Minggu, 13 April 2014

Turbulensi Maskapai di Indonesia

Turbulensi Maskapai di Indonesia

Arista Atmadjati  ;   Dosen Aviasi Prodi S1 Pariwisata,
Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Setelah menikmati kue pertumbuhan kenaikan penumpang moda transportasi udara sejak kelahiran Lion Air tahun 2001, dua tahun terakhir, pertumbuhan maskapai mulai goyah. Kita simak beberapa tahun ke belakang.

Setiap awal tahun selalu ada maskapai yang tumbang. Batavia Air tumbang pada awal 2013. Maskapai pelat merah Merpati Airlines menutup operasi pada Februari 2014 karena cash flow-nya negatif dan tidak mampu membayar avtur.

Mulai Februari sampai April ini, beberapa maskapai kuat menutup rute-rute untuk sementara waktu, seperti Tiger Mandala, Air Asia Indonesia, dan Sriwijaya Air.  Alasannya memasuki low season dan permintaan pasar juga menurun. Untuk sementara, alasan itu dapat dipahami. Namun, kebenarannya akan diuji pada Mei nanti. Apakah beberapa maskapai tersebut akan membuka kembali rute yang ditutup sementara itu.

Perlu Strategi

Salah satu yang membuat maskapai rugi adalah biaya ekstra yang dikeluarkan karena faktor antrean take off dan landing di Bandara Soekarno-Hatta. Perhitungan kasar saja, bila rata-rata antre selama 20 menit untuk satu pesawat, maskapai rugi Rp 10 juta per flight. Belum lagi bila landing dengan memakai parkir di remote area akan memerlukan fasilitas tambahan beberapa bus untuk mengangkut penumpang menuju arrival gate.

Tentunya maskapai akan dikenakan charge untuk setiap bus. Ini beda bila mendapat parking di gate yang ada fasilitas garbaratanya. Itu karena biaya sudah entitle dalam satu paket biaya yang dianggarkan setiap tahun untuk pelayanan di otoritas bandara. Sementara itu, biaya bus di remote area susah diprediksi.

Mari menyimak sebuah studi kasus di salah satu maskapai yang melakukan terobosan. Akhir-akhir ini, banyak kolega yang telah menikmati jasa Citilink dari Bandara Halim Perdanakusuma. Menurut pandangan kolega, banyak perubahan pelayanan maskapai dalam ketepatan waktu yang terus membaik, baik saat take off maupun landing di Bandara Halim.

Penulis sudah menikmati penerbangan dari Bandara Halim pada Maret 2014 dengan Citilink QG102 ke Yogyakarta pada pukul 19.00 WIB. Kesan saya, Bandara Halim masih sangat manusiawi dari aspek kenyamanan bila dibandingkan Bandara Soerkarno-Hatta yang mirip terminal bus. Selain itu, tidak ada calo tiket dan calo taksi di Bandara Halim.

Bila perluasan terminal tiga Soekarno-Hatta selesai, apakah semakin nyaman? Nanti kita buktikan. Saat ini, tempat parkir di Bandara Halim sudah agak padat. Namun, tidak membuang waktu banyak untuk mencari lahan parkir.

Akan tetapi, hal itu belum merepresentasikan Bandara Halim yang nyaman karena baru Citilink yang masuk. Rencana sebelumnya, selain Citilink, juga masih ada sebagian penerbangan Air Asia dan Lion Air. Saat ini keduanya belum masuk. Bila tiga maskapai itu masuk Bandara Halim, baru dapat dilihat tingkat kenyamanan Bandara Halim, apakah teruji baik atau tidak?

Itu gambaran dari maskapai yang berusaha menghindari take off dan landing di Bandara Soerkarno-Hatta (BSH) sebagai strategi mengejar ketepatan waktu dan tentu ada usaha untuk mengurasi cost irregularities.

Inilah sebuah anomali bisnis penerbangan yang terjadi di Indonesia. Harusnya secara rasional semua industri penerbangan dan supporting bisnisnya menikmati kue manis revenue yang tinggi dari pertumbuhan traffic penumpang udara yang diperkirakan mencapai 100 juta pada 2015.

Namun, apa yang terjadi? Dalam dua tahun terakhir ini saja setiap awal tahun ada maskapai yang bangkrut. Pada 2013, pengadilan menyatakan maskapai Batavia Air pailit. Pada Februari 2014, giliran maskapai Merpati Airlines menghentikan operasi penerbangan atau boleh dibilang bangkrut karena cash flow juga negatif serta tidak membayar gaji karyawan dan pilot selama empat bulan.

Sangat mengherankan, angka pertumbuhan penumpang udara di Indonesia setiap tahun tidak pernah turun, namun beberapa maskapai sekarang malah tiap tahun bangkrut. Penulis juga mendengar pada April 2014 ini beberapa maskapai nasional juga mengalami kesulitan keuangan dan operasional.

Paling tidak, maskapai Sky Aviation dengan armada Sukhoinya menghentikan sementara rute. Beberapa maskapai LCC ternama di Indonesia banyak melakukan pull out menutup rute dari beberapa kota karena tidak tahan dengan persaingan. Mungkin juga terjadi penumpukan frekuensi yang berlebih sehingga terjadi over capacity saat low season ini. Selain itu, maskapai kuat bisa saja melakukan dump harga dengan cara predatory tarif di tarif batas bawah.

Dalam bahasa awam, semua seat kelas promo dibuka dan maskapai kuat bisa memainkan hal tersebut karena menang frekuensi yang banyak sehingga lebih leluasa memainkan price predatory. Jadi, maskapai dengan armada tanggung tidak tahan dengan harga persaingan model gaya liberal ini.

Semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Lalu kalau semua sudah pull out, ini berbahaya bagi pasar di Indonesia yang masih baru menikmati jasa transpotasi udara dengan harga yang affordable ini. Itu karena akhirnya, sebuah rute gemuk hanya dikuasai dua atau tiga maskapai. Maskapai tersebut akan bisa memainkan harga seenaknya. Pihak yang akan menjadi korban adalah penumpang. Ini sudah terjadi pada penerbangan di intra-Papua. Harga tiket saat ini, dengan tidak beroperasinya Merpati yang merupakan raja di Papua, menjadi sangat mahal.

Konsumen lagi lagi menjadi korban di Papua karena beberapa bandara panjang dan kekuatan landasan tidak semua acceptable dengan armada Boeing terbaru. Sebelumnya, pesawat turbo propeller MA 60 Merpati sangat pas dengan spesifikasi bandara di Papua dan Kepulauan Ambon.

Namun yang dipertanyakan, bagaimana peran regulator Kemenhub dalam mengatur harmonisasi rute dan pembinaan maskapai domestik yang tidak bergaung? Dalam tiga tahun terakhir ini beberapa maskapai tetap bangkrut, seperti Batavia Air, Merpati Airline, Linus Air, Riau Airline, Sky Aviation, seperti tidak ada pembinaan manajeman.

Padahal, kita telah melangkah dalam dunia aviasi dengan adanya UU Penerbangan No 1/2009. Seharusnya regulator tidak hanya berwacana dalam tataran regulasi, tetapi harus turun ke lapangan dengan memberikan advis ke maskapai bermasalah.

Alasan regulator tidak berwenang masuk terlalu jauh dalam manajeman maskapai memang benar. Namun, bila maskapai banyak yang rontok, bukankah itu juga cermin kegagalan regulator pemerintah dalam membuat sebuah iklim usaha yang kondusif bagi semua maskapai.

Hal itu karena kalau ada maskapai bangkrut, rute yang dilayani akan mendongkrak harga tiket. Lagi-lagi pengguna jasa penerbangan dirugikan tanpa protes apa pun.

Catatan penulis, ada 22 maskapai pemegang air operator certificate (AOC), tetapi di lapangan hanya 10 maskapai yang berjalan cukup teratur. Bagaimana dengan separuh maskapai berjadwal pemegang AOC? Tentu ini adalah bagian tugas pembinaan dari regulator untuk membina anggota maskapai berjadwal agar semua bisa hidup secara sehat dan layak daripada hanya getol memberikan izin ke rute gemuk.

Namun, ini tidak diikuti analisis market size sehingga akhirnya beberapa maskapai juga terlempar dari panggung persaingan. Jangan sampai beban harga tiket mahal akhirnya pelanggan juga yang menanggung, jayalah aviasi Indonesia ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar