Turbulensi
Maskapai di Indonesia
Arista Atmadjati ; Dosen Aviasi Prodi S1
Pariwisata,
Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 12 April 2014
Setelah
menikmati kue pertumbuhan kenaikan penumpang moda transportasi udara sejak
kelahiran Lion Air tahun 2001, dua tahun terakhir, pertumbuhan maskapai mulai
goyah. Kita simak beberapa tahun ke belakang.
Setiap
awal tahun selalu ada maskapai yang tumbang. Batavia Air tumbang pada awal
2013. Maskapai pelat merah Merpati Airlines menutup operasi pada Februari
2014 karena cash flow-nya negatif
dan tidak mampu membayar avtur.
Mulai
Februari sampai April ini, beberapa maskapai kuat menutup rute-rute untuk
sementara waktu, seperti Tiger Mandala, Air Asia Indonesia, dan Sriwijaya
Air. Alasannya memasuki low season dan permintaan pasar juga
menurun. Untuk sementara, alasan itu dapat dipahami. Namun, kebenarannya akan
diuji pada Mei nanti. Apakah beberapa maskapai tersebut akan membuka kembali
rute yang ditutup sementara itu.
Perlu Strategi
Salah
satu yang membuat maskapai rugi adalah biaya ekstra yang dikeluarkan karena
faktor antrean take off dan landing di Bandara Soekarno-Hatta.
Perhitungan kasar saja, bila rata-rata antre selama 20 menit untuk satu
pesawat, maskapai rugi Rp 10 juta per flight. Belum lagi bila landing dengan
memakai parkir di remote area akan
memerlukan fasilitas tambahan beberapa bus untuk mengangkut penumpang menuju arrival gate.
Tentunya
maskapai akan dikenakan charge
untuk setiap bus. Ini beda bila mendapat parking
di gate yang ada fasilitas garbaratanya. Itu karena biaya sudah entitle dalam
satu paket biaya yang dianggarkan setiap tahun untuk pelayanan di otoritas
bandara. Sementara itu, biaya bus di remote area susah diprediksi.
Mari
menyimak sebuah studi kasus di salah satu maskapai yang melakukan terobosan.
Akhir-akhir ini, banyak kolega yang telah menikmati jasa Citilink dari Bandara
Halim Perdanakusuma. Menurut pandangan kolega, banyak perubahan pelayanan
maskapai dalam ketepatan waktu yang terus membaik, baik saat take off maupun
landing di Bandara Halim.
Penulis
sudah menikmati penerbangan dari Bandara Halim pada Maret 2014 dengan
Citilink QG102 ke Yogyakarta pada pukul 19.00 WIB. Kesan saya, Bandara Halim
masih sangat manusiawi dari aspek kenyamanan bila dibandingkan Bandara
Soerkarno-Hatta yang mirip terminal bus. Selain itu, tidak ada calo tiket dan
calo taksi di Bandara Halim.
Bila
perluasan terminal tiga Soekarno-Hatta selesai, apakah semakin nyaman? Nanti
kita buktikan. Saat ini, tempat parkir di Bandara Halim sudah agak padat.
Namun, tidak membuang waktu banyak untuk mencari lahan parkir.
Akan
tetapi, hal itu belum merepresentasikan Bandara Halim yang nyaman karena baru
Citilink yang masuk. Rencana sebelumnya, selain Citilink, juga masih ada
sebagian penerbangan Air Asia dan Lion Air. Saat ini keduanya belum masuk.
Bila tiga maskapai itu masuk Bandara Halim, baru dapat dilihat tingkat
kenyamanan Bandara Halim, apakah teruji baik atau tidak?
Itu
gambaran dari maskapai yang berusaha menghindari take off dan landing di
Bandara Soerkarno-Hatta (BSH) sebagai strategi mengejar ketepatan waktu dan
tentu ada usaha untuk mengurasi cost
irregularities.
Inilah
sebuah anomali bisnis penerbangan yang terjadi di Indonesia. Harusnya secara
rasional semua industri penerbangan dan supporting
bisnisnya menikmati kue manis revenue
yang tinggi dari pertumbuhan traffic
penumpang udara yang diperkirakan mencapai 100 juta pada 2015.
Namun,
apa yang terjadi? Dalam dua tahun terakhir ini saja setiap awal tahun ada
maskapai yang bangkrut. Pada 2013, pengadilan menyatakan maskapai Batavia Air
pailit. Pada Februari 2014, giliran maskapai Merpati Airlines menghentikan
operasi penerbangan atau boleh dibilang bangkrut karena cash flow juga negatif serta tidak membayar gaji karyawan dan
pilot selama empat bulan.
Sangat
mengherankan, angka pertumbuhan penumpang udara di Indonesia setiap tahun
tidak pernah turun, namun beberapa maskapai sekarang malah tiap tahun
bangkrut. Penulis juga mendengar pada April 2014 ini beberapa maskapai
nasional juga mengalami kesulitan keuangan dan operasional.
Paling
tidak, maskapai Sky Aviation dengan armada Sukhoinya menghentikan sementara
rute. Beberapa maskapai LCC ternama di Indonesia banyak melakukan pull out
menutup rute dari beberapa kota karena tidak tahan dengan persaingan. Mungkin
juga terjadi penumpukan frekuensi yang berlebih sehingga terjadi over capacity saat low season ini. Selain itu, maskapai
kuat bisa saja melakukan dump harga dengan cara predatory tarif di tarif batas bawah.
Dalam
bahasa awam, semua seat kelas promo
dibuka dan maskapai kuat bisa memainkan hal tersebut karena menang frekuensi
yang banyak sehingga lebih leluasa memainkan price predatory. Jadi, maskapai dengan armada tanggung tidak
tahan dengan harga persaingan model gaya liberal ini.
Semua
diserahkan kepada mekanisme pasar. Lalu kalau semua sudah pull out, ini berbahaya bagi pasar di
Indonesia yang masih baru menikmati jasa transpotasi udara dengan harga yang affordable ini. Itu karena akhirnya,
sebuah rute gemuk hanya dikuasai dua atau tiga maskapai. Maskapai tersebut
akan bisa memainkan harga seenaknya. Pihak yang akan menjadi korban adalah
penumpang. Ini sudah terjadi pada penerbangan di intra-Papua. Harga tiket
saat ini, dengan tidak beroperasinya Merpati yang merupakan raja di Papua,
menjadi sangat mahal.
Konsumen
lagi lagi menjadi korban di Papua karena beberapa bandara panjang dan
kekuatan landasan tidak semua acceptable dengan armada Boeing terbaru.
Sebelumnya, pesawat turbo propeller MA 60 Merpati sangat pas dengan
spesifikasi bandara di Papua dan Kepulauan Ambon.
Namun
yang dipertanyakan, bagaimana peran regulator Kemenhub dalam mengatur
harmonisasi rute dan pembinaan maskapai domestik yang tidak bergaung? Dalam
tiga tahun terakhir ini beberapa maskapai tetap bangkrut, seperti Batavia
Air, Merpati Airline, Linus Air, Riau Airline, Sky Aviation, seperti tidak
ada pembinaan manajeman.
Padahal,
kita telah melangkah dalam dunia aviasi dengan adanya UU Penerbangan No
1/2009. Seharusnya regulator tidak hanya berwacana dalam tataran regulasi,
tetapi harus turun ke lapangan dengan memberikan advis ke maskapai
bermasalah.
Alasan
regulator tidak berwenang masuk terlalu jauh dalam manajeman maskapai memang
benar. Namun, bila maskapai banyak yang rontok, bukankah itu juga cermin
kegagalan regulator pemerintah dalam membuat sebuah iklim usaha yang kondusif
bagi semua maskapai.
Hal itu
karena kalau ada maskapai bangkrut, rute yang dilayani akan mendongkrak harga
tiket. Lagi-lagi pengguna jasa penerbangan dirugikan tanpa protes apa pun.
Catatan
penulis, ada 22 maskapai pemegang air
operator certificate (AOC), tetapi di lapangan hanya 10 maskapai yang
berjalan cukup teratur. Bagaimana dengan separuh maskapai berjadwal pemegang
AOC? Tentu ini adalah bagian tugas pembinaan dari regulator untuk membina
anggota maskapai berjadwal agar semua bisa hidup secara sehat dan layak
daripada hanya getol memberikan izin ke rute gemuk.
Namun,
ini tidak diikuti analisis market size
sehingga akhirnya beberapa maskapai juga terlempar dari panggung persaingan.
Jangan sampai beban harga tiket mahal akhirnya pelanggan juga yang
menanggung, jayalah aviasi Indonesia ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar