Minggu, 13 April 2014

Penguatan Fondasi Perencanaan UN

Penguatan Fondasi Perencanaan UN

Joko Sulistiyono  ;   Guru SMA 6 Semarang, Mahasiswa Penerima Beasiswa S-2 Kepengawasan P2TK Dikmen Kemdikbud Magister Manajemen Pendidikan PPs Unnes
SUARA MERDEKA, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
MULAI Senin, 14 April lusa, siswa SMA/sederajat mengawali ujian nasional (UN), dilanjutkan mulai Senin, 5 Mei mendatang ujian untuk jenjang SMP/sederajat. Pelaksanaan ujian itu selalu menyita perhatian besar dari banyak pihak, termasuk orang tua siswa.

Hal itu tak terlepas dari kontroversi pelaksanaannya yang sampai sekarang masih menyisakan berbagai macam persoalan. Selalu menarik mencermati fenomena itu, terlebih berita tentang ujian tersebut selalu menjadi trending topic media cetak.

Ujian nasional itu menjadi salah satu upaya meningkatan kualitas SDM dan berkait erat dengan uji kemampuan seseorang yang terstandardisasi secara nasional. Solusi bijak perbaikan dan penyempurnaannya akan lebih berarti daripada membicarakan sisi buruknya.
Perlunya penguatan fondasi terhadap ujian itu dapat mengawal standardisasi mutu pendidikan di Indonesia supaya tidak semakin tertinggal dari negara lain. Menjadikan ujian nasional yang sehat, dimulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi akan lebih berarti untuk mengobati luka yang pernah terjadi pada ujian tersebut.

Kekisruhan dalam pelaksanaan UN 2012/2013 memberikan bukti masih lemahnya aspek perencanaan. Kejadian ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk segera bangkit memperbaiki aspek perencanaan. Sederet kegagalan, dari ketersediaan kertas soal, kesalahan distribusi, tertukarnya jenis soal, kualitas kertas yang buruk, hingga penundaan ujian di 11 provinsi luar Jawa menjadikan kredibilitas ujian itu dipertanyakan sejumlah pihak.

Perlu manajemen perencanaan yang lebih baik agar identifikasi kebutuhan dan perumusan tujuan penyelenggaraannya dapat dikelola sesuai prosedur. Pada aspek pelaksanaan, sebagian peserta didik masih menganggap ujian itu sebagai momok menakutkan, seolah-olah menyiratkan mereka wajib lulus, dan haram hukumnya bila tidak lulus.

Kondisi ini menyebabkan sebagian siswa mengalami depresi menjelang atau saat ujian, dan beberapa lagi frustrasi karena gagal ujian. Persepsi semacam itu menimbulkan kekhawatiran menghilangkan konsentrasi belajar yang selama ini tertanam baik.

Persiapan yang selama ini dilakukan guru dalam menempa anak didik dengan mental dan karakter kuat menjadi tidak berarti, manakala yang terjadi adalah belum siapnya peserta didik menghadapi evaluasi dalam bentuk lembaran kertas bernama ujian nasional. Tekanan besar psikologis itilah yang rupanya belum maksimal diperhitungkan oleh pemerintah. Keberhasilan mencapai nilai-nilai tinggi justru dianggap lebih penting ketimbang menjadikan peserta didik paham apa yang dipelajari.

Penekanan berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar menjadikan ujian nasional masih menjadi bentuk evaluasi menakutkan. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui bentuk evaluasi bernama ujian nasional. Di satu sisi, ujian itu seperti menjadi hakim penentu masa depan peserta didik tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka di sekolah.

Reputasi Sekolah

Terlebih lagi, hasil ujian berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah di mata masyarakat. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan maka segala cara untuk mendapatkannya akan ditempuh oleh peserta didik, guru, dan sekolah tanpa memandang cara tersebut lazim atau tidak, beretika atau sebaliknya.

Menjadi tugas pemerintah menyiapkan ujian itu sebagai bentuk evaluasi yang menyenangkan, mengedepankan aspek kejujuran, dan jauh dari nilainilai menakutkan.

Apa pun yang terjadi, sebagaimana amanat UU tentang Sisdiknas, seyogianya pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional. Kemanfaatannya bukan dijadikan indikator mutlak kelulusan, melainkan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah masing-masing untuk menentukan standar kriteria kelulusannya.

Untuk kepentingan pemantauan mutu, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas penyelenggaraan ujian. Dari hasil ujian itu, pemerintah dapat mengambil langkah perbaikan dan peningkatan aspek penting guna mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional.

Pendidikan Indonesia yang hebat bisa tercapai manakala ujian nasional dipakai untuk memetakan, menyeleksi, dan membina peserta didik. Ujian diarahkan pada substansi tujuan, bukan semata-mata indikator menilai peserta didik ataupun sekolah. Potret itulah pekerjaan rumah pemangku kebijakan untuk menjadikan ujian nasional sebagai evaluasi yang sehat , jauh dari nilai-nilai kontroversi.

Jangan sampai kehebatan ujian yang selama ini digadang-gadang sebagai bentuk evaluasi ideal ternyata tak mampu memberikan jawaban atas fakta di lapangan.

Problematika pelaksanaan ujian tidak akan terjadi bila pemerintah bisa memberikan garansi berupa sistem pendidikan yang ramah terhadap peserta didik dan memberikan kenyamanan dalam mengembangkan potensinya menjadi generasi yang kuat secara intelektual, emosional ataupun spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar