Minggu, 13 April 2014

Mengapa Partisipasi Pemilu di Luar Negeri Rendah?

Mengapa Partisipasi Pemilu di Luar Negeri Rendah?

Ardi Winangun  ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
HALUAN, 12 April 2014

Artikel ini telah dimuat di OKEZONENEWS 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dengan alasan-alasan tertentu, maka Pemilu Legislatif 2014 telah diselenggarakan bagi para WNI yang berada di luar negeri. Dari pelaksanaan Pemilu untuk Dapil luar negeri itu, meski terbilang sukses dan lancar, namun tingkat partisipasi pemilih tidak menggembirakan. Di Hong Kong misalnya, dari 102 ribu orang yang terdaftar sebagai pemilih, yang menggunakan haknya ternyata hanya 5.000 orang.

Dengan mengacu proses pelaksanaan di Hong Kong, maka pihak KPU harus secepat mungkin mengevaluasi kinerjanya agar Pemilu Presiden 2014 di negara di mana WNI jumlahnya mencapai ribuan orang tersebut harus lebih bisa sukses dengan tingkat partisipasi yang tinggi.

Negara yang jumlah WNI terdaftar dalam DPT mencapai ribuan itu ada di Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura. Para WNI berada di negara-negara itu kebanyakan adalah para pekerja rumah tangga, buruh bangunan, pekerja perkebunan, pekerja restoran, dan sedikit yang menjadi mahasiswa dan pekerja profesional.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat partisipasi Pemilu Legislatif di luar negeri rendah. Faktornya adalah, pertama, jauhnya informasi tentang Pemilu buat para WNI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, restoran, pekerja perkebunan dan bangunan. Pekerjaan yang demikian adalah sebuah pekerjaan yang jauh dari hiruk-pikuk lalu-lalang informasi berita. Rutinitas mereka, mulai pagi bekerja sampai siang bahkan sampai malam, selanjutnya mereka lelah lalu istirahat.

Kelelahan itu membuat mereka tidak peduli dengan hal-hal di luar rutinitas mereka. Lain halnya dengan para WNI di luar negeri yang bekerja di sektor profesional terpandang atau mahasiswa. Mereka lebih banyak punya waktu untuk mengakses informasi. Sebenarnya KPU telah memberi sosialisasi kepada para TKW dan TKI kapan Pemilu Legislatif dilaksanakan. Namun karena faktor ru­tinitas bekerja, membuat mereka kurang peduli dengan Pemilu.

Kedua, selain faktor rutinitas kerja, faktor majikan dan juragan TKI dan TKW sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi Pemilu. Pikiran para juragan dan majikan adalah para TKI dan TKW harus bekerja dengan baik dan patuh pada aturan kerja. Bila majikan dan juragan berpikir kapitalis maka mereka akan dieksploitasi setiap hari sehingga para TKI dan TKW itu tidak diperkenankan keluar dari lingkup pekerjaannya.

Misalnya, pada hari Minggu, para TKI dan TKW yang berkerja di restoran oleh majikan atau juragannya tidak diizinkan meninggalkan pekerjaan. Sebab pada hari Minggu restoran ramai pengunjung. Penulis pernah menemukan banyak TKW bekerja di restoran seperti di Bukit Bintang, Larkin Johor Bharu, Nilam Negeri Sembilan, Pasar Rakyat, di Malaysia; atau Orchard di Singapura. Demikian pula yang bekerja di perkebunan, tidak diizinkan keluar karena perkebunannya sedang panen.

Untuk itu, KPU, kedutaan besar, dan konsulat jenderal dalam mensosialisasikan Pemilu tidak hanya kepada para TKI dan TKW, namun juga harus kepada majikan dan juragan mereka. Kedutaan besar atau konsulat jenderal harus mampu menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat untuk memberitahukan kepada para majikan dan juragan TKI dan TKW untuk memberi izin pada hari yang sudah ditentukan kepada para WNI guna pergi ke TPS untuk menggunakan suaranya dalam Pemilu. Sebab peristiwa itu penting bagi masa depannya. Bila komunikasi antara majikan dan juragan dengan penyelenggara Pemilu terjalin baik, maka para majikan dan juragan itu akan paham dan men­dorong para TKI dan TKW untuk pergi nyoblos.

Ketiga, Dapil luar negeri bagi partai politik dan caleg bisa jadi dianggap penting dan tidak penting. Penting sebab jumlah mereka cukup banyak. Di Malaysia saja bisa jadi sampai 2 juta WNI, demikian pula di Arab Saudi. Namun karena di luar negeri membuat partai dan caleg berpikir ulang untuk melakukan kampanye. Sebab bila melakukan kampanye di sana, selain adanya aturan di negeri orang yang cukup ketat dalam berpolitik, pasti juga memerlukan biaya yang mahal.

Bayangkan kalau mau kampanye di Malaysia, mungkin harus dilaksanakan dari Kelantan sampai Sabah. Kalau di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berapa ringgit uang harus dikeluarkan? Tak adanya sosialisasi dari partai dan caleg yang massif itulah maka membuat para WNI di sana bingung siapa caleg dan partai yang akan dicoblos. Tak adanya janji-janji partai itulah yang juga bisa membuat para TKI dan TKW enggan ke TPS.

Keempat, bila pemilih di Indonesia diguyur dengan kaos, uang, sembako, makan-minum gratis, dan bantuan karikatif lainnya oleh para caleg, hal demikian tidak dialami para pemilih yang ada di luar negeri. Padahal nasib mereka yang berada di Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, dan di beberapa negara lainnya sama dengan yang ada di Indonesia.

Guyuran kaos, uang, sembako, makan-minum gratis, dan bantuan karikatif lainnya sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih. Bila para caleg memperlakukan hal yang sama kepada para TKW dan TKI, bisa jadi mereka tergerak untuk datang ke TPS.

Hal demikianlah yang menjadi tantangan bagi KPU, Kementerian Luar Negeri, partai politik, dan caleg untuk meningkatkan partisipasi pemilihan di luar negeri secara luber dan jurdil. Tentu harus dipikirkan cara-cara yang lebih mudah, manusiawi, dan tidak mengganggu hubungan kerja mereka dengan majikan atau juragan serta tak mengganggu studi bila mereka mahasiswa atau pelajar agar saudara-saudara kita yang mencari rezeki dan ilmu di negeri orang bisa ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Suara mereka tetap perlu dipungut sebab suara mereka juga menentukan masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar