Menjadi
Indonesia
Benny Susetyo ; Sekretaris Eksekutif
Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial
|
KORAN
SINDO, 07 April 2014
Artikel ini telah dimuat di SINAR HARAPAN 24 Maret 2014
Siapa
pemimpin terbaik Indonesia akan segera ditentukan dalam beberapa bulan ke
depan. Para calon pemimpin sudah tampil di hadapan publik memberikan yang
terbaik.
Mereka
adalah yang terbaik yang berjanji akan membawa perubahan bagi Indonesia.
Rakyat Indonesia berharap mereka bisa membawa perubahan yang nyata dalam
berkehidupan di Indonesia. Bisakah mereka mengubah nasib bangsa ini dalam
situasi yang serbasulit ini?
Bangga Menjadi Indonesia
Sampai
sepanjang masa reformasi Indonesia masih sering dianggap berada di masa
transisi. Kita merindukan sosok pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu
membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup
berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya. Masih terlalu sedikit
contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini.
Justru
yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang
pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru seringkali
melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Tak jarang di dalamnya
mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada kepentingan
kemakmuran rakyat semesta. Pemimpin terbaik akan mengembalikan kepercayaan
diri sebagai bangsa yang luntur seiring dengan waktu.
Kita
bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Perilaku politik para elite
selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa. Pemimpin
hendaknya menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.
Keinginan memiliki pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan diri sebagai
bangsa itu begitu kuat. Kita ingin menjadi contoh nyata bagi negara-negara
lain di Asia maupundunia bahwa Indonesia bisa menjalankan demokrasi dengan
baik.
Bukan
demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikendalikan oleh
kepentingan modal dan bangsa lain. Berproses menjadi Indonesia ini begitu
penting. Proses menjadi bangsa ini belum selesai seperti kata Max Lane.
Proses ini meliputi tindakan untuk terus-menerus memperbaiki cara kita
menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai warga bangsa.
Negeri Para Calo
Kepercayaan
diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan
sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara
yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini adalah
bagaimana semua bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang
telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan
kepentingan bersama yang bernama bangsa.
”Kebangsaan”
kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku. Banyak fenomena
yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering
terseok-seok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung
bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai oleh kepentingan
golongan tertentu. Konflik sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru
terjadi sangat mengkhawatirkan.
Sumber
daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat semesta. Tidak disadari bahwa semakin hari kualitas
hidup masyarakat semakin menurun. Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan
kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak untuk
segera dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak disusun atas dasar
kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Lahirlah kenyataan apa yang sering
disebut orang sebagai para calo politik (rent
seeker).
Di balik
praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan.
Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis yang korup.
Bisnis yang membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan
secara khusus kepada mereka.
Saatnya Perubahan
Menjadi
pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga panggilan untuk menyejahterakan
masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal menciptakan situasi
kondusif untuk kesejahteraan rakyat. Partai politik gagal menata keadaban
politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat. Kini saatnya partai
melakukan perubahan mendasar dalam dirinya agar ia kembali diterima.
Partai
politik diharapkan lebih aktif untuk mencari figur pemimpin yang memiliki
keutamaan. Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyatnya karena
itu panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk
kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa
depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri. Ketulusan menjadi dasar seseorang
untuk menghantarkan bangsa ini kepada masa depan yang dicitakan.
Sikap
tulus ini tentu harus disertai dengan kecerdasan dalam mengoordinasikan
tujuan dan target yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai harus
membebaskan masyarakat dari politik adu domba yang kerap dipicu oleh perilaku
politik-kekuasaan. Justru negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan
nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya.
Aparatur yang beradab selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum. Setiap
pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa
depan.
Karena
itu, mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran.
Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia
baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik.
Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan di mana
lembaran baru tercipta demi terwujud cita-cita para pendiri bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar