Menjadi
Kiblat Demokrasi
Hasibullah Satrawi ; Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 15 April 2014
ADA rasa bangga tersendiri
menyimak hiruk pikuk pesta demokrasi di Indonesia. Terlepas dari semua
kekurangan yang ada, perjalanan demokrasi di negeri ini tampak terus semakin
matang. Pelaksanaan pemilihan legislatif yang berjalan kondusif bisa
dijadikan sebagai salah satu bukti mutakhir dari proses demokratisasi di
negeri ini yang patut dibanggakan, khususnya bila dibandingkan dengan
pengalaman demokrasi di negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim.
Tak seperti yang kerap terjadi
di negara-negara Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir, proses
demokratisasi di negeri ini berjalan secara lebih teratur tanpa adanya
ancaman kekerasan dari pihak mana pun, termasuk dari para pemegang kekuasaan
terhadap lawan-lawan politik mereka. Pun demikian, tak seperti negara-negara
tetangga, proses demokratisasi di negeri ini berjalan secara lebih terbuka
dengan irama `persaingan sehat' di antara kelompok-kelompok politik yang ada
hingga nyaris tidak ada kelompok oposisi yang menjadi tahanan politik
semata-mata karena posisi politik mereka.
Islam dan demokrasi
Pengalaman demokrasi di
Indonesia sejauh ini membuktikan Islam sebagai agama tidak bertentangan
dengan demokrasi sebagai sistem hidup berbangsa dan berne gara. Pengalaman
demokrasi di negeri ini pun membuktikan Islam dan demokrasi tak seharusnya
diposisikan secara berhadap-hadapan, apalagi dipertentangkan dengan semangat
saling menafikan.
Sebaliknya, Islam dan demokrasi
di Indonesia berjalan dengan semangat saling melengkapi untuk memberikan yang
terbaik bagi masyarakat luas. Melalui sistem kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dibangun, demokrasi di negeri ini memberikan keleluasaan umat
beragama untuk menjalankan segala macam aktivitas dan kewajiban keagamaannya
menuju kesempurnaan sebagai makhluk Tuhan (insanun kamil). Sebaliknya, melalui sejumlah nilai dan norma yang
dibawanya, Islam yang berkembang di negeri ini memberikan keleluasaan kepada
demokrasi untuk menjalankan segala macam aktivitas dan kewajiban kebangsaan
menuju kesempurnaan sebagai bangsa (baldatun
thayyibatun).
Tentu masih ada kekurangan di
sana-sini yang tak dapat diabaikan terkait dengan hubungan Islam dan
demokrasi di negeri ini. Kekerasan atas nama agama atau keyakinan, contohnya,
masih kerap terjadi, termasuk diskriminasi pembangunan rumah ibadah oleh
kelompok mayoritas di wilayah tertentu. Bahkan jaringan terorisme di Republik
ini masih kerap berkembang dalam aneka macam bentuknya.
Namun, sejumlah kekurang an yang
ada tersebut tidak lantas harus menafikan pelbagai macam perkembangan positif
terkait dengan hubungan Islam dan demokrasi. Pun demikian sebaliknya. Tak
ubahnya rumah, sekecil apa pun kebocoran yang ada harus segera diperbaiki
agar tidak berkembang menjadi sebuah genangan, lalu banjir yang pada
gilirannya dapat menghanyutkan rumah besar ini beserta segala isinya.
Perkembangan demokratisasi
tersebut tidak terlepas dari peran kelompok moderat (NU, Muhammadiyah, dan
lainnya) yang senantiasa menjadi pengawal republik, baik pada era kemerdekaan
maupun pada era reformasi 1998. Pada era kemerdekaan, ormas-ormas moderat itu
turut berperang melawan penjajah demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan
mempertahankannya dari segala bentuk ancaman, termasuk ancaman dari kelompok
pemberontak. Pada masa reformasi, kelompok-kelompok moderat itu turut andil
dalam memberikan pilihan politik alternatif kepada masyarakat hingga transisi
pemerintahan dari rezim Soeharto tidak mengambil pola `transisi ekstrem'
seperti sekarang jamak terjadi di Timur Tengah: dari rezim otoriter menjadi
negara agama.
Kiblat demokrasi
Atas dasar apa yang telah
disampaikan, dalam banyak kesempatan, penulis kerap menyampaikan bahwa
Indonesia berpotensi besar menjadi kiblat demokrasi bagi negaranegara lain
yang berpenduduk mayoritas muslim. Selain karena Islam dan demokrasi bisa
berjalan secara harmoni dan saling melengkapi (sebagaimana telah
disampaikan), Islam yang berkembang di Indonesia merepresentasikan Islam yang
berkembang di negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim, baik dari
segi aliran maupun dari segi pemahaman.
Selama ini ada dua model
demokrasi yang banyak menarik perhatian para ahli, khususnya terkait dengan
hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, demokrasi yang berkembang di Iran.
Kedua, demokrasi yang berkembang di Turki. Demokrasi yang berkembang di dua
negara itu hampir mustahil bisa diterima mayoritas umat Islam, termasuk umat
Islam Indonesia. Hal itu terjadi karena demokrasi di Iran identik dengan
tradisi Syiah yang dikontrol ketat oleh ayatullah sebagai pemimpin spiritual
tertinggi melalui kekuasaan wilayatul faqih (kekuasaan tokoh agama). Sementara
itu, demokrasi di Turki sangat identik dengan tradisi sekularisme warisan
Kemal Ataturk.
Diakui atau tidak, tradisi Syiah
sejauh ini belum diterima mayoritas umat Islam. Pun demikian dengan
sekularisme yang sampai sekarang masih ditolak mayoritas umat Islam yang
lebih mengutamakan moderatisme. Persis di sinilah peluang terbuka lebar bagi
Indonesia untuk menjadi kiblat demokrasi bagi negara-negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim. Apalagi saat ini banyak negara di Timur Tengah yang dipaksa
rakyat mereka (melalui gerakan Arab Spring) untuk mencari model peme rintahan
demokratis yang menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, pemerataan, dan
kebebasan.
Tantangan
Namun, setidaknya ada tiga
tantangan yang harus diselesaikan Indonesia ke depan untuk menjadi kiblat
demokrasi. Pertama, kese jahteraan rakyat. Hampir ti dak ada gunanya
demokrasi bila tidak mampu mening katkan kesejahteraan masya rakat. Bahkan
mungkin ada sebagian dari masyarakat yang lebih memilih hidup tidak terlalu
bebas asalkan ada jaminan kesejahteraan.
Itulah yang membuat pengalaman
demokrasi di Indonesia sejauh ini tidak terlalu bernilai tinggi, baik bagi
sebagian elemen di dalam negeri secara internal ataupun bagi negara-negara
berpenduduk mayoritas Islam lain secara eksternal, khususnya negara-negara
kaya minyak. Toh, faktanya masih sangat banyak ma syarakat kita yang harus
bekerja di negara-negara itu untuk memperbaiki nasib hidup. Bahkan tak
sedikit dari mereka yang menjadi korban kekerasan.
Demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat tak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi
demokrasi akan menjadi terasa terlalu mahal bila hanya untuk kebebasan
berekspresi semata. Karena itu, kedaulatan rakyat harus dimaknai dalam
konteks yang lebih mendasar bagi masyarakat, yaitu kedaulatan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan hidup mereka.
Padahal, kekayaan alam negeri
ini sangat melimpah. Itulah yang menjadi tantangan kedua bagi Indonesia ke
depan, yaitu kekayaan alam yang salah urus atau bahkan terabaikan. Tidak
hanya dalam konteks kekayaan alam yang bernilai sangat tinggi (seperti
minyak, gas, emas dan yang lainnya), tetapi juga kekayaan alam yang tampak
remeh-temeh (seperti hasil panen para petani). Harus diakui bersama,
demokrasi yang berkembang di Indonesia selama ini belum mampu memberikan
kedaulatan kepada rakyat dalam konteks kekayaan alam ini.
Ketiga, monopoli kekuasaan
dengan semangat mayoritarianisme, baik mayoritas dalam arti suku, agama,
aliran, ataupun lainnya. Sejauh ini, mayoritarianisme masih berkuasa hampir
mutlak atas demokratisasi yang berjalan hingga tidak ada orang dari kelompok
tertentu yang menempati posisi atau jabatan tertentu. Padahal, jabatan publik
seharusnya terbuka bagi siapa pun yang berkemampuan, tanpa memandang latar
belakang agama, suku, ataupun hal-hal primordial lainnya.
Kita harapkan hasil Pemilu 2014
mampu menambah bobot demokrasi yang berjalan di Republik ini, khususnya dalam
menghadapi tiga tantangan tersebut, hingga demokrasi di negeri ini mampu
mendongkrak kesejahteraan masyarakat luas dengan tetap menjunjung tinggi
kebebasan dan kesetaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar