Penyetan
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik Universitas Nasional
|
TEMPO.CO,
07 April 2014
Seorang
pengamat politik senior mengeluh mengapa belakangan ini sering menemukan kata
setan yang dilekatkan pada makanan. Banyak warung yang menawarkan menu
makanan yang di belakangnya dilekatkan kata setan. Rupanya ada pesan khusus
dari pemanfaatan kata setan itu, yakni menu makanan ekstrem atau sangat
pedas. Tiba-tiba saya ingat seorang nyonya rumah tangga dari Solo yang sering
bilang tidak hanya "pedese koyo
setan".
Iya,
sang pengamat politik senior itu bisa paham bahwa pemanfaatan kata setan
adalah untuk menyangatkan. Tapi, yang membuatnya gelisah adalah, bukankah
dalam agama, kita diajarkan untuk berlindung kepada Tuhan dari godaan setan
yang terkutuk? Lagi pula, kalau setan itu merujuk pada kata sifat, maka ia
dilekatkan pada semua tabiat yang jelek dan jahat. Mengapa kita disuruh
memakan makanan yang di belakangnya dilekatkan sifat jahat?
Saya
menimpali pendek, bagaimana kalau dibalik, kalau kita usulkan yang dilekatkan
bukan setan, melainkan malaikat? Maka rawon setan, misalnya, diganti saja
dengan rawon malaikat. Dia protes, karena itu mendesakralisasi makna
malaikat.
Itu
semua saya ingat ketika saya melintas di depan konter makanan di sebuah mal
di Jakarta Selatan yang bertajuk "penyetan". Tentulah sekilas kata
penyetan agak menyesatkan, karena ternyata kata dasarnya bukan setan,
melainkan penyet. Sebab, yang ditawarkan adalah jenis-jenis makanan penyet,
dari tempe, ayam, hingga iga penyet. Makanan jenis ini, populernya pertama
kali di Jawa Timur, kemudian merambat ke Jakarta.
Penyetan?
Si empunya makanan mengambil dua keuntungan sekaligus dari kata ini, penyet
dan setan. Maksudnya, dipenyet langsung "kesetanan",
karena pedas.
Membaca
surat kabar hari itu, saya terinspirasi bahwa kata penyetan segera mudah
berpindah ke dunia politik. Para ulama dan sejumlah pemimpin ormas Islam
mengungkapkan keprihatinannya terhadap proses politik yang dikendalikan oleh
para pemodal dari konglomerat hitam. Kemudian mereka mengecamnya. Yang
dikecam adalah konglomerat hitam, yang dalam bayangan saya kumpulan para penyetan.
Tapi kali ini bukan penyet kata dasarnya, melainkan setan.
Konglomerat
hitam berwatak setan, memakai jurus-jurus setan untuk memanipulasi dan
menilap semuanya demi memperkaya diri dan kelompok bisnisnya di atas
penderitaan yang lain. Mereka beraktivitas bisnis legal dan ilegal. Meminjam
Jeffrey Winters, mereka para oligark yang berkepentingan memanfaatkan dunia
politik untuk mempertahankan pertahanan kekayaan (wealth defense) masing-masing. Mereka bisa masuk langsung ke
dunia politik, tapi juga bisa menjadikan para politikus sebagai
boneka-boneka.
Dari
sisi ini, bisa muncul istilah begini, "Sayang,
ya, dia itu orang yang baik, bersih, jujur, merakyat, "tidak
neko-neko" dan sederhana, tapi sayang di sekitarnya para penyetan!"
Penyetan yang dimaksud, mereka yang membisiki kebijakan jahat dan
berkepentingan mengendalikan sang politikus. Penyetan ialah pembisik yang
jahat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar