Kamis, 17 April 2014

Paskah Membebaskan Mata Hati yang Gelap

Paskah Membebaskan Mata Hati yang Gelap

Benny Susetyo  ;   Rohaniwan, Budayawan
JAWA POS, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PADA Injil di malam Paskah yang bersinar ini, kita pertama-tama bertemu dengan para wanita yang pergi ke makam Yesus dengan rempah-rempah untuk mengurapi tubuh Yesus (Luk 24:1-3). Mereka pergi untuk melakukan suatu tindakan belarasa, tindakan afeksi tradisional, dan kasih bagi orang tersayang yang meninggal seperti yang kita lakukan. Mereka telah mengikuti Yesus, mereka telah mendengar perkataan-Nya, mereka telah merasakan dimengerti oleh-Nya dalam martabat mereka, dan mereka telah menemani Ia sampai akhir, ke Kalvari, dan sampai di saat ketika Ia diturunkan dari salib. Kita dapat membayangkan perasaan mereka selagi mereka berjalan menuju makam Yesus: kesedihan tertentu, dukacita bahwa Yesus telah meninggalkan mereka, Ia telah wafat, hidupnya telah berakhir. Kehidupan akan berjalan seperti sebelumnya. Namun, para wanita terus merasakan kasih, kasih bagi Yesus yang sekarang menuntun mereka ke makam-Nya. Tapi, di saat ini, sesuatu yang baru secara menyeluruh dan tak diharapkan terjadi, sesuatu yang mengacaukan hati dan rencana mereka, sesuatu yang akan mengacaukan seluruh kehidupan mereka: mereka melihat batu telah dipindahkan dari makam, mereka mendekat dan tidak menemukan tubuh Tuhan. Ini adalah peristiwa yang membuat mereka bingung, ragu, penuh pertanyaan, ''Apa yang terjadi?''.''Apa maksud dari semua ini?'' (Luk 24:4). Bukankah hal yang sama juga terjadi pada kita ketika sesuatu yang sama sekali baru.

Terkadang mereka berpikir buat apa bekerja keras sesusah seperti ini, toh juga tak menghasilkan perubahan yang berarti. Kaum miskin tetaplah pihak yang diakalbulusi oleh dua raksasa besar, yakni poros negara dan poros badan publik. Keduanya sering licik dengan mengeluarkan kebijakan yang orientasinya hanya melindungi kapital daripada menyejahterakan nasib wong cilik. Kaum miskin diakalbulusi oleh kebijakan yang orientasinya hanya menguntungkan kapital. Mereka ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di pihak lain mematikan daya hidupnya. Kapitalisme yang ada sekarang ini, di negeri ini, ketika berbaur dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah berpihak kepada mereka.

Para pemilik modal berkuasa karena mereka mampu membeli para birokrat. Birokrat di negeri ini hanya menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalis yang orientasinya semata-mata demi mencari untung. Elite politik sendiri sering mengaku tak kuasa menahan derasnya desakan kekuatan modal, yang ujung-ujungnya menjelma menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal inilah yang membuat tata kehidupan menjadi kehilangan keseimbangan.

Di sinilah kita menghadapi masalah besar: Hilangnya keadaban publik. Keadaban publik hancur karena poros masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik, ekonomi, budaya tidak lagi berdaulat. Kehidupan ini bergantung kepada kekuatan modal yang menjelma dalam berbagai kekuatan media. Lewat media itulah perilaku kebangsaan dibentuk oleh pasar dengan mengedepankan hal-hal yang menyenangkan pancainderawi belaka.

Situasi tersalib itulah membuat yang mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat masalah mendasar yang ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli mendengar tangisan rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati, tetapi sejatinya hanya bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan mereka untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.

Kaum Miskin Tersalib

Koar-koar para elite adalah membela kaum miskin, namun realitasnya kaum miskin dibiarkan tergusur dan diri sendiri yang dibela. Tak ada yang salah ketika gunjingan rakyat di warung kopi menyatakan bahwa janji elite selama ini hanya janji untuk pemanis belaka. Dan janji yang sekadar janji itulah yang membuat kaum miskin tersalib.

Ketersaliban itulah yang membuat cara berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif dalam menghadapi masalah. Lalu, kehidupan kita hanya didasari oleh hal-hal yang menipu mata hati.

Hilangnya mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di sekitar kita. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kaum miskin mereka salib. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kita tidak punya hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya setiap saat bertambah ini. Kita menjauh dengan Tuhan karena tangan kita menindas kaum miskin. Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka. Bukankah Dia yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita yang menyalibkan mereka yang tak berdaya? Dia Tersalib karena dosa kita membiarkan kaum miskin kelaparan, kehausan, dan kehilangan tempat tinggal. Dia tersalib karena dosa kita yang membiarkan tanah mereka digusur dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah.

Dia tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite politik. Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk tegaknya keadilan di bumi ini. Paskah sejati adalah kemauan untuk merenungkan dan kembali membela kaum tergusur. Itulah Paskah sejati yang ada dalam diri mereka yang haus akan keadilan. Haus akan kebenaran dan haus akan cinta kepada mereka yang miskin dan papa. Itulah Paskah yang membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan harta dan jabatan. Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap seorang diri.

Paskah seharusnya membuat nilai-nilai kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan ini. Mari kita rayakan Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar sejati semoga para calon presiden ke depan tidak lagi melakukan kebohongan kepada rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar