Menjadi
Indonesia
Benny Susetyo ; Pemerhati
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 24 Maret 2014
Siapa
pemimpin terbaik Indonesia akan segera ditentukan dalam beberapa bulan ke
depan. Para calon pemimpin sudah tampil di hadapan publik memberikan yang
terbaik.
Mereka
adalah yang terbaik yang berjanji akan membawa perubahan bagi Indonesia.
Rakyat Indonesia berharap mereka bisa membawa perubahan yang nyata dalam
berkehidupan di Indonesia. Bisakah mereka mengubah nasib bangsa ini dalam
situasi yang serba sulit ini?
Bangga Menjadi Indonesia
Sampai
sepanjang masa Reformasi Indonesia masih sering dianggap berada di masa
transisi. Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan yang mampu
membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup
berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Masih
terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri
ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan
layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi
justru sering melahirkan kebijakan-kebijakan menyakitkan. Tak jarang di
dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada
kepentingan kemakmuran rakyat semesta.
Pemimpin
terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang luntur
seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat.
Perilaku politik para elit selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri
kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya menjadi tonggak agar kita bisa
kembali bangga menjadi Indonesia.
Keinginan
memiliki pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa itu
begitu kuat. Kita ingin menjadi contoh nyata bagi negara-negara lain di Asia
maupun dunia, bahwa Indonesia bisa menjalankan demokrasi dengan baik. Bukan
demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikendalikan kepentingan
modal dan bangsa lain.
Berproses
menjadi Indonesia ini begitu pentingnya. Proses menjadi bangsa ini belum
selesai, seperti kata Max Lane. Proses ini meliputi tindakan untuk
terus-menerus memperbaiki cara kita menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai
warga bangsa.
Negeri Para Calo
Kepercayaan
diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan
sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara
yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini adalah,
bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual.
Tanpa
mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak
didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang
bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan
perilaku.
Banyak
fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa
sering terseok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak
kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai oleh
kepentingan golongan tertentu.
Konflik
sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat
mengkhawatirkan. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar
dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta. Tidak disadari
bahwa semakin hari kualitas hidup masyarakat semakin menurun.
Kemiskinan,
pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita
bersama yang mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik
pun tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Lahirlah
kenyataan yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker).
Di balik
praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan.
Kepentingan pemilik modal adalah melestarikan bisnis-bisnis yang korup.
Bisnis yang membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan
secara khusus kepada mereka.
Saatnya Perubahan
Menjadi
pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan untuk menyejahterakan
masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal menciptakan situasi
kondusif untuk kesejahteran rakyat. Partai politik gagal menata keadaban
politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.
Kini
saatnya partai melakukan perubahan mendasar dalam dirinya agar ia kembali
diterima. Partai politik diharapkan lebih aktif untuk mencari figur pemimpin
yang memiliki keutamaan.
Pemimpin yang memiliki keutamaan akan
melayani rakyatnya karena itu merupakan panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin
yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul
memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.
Ketulusan
menjadi dasar seseorang untuk menghantarkan bangsa ini kepada masa depan yang
dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai dengan kecerdasan dalam
mengoordinasikan tujuan dan target yang ingin dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan
masyarakat dari politik adu domba yang kerap dipicu perilaku politik
kekuasaan. Justru negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai
kemanusiaan yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang
beradab selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum.
Setiap
pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan.
Mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran. Kebenaran
tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru.
Tata
dunia baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan
politik. Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan
lembaran baru tercipta demi terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar