Koalisi
Melawan Kekerasan
Sumiati Anastasia ; Pernah
menjadi Koordinator Koalisi Pembebasan Perempuan Regio Kalimantan (2006-2011)
|
JAWA
POS, 21 April 2014
Hingga
peringatan Hari Kartini, 21 April 2014, fenomena kekerasan masih sulit
dicarikan solusinya saking rumit dan kompleksnya permasalahan. Padahal, di
mana-mana kekerasan tampak marak.Kekerasan terhadap perempuan memang menjadi
fenomena global.
Maka,
momentum Hari Kartini ini, dalam semangat emansipasi bahwa pria dan perempuan
sederajat atau setara, mari kita membangun koalisi untuk melawan setiap
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Salah
satu bentuk kekerasan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan
korban utama adalah perempuan. Silakan simak berita di koran, nyaris tiada
hari tanpa kekerasan terhadap perempuan. Entah berita penyiksaan oleh suami.
Entah itu TKW yang disiksa, diperkosa atau dibunuh oleh majikannya, dan
sebagainya. Misalnya, di Arab Saudi. Menurut Migrant Care, terdapat 18.000 TKW menjadi korban kekerasan
majikan mereka.
Lalu,
dari beragam kasus kriminalitas, entah perampasan motor atau dompet,
mayoritas korban adalah perempuan. Kita tentu masih ingat Lisa, yang wajah
cantiknya pernah disiram air keras oleh suami sendiri. Syukurlah, setelah
operasi "perbaikan" wajahnya lewat face-off, kini Lisa menjadi motivator untuk menguatkan para
perempuan yang menjadi korban KDRT. Dan masih banyak kasus kekerasan yang
lain.
Kekerasan
juga bukan hanya bersifat fisik seperti digambarkan di atas. Kekerasan dengan
kata-kata juga sering menyakiti hati atau jiwa kaum hawa. Pelecehan seksual
dan martabat lewat kata-kata jelas tidak bisa dipandang sepele. Dan yang
memprihatinkan, perempuan selalu menjadi objek kekerasan. Setiap hari ada
puluhan, ribuan, bahkan jutaan perempuan terus dikorbankan di atas altar
kekerasan.
Meski
tidak semua laki-laki adalah pelaku kekerasan terhadap perempuan, di dalam
sebuah dunia yang masih didominasi laki-laki (patriarki), perempuan memang
cenderung rentan menjadi korban. Mulai ruang publik hingga ruang domestik,
rupanya tidak ada yang steril dari kekerasan terhadap perempuan. Pelaku
kekerasan itu bisa beragam profesi. Tapi, tetap saja kebanyakan korban adalah
perempuan. Barangkali struktur patriarki itulah yang memang menjadi akar dari
kekerasan terhadap perempuan.
Tentu
menyedihkan setiap kita merenungkan mengapa pria yang dilahirkan dari rahim
ibunya justru tega bertindak sewenang-wenang lewat kekerasan terhadap kaum
ibu. Dalam dunia pewayangan, kita tahu bahwa Rahwana yang memiliki wajah
banyak atau biasa disebut Dasamuka tidak ingat dirinya pernah lahir di dunia
dari rahim Dewi Sukesi ketika dia menculik Dewi Sinta dari genggaman Rama.
Itu boleh jadi ada kemiripan dengan perilaku bapak yang tega memerkosa putri
kandung atau anak perempuan tirinya.
Namun,
tulisan ini tidak bermaksud mengusung spirit antilaki-laki. Beberapa aliran
feminisme radikal suka mengusung spirit antilaki-laki untuk melawan setiap
bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan. Namun, sebuah kebencian yang
dibalas dengan kebencian, kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, hanya akan
memerangkap kita ke dalam lingkaran setan kekerasan yang baru. Lingkaran
setan kekerasan tersebut masih menjebak perempuan di seantero negeri ini.
Apalagi,
kita kaum perempuan juga harus memberikan apresiasi kepada setiap lelaki yang
justru bisa dijadikan mitra strategis bagi setiap perempuan untuk melawan
setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bukankah sesuai dengan tema yang
disebutkan di atas, kita juga perlu mengajak sinergi berbagai kalangan,
termasuk kaum laki-laki, untuk melawan kekerasan terhadap perempuan?
Kekerasan
tetap harus dihadapi setiap perempuan dengan cara yang tidak menghalalkan
kekerasan. Perempuan harus punya keberanian untuk melawan si pembuat
kekerasan, terlebih laki-laki, dengan cara-cara yang lebih bijak dan beradab.
Secara mental, perempuan harus berani berkata tidak sejak awal mana kala ada
gelagat yang menuju ke kekerasan.
Namun,
ketika sudah dalam situasi yang amat sulit dan terjepit, secara moral
perempuan bisa memilih segala jalan untuk melawan atau menghindari kekerasan.
Itu memang tidak mudah. Namun, dalam cukup banyak kasus, ternyata ada
perempuan yang bisa mengalahkan laki-laki. Bahkan, seorang nenek pernah
diberitakan media mampu mengalahkan perampok yang kebetulan laki-laki.
Tapi,
tujuan setiap perempuan melawan kekerasan terhadap dirinya bukanlah dengan
motif untuk mengalahkan laki-laki. Perempuan dan laki-laki, dalam ajaran
agama apa pun, sudah lama diminta untuk melakukan sinergi atau kerja sama,
bukan untuk saling mengalahkan. Itulah sebenarnya yang dimaksudkan dengan
ajaran dalam Alquran, Injil, atau Taurat bahwa Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam.
Sayangnya,
laki-laki justru kerap menyalahgunakan ajaran tersebut untuk semakin
menunjukkan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Konyolnya, cukup banyak perempuan yang justru bisa dibodohi oleh tafsir
teologis yang keliru atas ajaran tersebut sehingga rela saja dipukul,
digebuki, atau dilecehkan atas nama ketaatan atau kepatuhan seorang istri
kepada suami. Padahal, undang-undang atau regulasi hukum positif di berbagai
negara, termasuk di negeri kita, sudah mewanti-wanti bahwa pelaku kekerasan
terhadap perempuan, termasuk KDRT yang dilakukan para suami, bisa dihukum.
Sayang, dalam realita, masih banyak korban KDRT memilih diam karena tidak
ingin mempermalukan pasangannya jika melapor ke polisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar