Kamis, 17 April 2014

UN dan Dramatisasi Pendidikan

UN dan Dramatisasi Pendidikan

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PADA 14-16 April 2014 ini, ujian nasional (UN) berlangsung untuk jenjang SMA/ SMK/MA dan SMALB. Pelaksanaan UN sejak 2011 berbeda dengan UN sebelum-sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan. Hal itu berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Walaupun pro-kontra masih menyelimuti pelaksanaan UN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih memandang perlu pelaksanaan UN untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa secara nasional dalam mata pelajaran tertentu yang dianggap sebagai `ilmu kunci' dalam ilmu pengetahuan. Keputusan pemerintah ini berwujud dalam juklak dan juknis yang diberikan kepada lembaga pendidikan untuk dijalankan dengan sebaik dan sesukses mungkin.

Wujud UN bertahun-tahun ini membuat kisah drama dalam dunia pendidikan. Kala menjelang UN, semua berbondong-bondong berdoa dan istigasah. Ketika pengumuman dilansir, banyak yang kaget, stres, bahkan ada yang mau bunuh diri karena tidak lulus. Kemudian sekolah yang gagal meloloskan siswanya dalam UN juga terancam tidak mendapatkan murid baru. Orangtua juga tak kalah stres karena setiap waktu sang anak terus dikejar drama UN yang penuh misteri.

Drama UN inilah yang oleh Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life dinamakan sebagai dramaturgi. Para pejabat Kemendikbud memainkan drama pendidikan yang dibuat sendiri. Semua tragedi pendidikan seolah telah didesain secara dramatik sehingga terjadi berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi.

Dalam dramaturgi Goffman, identitas manusia bisa saja berubah-ubah, bergantung pada interaksi dengan orang lain. Di sinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui `pertunjukan dramanya sendiri'.

Goffman memperkenalkan istilah impression management, bahwa manusia merupakan pemain drama yang sangat lihai. Manusia membangun konsep dan manajemen drama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Agar pertunjukan politik semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata (dialog), dan tindakan nonverbal lain. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.

Karena drama pendidikan ingin mencari sebuah tujuan tertentu, apa yang dilakukan sang aktor ketika berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) sungguh berbeda. Ketika berada di front stage, drama pendidikan benar-benar dimainkan sesuai dengan peran dan sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Namun ketika berada di belakang panggung (back stage), sang aktor akan bermain sesuka hati, tanpa memedulikan plot yang telah direncanakan sebelumnya.

Senada dengan pemikiran Goffman, Aristoteles dalam Poetics juga melihat dramaturgi sebagai sebuah drama kehidupan yang dimainkan manusia untuk menggapai tujuan-tujuan. Aristoteles bahkan menganalisis karakter sang aktor sangat berperan besar bagi kesuksesan sebuah drama(turgi). Aktor yang cerdas akan membuat drama semakin menarik, lincah, dan penuh hiburan. Adapun aktor yang miskin kreasi akan membosankan di atas panggung, menjadi pelengkap saja. Seusai pertunjukan, aktor minim kreasi akan mendapatkan porsi yang sedikit untuk tampil di atas panggung (front stage). Aristoteles dengan lengkap telah menganalisis hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot, dan cerita. Semua menjadi kesatuan dalam drama kehidupan.

Tolak dramatisasi

UN, pada awalnya, memang diniatkan baik dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, kebaikan dan kebenaran bukanlah diukur secara tunggal dalam konteks nasional. Semua daerah mempunyai basis dan kompetensi sendiri dalam menilai sesuatu baik dan benar.

Drama UN yang membuat siswa seolah memainkan kisah drama menjadi preseden buruk kala UN ternyata hanya dimaknai sebagai proses `lulus' dan `tidak lulus'. Proses itu didramatisasi sedemikian rupa sehingga peserta didik selalu dihantui proses drama yang menakutkan. Apa yang mereka rasakan ketika di sekolah (front stage) berbeda dengan yang dirasakan ketika di luar sekolah (back stage).

Dramaturgi pendidikan dalam konteks UN ialah terjebaknya siswa memainkan sebuah kisah pendidikan yang justru membuat mereka stres, penuh tekanan, dan penuh kekhawatiran. Negara janganlah seolah ketika berada dalam berbagai forum publik (front stage) menginginkan kemajuan pendidikan, tetapi ternyata banyak siswa yang sampai ingin bunuh diri karena gagal lulus UN (front stage). Jelas, ini proses dramaturgi yang sangat tidak menyehatkan dunia pendidikan di Indonesia.

Pemerintah harus membangun skema yang lebih baik agar dramaturgi pendidikan tidak terulang di tahun-tahun mendatang. Pendidikan harus benar-benar dikaji dengan manajemen yang profesional dengan meletakkan semuanya untuk proses memuliakan manusia. Tuhan saja memuliakan manusia dengan menempatkannya sebagai `ciptaan terbaik', apakah pemerintah dan negara justru akan mengingkari fitrah manusia sebagai `ciptaan terbaik'?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar