Kamis, 17 April 2014

Menjadi Kiblat Demokrasi

Menjadi Kiblat Demokrasi

Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
ADA rasa bangga tersendiri menyimak hiruk pikuk pesta demokrasi di Indonesia. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, perjalanan demokrasi di negeri ini tampak terus semakin matang. Pelaksanaan pemilihan legislatif yang berjalan kondusif bisa dijadikan sebagai salah satu bukti mutakhir dari proses demokratisasi di negeri ini yang patut dibanggakan, khususnya bila dibandingkan dengan pengalaman demokrasi di negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim.

Tak seperti yang kerap terjadi di negara-negara Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir, proses demokratisasi di negeri ini berjalan secara lebih teratur tanpa adanya ancaman kekerasan dari pihak mana pun, termasuk dari para pemegang kekuasaan terhadap lawan-lawan politik mereka. Pun demikian, tak seperti negara-negara tetangga, proses demokratisasi di negeri ini berjalan secara lebih terbuka dengan irama `persaingan sehat' di antara kelompok-kelompok politik yang ada hingga nyaris tidak ada kelompok oposisi yang menjadi tahanan politik semata-mata karena posisi politik mereka.

Islam dan demokrasi

Pengalaman demokrasi di Indonesia sejauh ini membuktikan Islam sebagai agama tidak bertentangan dengan demokrasi sebagai sistem hidup berbangsa dan berne gara. Pengalaman demokrasi di negeri ini pun membuktikan Islam dan demokrasi tak seharusnya diposisikan secara berhadap-hadapan, apalagi dipertentangkan dengan semangat saling menafikan.

Sebaliknya, Islam dan demokrasi di Indonesia berjalan dengan semangat saling melengkapi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat luas. Melalui sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun, demokrasi di negeri ini memberikan keleluasaan umat beragama untuk menjalankan segala macam aktivitas dan kewajiban keagamaannya menuju kesempurnaan sebagai makhluk Tuhan (insanun kamil). Sebaliknya, melalui sejumlah nilai dan norma yang dibawanya, Islam yang berkembang di negeri ini memberikan keleluasaan kepada demokrasi untuk menjalankan segala macam aktivitas dan kewajiban kebangsaan menuju kesempurnaan sebagai bangsa (baldatun thayyibatun).

Tentu masih ada kekurangan di sana-sini yang tak dapat diabaikan terkait dengan hubungan Islam dan demokrasi di negeri ini. Kekerasan atas nama agama atau keyakinan, contohnya, masih kerap terjadi, termasuk diskriminasi pembangunan rumah ibadah oleh kelompok mayoritas di wilayah tertentu. Bahkan jaringan terorisme di Republik ini masih kerap berkembang dalam aneka macam bentuknya.

Namun, sejumlah kekurang an yang ada tersebut tidak lantas harus menafikan pelbagai macam perkembangan positif terkait dengan hubungan Islam dan demokrasi. Pun demikian sebaliknya. Tak ubahnya rumah, sekecil apa pun kebocoran yang ada harus segera diperbaiki agar tidak berkembang menjadi sebuah genangan, lalu banjir yang pada gilirannya dapat menghanyutkan rumah besar ini beserta segala isinya.

Perkembangan demokratisasi tersebut tidak terlepas dari peran kelompok moderat (NU, Muhammadiyah, dan lainnya) yang senantiasa menjadi pengawal republik, baik pada era kemerdekaan maupun pada era reformasi 1998. Pada era kemerdekaan, ormas-ormas moderat itu turut berperang melawan penjajah demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan mempertahankannya dari segala bentuk ancaman, termasuk ancaman dari kelompok pemberontak. Pada masa reformasi, kelompok-kelompok moderat itu turut andil dalam memberikan pilihan politik alternatif kepada masyarakat hingga transisi pemerintahan dari rezim Soeharto tidak mengambil pola `transisi ekstrem' seperti sekarang jamak terjadi di Timur Tengah: dari rezim otoriter menjadi negara agama.

Kiblat demokrasi

Atas dasar apa yang telah disampaikan, dalam banyak kesempatan, penulis kerap menyampaikan bahwa Indonesia berpotensi besar menjadi kiblat demokrasi bagi negaranegara lain yang berpenduduk mayoritas muslim. Selain karena Islam dan demokrasi bisa berjalan secara harmoni dan saling melengkapi (sebagaimana telah disampaikan), Islam yang berkembang di Indonesia merepresentasikan Islam yang berkembang di negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim, baik dari segi aliran maupun dari segi pemahaman.

Selama ini ada dua model demokrasi yang banyak menarik perhatian para ahli, khususnya terkait dengan hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, demokrasi yang berkembang di Iran. Kedua, demokrasi yang berkembang di Turki. Demokrasi yang berkembang di dua negara itu hampir mustahil bisa diterima mayoritas umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia. Hal itu terjadi karena demokrasi di Iran identik dengan tradisi Syiah yang dikontrol ketat oleh ayatullah sebagai pemimpin spiritual tertinggi melalui kekuasaan wilayatul faqih (kekuasaan tokoh agama). Sementara itu, demokrasi di Turki sangat identik dengan tradisi sekularisme warisan Kemal Ataturk.

Diakui atau tidak, tradisi Syiah sejauh ini belum diterima mayoritas umat Islam. Pun demikian dengan sekularisme yang sampai sekarang masih ditolak mayoritas umat Islam yang lebih mengutamakan moderatisme. Persis di sinilah peluang terbuka lebar bagi Indonesia untuk menjadi kiblat demokrasi bagi negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Apalagi saat ini banyak negara di Timur Tengah yang dipaksa rakyat mereka (melalui gerakan Arab Spring) untuk mencari model peme rintahan demokratis yang menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, pemerataan, dan kebebasan.

Tantangan

Namun, setidaknya ada tiga tantangan yang harus diselesaikan Indonesia ke depan untuk menjadi kiblat demokrasi. Pertama, kese jahteraan rakyat. Hampir ti dak ada gunanya demokrasi bila tidak mampu mening katkan kesejahteraan masya rakat. Bahkan mungkin ada sebagian dari masyarakat yang lebih memilih hidup tidak terlalu bebas asalkan ada jaminan kesejahteraan.

Itulah yang membuat pengalaman demokrasi di Indonesia sejauh ini tidak terlalu bernilai tinggi, baik bagi sebagian elemen di dalam negeri secara internal ataupun bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lain secara eksternal, khususnya negara-negara kaya minyak. Toh, faktanya masih sangat banyak ma syarakat kita yang harus bekerja di negara-negara itu untuk memperbaiki nasib hidup. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi korban kekerasan.

Demokrasi dan kesejahteraan masyarakat tak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi demokrasi akan menjadi terasa terlalu mahal bila hanya untuk kebebasan berekspresi semata. Karena itu, kedaulatan rakyat harus dimaknai dalam konteks yang lebih mendasar bagi masyarakat, yaitu kedaulatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan hidup mereka.

Padahal, kekayaan alam negeri ini sangat melimpah. Itulah yang menjadi tantangan kedua bagi Indonesia ke depan, yaitu kekayaan alam yang salah urus atau bahkan terabaikan. Tidak hanya dalam konteks kekayaan alam yang bernilai sangat tinggi (seperti minyak, gas, emas dan yang lainnya), tetapi juga kekayaan alam yang tampak remeh-temeh (seperti hasil panen para petani). Harus diakui bersama, demokrasi yang berkembang di Indonesia selama ini belum mampu memberikan kedaulatan kepada rakyat dalam konteks kekayaan alam ini.

Ketiga, monopoli kekuasaan dengan semangat mayoritarianisme, baik mayoritas dalam arti suku, agama, aliran, ataupun lainnya. Sejauh ini, mayoritarianisme masih berkuasa hampir mutlak atas demokratisasi yang berjalan hingga tidak ada orang dari kelompok tertentu yang menempati posisi atau jabatan tertentu. Padahal, jabatan publik seharusnya terbuka bagi siapa pun yang berkemampuan, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ataupun hal-hal primordial lainnya.

Kita harapkan hasil Pemilu 2014 mampu menambah bobot demokrasi yang berjalan di Republik ini, khususnya dalam menghadapi tiga tantangan tersebut, hingga demokrasi di negeri ini mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat luas dengan tetap menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar