Paskah
Membebaskan Mata Hati yang Gelap
Benny Susetyo ; Rohaniwan, Budayawan
|
JAWA
POS, 16 April 2014
PADA
Injil di malam Paskah yang bersinar ini, kita pertama-tama bertemu dengan
para wanita yang pergi ke makam Yesus dengan rempah-rempah untuk mengurapi
tubuh Yesus (Luk 24:1-3). Mereka pergi untuk melakukan suatu tindakan
belarasa, tindakan afeksi tradisional, dan kasih bagi orang tersayang yang
meninggal seperti yang kita lakukan. Mereka telah mengikuti Yesus, mereka
telah mendengar perkataan-Nya, mereka telah merasakan dimengerti oleh-Nya
dalam martabat mereka, dan mereka telah menemani Ia sampai akhir, ke Kalvari,
dan sampai di saat ketika Ia diturunkan dari salib. Kita dapat membayangkan
perasaan mereka selagi mereka berjalan menuju makam Yesus: kesedihan
tertentu, dukacita bahwa Yesus telah meninggalkan mereka, Ia telah wafat,
hidupnya telah berakhir. Kehidupan akan berjalan seperti sebelumnya. Namun,
para wanita terus merasakan kasih, kasih bagi Yesus yang sekarang menuntun
mereka ke makam-Nya. Tapi, di saat ini, sesuatu yang baru secara menyeluruh
dan tak diharapkan terjadi, sesuatu yang mengacaukan hati dan rencana mereka,
sesuatu yang akan mengacaukan seluruh kehidupan mereka: mereka melihat batu
telah dipindahkan dari makam, mereka mendekat dan tidak menemukan tubuh
Tuhan. Ini adalah peristiwa yang membuat mereka bingung, ragu, penuh
pertanyaan, ''Apa yang terjadi?''.''Apa maksud dari semua ini?'' (Luk 24:4).
Bukankah hal yang sama juga terjadi pada kita ketika sesuatu yang sama sekali
baru.
Terkadang
mereka berpikir buat apa bekerja keras sesusah seperti ini, toh juga tak
menghasilkan perubahan yang berarti. Kaum miskin tetaplah pihak yang
diakalbulusi oleh dua raksasa besar, yakni poros negara dan poros badan
publik. Keduanya sering licik dengan mengeluarkan kebijakan yang orientasinya
hanya melindungi kapital daripada menyejahterakan nasib wong cilik. Kaum
miskin diakalbulusi oleh kebijakan yang orientasinya hanya menguntungkan
kapital. Mereka ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di
pihak lain mematikan daya hidupnya. Kapitalisme yang ada sekarang ini, di
negeri ini, ketika berbaur dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah
berpihak kepada mereka.
Para
pemilik modal berkuasa karena mereka mampu membeli para birokrat. Birokrat di
negeri ini hanya menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalis yang orientasinya
semata-mata demi mencari untung. Elite politik sendiri sering mengaku tak
kuasa menahan derasnya desakan kekuatan modal, yang ujung-ujungnya menjelma
menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal inilah yang
membuat tata kehidupan menjadi kehilangan keseimbangan.
Di
sinilah kita menghadapi masalah besar: Hilangnya keadaban publik. Keadaban
publik hancur karena poros masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik,
ekonomi, budaya tidak lagi berdaulat. Kehidupan ini bergantung kepada
kekuatan modal yang menjelma dalam berbagai kekuatan media. Lewat media
itulah perilaku kebangsaan dibentuk oleh pasar dengan mengedepankan hal-hal
yang menyenangkan pancainderawi belaka.
Situasi
tersalib itulah membuat yang mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat
masalah mendasar yang ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli
mendengar tangisan rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati, tetapi
sejatinya hanya bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan
mereka untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.
Kaum Miskin Tersalib
Koar-koar
para elite adalah membela kaum miskin, namun realitasnya kaum miskin
dibiarkan tergusur dan diri sendiri yang dibela. Tak ada yang salah ketika
gunjingan rakyat di warung kopi menyatakan bahwa janji elite selama ini hanya
janji untuk pemanis belaka. Dan janji yang sekadar janji itulah yang membuat
kaum miskin tersalib.
Ketersaliban
itulah yang membuat cara berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif
dalam menghadapi masalah. Lalu, kehidupan kita hanya didasari oleh hal-hal
yang menipu mata hati.
Hilangnya
mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di sekitar kita. Tuhan
menjadi jauh dengan kita karena kaum miskin mereka salib. Tuhan menjadi jauh
dengan kita karena kita tidak punya hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya
setiap saat bertambah ini. Kita menjauh dengan Tuhan karena tangan kita
menindas kaum miskin. Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka. Bukankah Dia
yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita yang menyalibkan
mereka yang tak berdaya? Dia Tersalib karena dosa kita membiarkan kaum miskin
kelaparan, kehausan, dan kehilangan tempat tinggal. Dia tersalib karena dosa
kita yang membiarkan tanah mereka digusur dijadikan lapangan golf dan
perumahan mewah.
Dia
tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite politik.
Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk tegaknya keadilan di
bumi ini. Paskah sejati adalah kemauan untuk merenungkan dan kembali membela
kaum tergusur. Itulah Paskah sejati yang ada dalam diri mereka yang haus akan
keadilan. Haus akan kebenaran dan haus akan cinta kepada mereka yang miskin
dan papa. Itulah Paskah yang membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan
harta dan jabatan. Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap
seorang diri.
Paskah
seharusnya membuat nilai-nilai kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan
ini. Mari kita rayakan Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar
sejati semoga para calon presiden ke depan tidak lagi melakukan kebohongan
kepada rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar