UN
dan Dramatisasi Pendidikan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas
Negeri Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 15 April 2014
PADA 14-16 April 2014 ini, ujian
nasional (UN) berlangsung untuk jenjang SMA/ SMK/MA dan SMALB. Pelaksanaan UN
sejak 2011 berbeda dengan UN sebelum-sebelumnya. Perbedaan itu antara lain
dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas
independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.
Hal itu berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Walaupun pro-kontra masih
menyelimuti pelaksanaan UN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) masih memandang perlu pelaksanaan UN untuk mengetahui tingkat
kemampuan siswa secara nasional dalam mata pelajaran tertentu yang dianggap
sebagai `ilmu kunci' dalam ilmu pengetahuan. Keputusan pemerintah ini
berwujud dalam juklak dan juknis yang diberikan kepada lembaga pendidikan
untuk dijalankan dengan sebaik dan sesukses mungkin.
Wujud UN bertahun-tahun ini
membuat kisah drama dalam dunia pendidikan. Kala menjelang UN, semua
berbondong-bondong berdoa dan istigasah. Ketika pengumuman dilansir, banyak
yang kaget, stres, bahkan ada yang mau bunuh diri karena tidak lulus.
Kemudian sekolah yang gagal meloloskan siswanya dalam UN juga terancam tidak
mendapatkan murid baru. Orangtua juga tak kalah stres karena setiap waktu
sang anak terus dikejar drama UN yang penuh misteri.
Drama UN inilah yang oleh Erving
Goffman dalam The Presentation of Self
in Everyday Life dinamakan sebagai dramaturgi. Para pejabat Kemendikbud
memainkan drama pendidikan yang dibuat sendiri. Semua tragedi pendidikan seolah
telah didesain secara dramatik sehingga terjadi berbagai akting yang memukau
dan penuh sensasi.
Dalam dramaturgi Goffman,
identitas manusia bisa saja berubah-ubah, bergantung pada interaksi dengan
orang lain. Di sinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi
tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan
pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui `pertunjukan
dramanya sendiri'.
Goffman memperkenalkan istilah impression management, bahwa manusia
merupakan pemain drama yang sangat lihai. Manusia membangun konsep dan
manajemen drama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Agar pertunjukan
politik semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan setting, kostum,
penggunaan kata (dialog), dan tindakan nonverbal lain. Hal ini tentunya
bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan
memuluskan jalan mencapai tujuan.
Karena drama pendidikan ingin
mencari sebuah tujuan tertentu, apa yang dilakukan sang aktor ketika berada
di atas panggung (front stage) dan
di belakang panggung (back stage)
sungguh berbeda. Ketika berada di front
stage, drama pendidikan benar-benar dimainkan sesuai dengan peran dan
sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan perilaku kita. Perilaku kita
dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang
berhasil. Namun ketika berada di belakang panggung (back stage), sang aktor akan bermain sesuka hati, tanpa
memedulikan plot yang telah direncanakan sebelumnya.
Senada dengan pemikiran Goffman,
Aristoteles dalam Poetics juga
melihat dramaturgi sebagai sebuah drama kehidupan yang dimainkan manusia
untuk menggapai tujuan-tujuan. Aristoteles bahkan menganalisis karakter sang
aktor sangat berperan besar bagi kesuksesan sebuah drama(turgi). Aktor yang
cerdas akan membuat drama semakin menarik, lincah, dan penuh hiburan. Adapun
aktor yang miskin kreasi akan membosankan di atas panggung, menjadi pelengkap
saja. Seusai pertunjukan, aktor minim kreasi akan mendapatkan porsi yang
sedikit untuk tampil di atas panggung (front
stage). Aristoteles dengan lengkap telah menganalisis hubungan antara
karakter dan akting, dialog, plot, dan cerita. Semua menjadi kesatuan dalam
drama kehidupan.
Tolak dramatisasi
UN, pada awalnya, memang
diniatkan baik dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun,
kebaikan dan kebenaran bukanlah diukur secara tunggal dalam konteks nasional.
Semua daerah mempunyai basis dan kompetensi sendiri dalam menilai sesuatu baik
dan benar.
Drama UN yang membuat siswa
seolah memainkan kisah drama menjadi preseden buruk kala UN ternyata hanya
dimaknai sebagai proses `lulus' dan `tidak lulus'. Proses itu didramatisasi
sedemikian rupa sehingga peserta didik selalu dihantui proses drama yang
menakutkan. Apa yang mereka rasakan ketika di sekolah (front stage) berbeda dengan yang dirasakan ketika di luar sekolah
(back stage).
Dramaturgi pendidikan dalam
konteks UN ialah terjebaknya siswa memainkan sebuah kisah pendidikan yang
justru membuat mereka stres, penuh tekanan, dan penuh kekhawatiran. Negara
janganlah seolah ketika berada dalam berbagai forum publik (front stage) menginginkan kemajuan
pendidikan, tetapi ternyata banyak siswa yang sampai ingin bunuh diri karena
gagal lulus UN (front stage).
Jelas, ini proses dramaturgi yang sangat tidak menyehatkan dunia pendidikan
di Indonesia.
Pemerintah harus membangun skema
yang lebih baik agar dramaturgi pendidikan tidak terulang di tahun-tahun
mendatang. Pendidikan harus benar-benar dikaji dengan manajemen yang
profesional dengan meletakkan semuanya untuk proses memuliakan manusia. Tuhan
saja memuliakan manusia dengan menempatkannya sebagai `ciptaan terbaik',
apakah pemerintah dan negara justru akan mengingkari fitrah manusia sebagai
`ciptaan terbaik'? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar