Penguatan
Fondasi Perencanaan UN
Joko Sulistiyono ; Guru SMA 6 Semarang,
Mahasiswa Penerima Beasiswa S-2 Kepengawasan P2TK Dikmen Kemdikbud Magister
Manajemen Pendidikan PPs Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 12 April 2014
MULAI
Senin, 14 April lusa, siswa SMA/sederajat mengawali ujian nasional (UN),
dilanjutkan mulai Senin, 5 Mei mendatang ujian untuk jenjang SMP/sederajat.
Pelaksanaan ujian itu selalu menyita perhatian besar dari banyak pihak,
termasuk orang tua siswa.
Hal itu
tak terlepas dari kontroversi pelaksanaannya yang sampai sekarang masih
menyisakan berbagai macam persoalan. Selalu menarik mencermati fenomena itu,
terlebih berita tentang ujian tersebut selalu menjadi trending topic media
cetak.
Ujian
nasional itu menjadi salah satu upaya meningkatan kualitas SDM dan berkait
erat dengan uji kemampuan seseorang yang terstandardisasi secara nasional.
Solusi bijak perbaikan dan penyempurnaannya akan lebih berarti daripada
membicarakan sisi buruknya.
Perlunya
penguatan fondasi terhadap ujian itu dapat mengawal standardisasi mutu
pendidikan di Indonesia supaya tidak semakin tertinggal dari negara lain.
Menjadikan ujian nasional yang sehat, dimulai dari aspek perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi akan lebih berarti untuk mengobati luka yang pernah
terjadi pada ujian tersebut.
Kekisruhan
dalam pelaksanaan UN 2012/2013 memberikan bukti masih lemahnya aspek
perencanaan. Kejadian ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk
segera bangkit memperbaiki aspek perencanaan. Sederet kegagalan, dari
ketersediaan kertas soal, kesalahan distribusi, tertukarnya jenis soal,
kualitas kertas yang buruk, hingga penundaan ujian di 11 provinsi luar Jawa
menjadikan kredibilitas ujian itu dipertanyakan sejumlah pihak.
Perlu
manajemen perencanaan yang lebih baik agar identifikasi kebutuhan dan
perumusan tujuan penyelenggaraannya dapat dikelola sesuai prosedur. Pada
aspek pelaksanaan, sebagian peserta didik masih menganggap ujian itu sebagai
momok menakutkan, seolah-olah menyiratkan mereka wajib lulus, dan haram
hukumnya bila tidak lulus.
Kondisi
ini menyebabkan sebagian siswa mengalami depresi menjelang atau saat ujian,
dan beberapa lagi frustrasi karena gagal ujian. Persepsi semacam itu
menimbulkan kekhawatiran menghilangkan konsentrasi belajar yang selama ini
tertanam baik.
Persiapan
yang selama ini dilakukan guru dalam menempa anak didik dengan mental dan
karakter kuat menjadi tidak berarti, manakala yang terjadi adalah belum
siapnya peserta didik menghadapi evaluasi dalam bentuk lembaran kertas
bernama ujian nasional. Tekanan besar psikologis itilah yang rupanya belum
maksimal diperhitungkan oleh pemerintah. Keberhasilan mencapai nilai-nilai
tinggi justru dianggap lebih penting ketimbang menjadikan peserta didik paham
apa yang dipelajari.
Penekanan
berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar menjadikan ujian nasional
masih menjadi bentuk evaluasi menakutkan. Pemerintah sendirilah sebenarnya
yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui bentuk evaluasi bernama
ujian nasional. Di satu sisi, ujian itu seperti menjadi hakim penentu masa
depan peserta didik tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka di sekolah.
Reputasi Sekolah
Terlebih
lagi, hasil ujian berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah di mata
masyarakat. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan maka segala cara
untuk mendapatkannya akan ditempuh oleh peserta didik, guru, dan sekolah
tanpa memandang cara tersebut lazim atau tidak, beretika atau sebaliknya.
Menjadi tugas
pemerintah menyiapkan ujian itu sebagai bentuk evaluasi yang menyenangkan,
mengedepankan aspek kejujuran, dan jauh dari nilainilai menakutkan.
Apa pun
yang terjadi, sebagaimana amanat UU tentang Sisdiknas, seyogianya pemerintah
tetap menyelenggarakan ujian nasional sebagai salah satu instrumen evaluasi
secara nasional. Kemanfaatannya bukan dijadikan indikator mutlak kelulusan,
melainkan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada
daerah masing-masing untuk menentukan standar kriteria kelulusannya.
Untuk
kepentingan pemantauan mutu, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai
pemantau dan pengawas penyelenggaraan ujian. Dari hasil ujian itu, pemerintah
dapat mengambil langkah perbaikan dan peningkatan aspek penting guna mendukung
agenda peningkatan mutu pendidikan nasional.
Pendidikan
Indonesia yang hebat bisa tercapai manakala ujian nasional dipakai untuk
memetakan, menyeleksi, dan membina peserta didik. Ujian diarahkan pada
substansi tujuan, bukan semata-mata indikator menilai peserta didik ataupun
sekolah. Potret itulah pekerjaan rumah pemangku kebijakan untuk menjadikan
ujian nasional sebagai evaluasi yang sehat , jauh dari nilai-nilai
kontroversi.
Jangan
sampai kehebatan ujian yang selama ini digadang-gadang sebagai bentuk
evaluasi ideal ternyata tak mampu memberikan jawaban atas fakta di lapangan.
Problematika
pelaksanaan ujian tidak akan terjadi bila pemerintah bisa memberikan garansi
berupa sistem pendidikan yang ramah terhadap peserta didik dan memberikan
kenyamanan dalam mengembangkan potensinya menjadi generasi yang kuat secara
intelektual, emosional ataupun spiritual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar