan kalimat enjoy ajah itu.

Di tengah kekesalan itu, saya kemudian bertanya, apakah perjalanan hidup saya yang sudah setengah abad itu semata-mata saya yang membuatnya. Banyak teman saya mengatakan bahwa perjalanan hidup itu, saya yang menentukan. Benarkah demikian?

Saya mau tepat waktu agar agenda yang sudah saya tetapkan tidak berantakan dan orang lain tidak dirugikan karenanya, tetapi kemacetan di luar dugaan dan kuasa saya. Kadang jalan bisa sepi, tiba-tiba yang biasanya sepi menjadi macet total. Kalau sudah demikian, apakah benar saya yang menjadi pengacau jadwal dan orang lain dirugikan?

Kalau pesan saya tidak bisa sampai tepat waktu, bahkan kadang si penerima pesan tidak menerima sama sekali, atau si penerima menerima hanya beberapa pesan, sementara satu kalimat yang penting justru tak bisa diterima. Maka terjadi kesalahpahaman. Apakah benar kesalahpahaman itu saya yang menginginkannya terjadi?

Saya tahu saya akan berakhir pekan, maka saya memutuskan untuk ke binatu satu minggu sebelumnya dan pada kenyataan baju saya tidak selesai. Apakah benar bahwa saya yang membuat semuanya menjadi seperti itu?

Kalau saya berkeinginan untuk membantu orang untuk bisa maju, sementara ada beberapa manusia yang tak menginginkan saya memajukan seseorang agar bisa pandai, apakah itu karena salah saya tak bisa membantu orang lain bisa maju? Apakah karena saya kurang keras terhadap mereka yang menentang apa yang saya pikir baik untuk orang lain?

Jadi perjalanan hidup ini tidak semata diukir oleh saya, tetapi oleh sebuah keadaan di luar kekuatan dan kemampuan bahkan pengertian saya. Karena saya tak mampu melawan yang di luar saya, maka mungkin ini saat yang paling tepat untuk menikmati semua itu dengan mengatakan, ”Enjoy ajah”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar