Hindari
Pemerintahan Pelangi
Effnu Subiyanto ; Ketua Yayasan Cikal
dan Pendiri Forkep
|
KOMPAS,
10 April 2014
PEMILU
untuk anggota legislatif baru berlalu. Pemenangnya sudah di pelupuk mata
berkat hasil hitung cepat yang semoga antara hasil satu dan lembaga survei
lain mengerucut ke satu parpol. Tampaknya polemik siapa presiden pengganti
SBY akan segera berakhir.
Kini
yang perlu dipikirkan oleh publik Indonesia adalah siapa profil yang harus
memimpin negeri ini dari unsur kabinetnya. Apakah mengikuti model
pemerintahan SBY dengan mengakomodasi semua pihak karena terjebak jargon
politiknya ”Bersama Pasti Bisa” atau Sang Capres harus mencari alternatif
baru.
Pelajaran
dari kabinet pelangi SBY 2009-2014, dan juga sebelumnya 2004-2009,
pemerintahan menjadi tidak efektif karena banyak kepentingan. Menteri yang
seharusnya tunduk kepada presiden karena memenangi mandat rakyat sering kali
insubordinasi karena kepentingan induk partainya. Mekanisme koalisi ternyata
mandul dan tidak efektif sama sekali, malah partai yang ”menumpang” itu
memanfaatkan kesempatan mendapatkan kekuasaan agar eksistensi partainya
sustain.
Berani posisi
Berpolitik
sebetulnya pilihan prinsip dan integritas. Tidak seharusnya dan sama sekali
tidak etis jika sikap mendua disebut juga sebagai langkah politik. Pemenang
pemilu harus menyadari dan memahami dengan betul istilah koalisi yang
sebetulnya penumpang gelap politik. Malah, penumpang gelap ini akan menjadi
beban tersendiri dan akan menyandera mesin politik partai pemenang untuk
memenuhi janji-janji semasa kampanye.
Pada
pemerintahan SBY masih teringat jelas bagaimana anti korupsi menjadi spirit
partai akibat janji pedang terhunus melawan korupsi. Namun, apa jadinya
anggota partai koalisi malah melakukan korupsi impor daging, proyek-proyek
kementerian, dan lain-lain. Elite Partai Demokrat ironisnya melakukan korupsi
dengan lebih dahsyat mulai dari M Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi
Mallarangeng, sampai mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Demokrat dengan
sendirinya gagal memenuhi janji kampanyenya sendiri karena terjebak
pemerintahan pelangi.
Maksud
hati baik dengan mengakomodasi suara-suara kritis, ingin mencitrakan sebagai
partai yang tidak ”kemaruk” kekuasaan, tetapi hasilnya malah amburadul.
Rakyat tidak merasakan manfaat saat Demokrat berkuasa, sebaliknya
kredibilitas pemerintah semakin rusak karena banyaknya tikus dalam organ
negara. Kini citra Demokrat, citra SBY sendiri, malah tidak bisa diselamatkan
karena pemerintahan pelangi.
Tantangan
kepada partai politik yang kalah pemilu tetaplah oposisi, jangan mencari
kesempatan berkuasa dengan melegitimasi bermuka dua. Jika mencintai
kekuasaan, sebaiknya sejak sekarang melebur diri ke dalam partai tersebut
agar jumlah partai tidak puluhan seperti sekarang.
Percaya diri
Pemerintahan
SBY memberi teladan kegagalan bagaimana seharusnya mengatur negara. Partai
pemenang pemilu tak seharusnya membagi kekuasaan karena rakyat sendiri tak
menghendaki kekuasaan dibagi-bagi atas nama pencitraan dan jargon politik ”Bersama Kita Bisa”. Partai pemenang
pemilu kali ini harus benar-benar percaya diri bahwa kadernya mampu mengatur
sendiri negara ini berdasarkan garis dan platform
politik yang diperjuangkannya. Rakyat hanya menanti di titik akhir periode kekuasaan:
kesejahteraan lebih baik, meningkat, dan masuk akal.
Definisi
kesejahteraan bukan indikator statistik palsu. Disebut naik, tetapi
pertumbuhannya sendiri tidak mampu melampaui kenaikan harga. Ini adalah
kesejahteraan palsu dan abal-abal. Sederhananya, sejahtera apabila pajak
masuk akal, infrastruktur bagus, biaya tak melebihi pendapatan, sekolah
terjangkau, demikian pula biaya rumah sakit tak jadi hantu pembuat melarat.
Negara
ini demikian besar memiliki sumber daya alam baik dalam tanah, dalam laut,
dan seluruh aset di atasnya. Inilah modal utama menyejahterakan 245 juta
penduduk Indonesia dari titik 0 kilometer sampai titik tertimur negara ini.
Hanya satu tantangan besarnya: penyimpangan
dan korupsi karena korupsi membajak porsi kesejahteraan untuk rakyat lain
dalam beberapa sampai puluhan tahun ke depan.
Kini
rakyat semakin pintar dan semakin konsisten. Pemilu 2014 adalah semua koreksi
kesalahan Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Sang Capres adalah kartu truf yang
diharapkan rakyat dan kader unggulan partai pemenang yang sangat bernilai.
Parlemen
tahun ini adalah parlemen partai pemenang, demikian pula presidennya adalah
dari partai tersebut. Jika sekali ini partai pemenang memberikan ruang
koalisi kepada partai lain sebagai penumpang gelap seperti blunder Demokrat,
2009-2014, maka percayalah kredibilitas partai pemenang akan kembali runtuh.
Jauhi pemerintahan pelangi, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar