Menyelamatkan
Demokrasi
Yonky Karman ; Pengajar
di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
21 April 2014
DEMOKRASI bukan tujuan pada dirinya sendiri, hanya
sebuah cara rakyat untuk hidup adil sejahtera dengan jalan bernegara. Karena
itu, demokrasi tidak hanya oleh rakyat, tetapi juga untuk (kebaikan) rakyat.
Ukuran
sukses demokrasi bukan massa demokrasi berada di bilik suara selama dua
menit, melainkan kualitas elite demokrasi yang berperan sebagai wakil rakyat.
Elite memiliki kewajiban moral mengartikulasikan nilai-nilai demokrasi dengan
cerdas dan beradab. Dalam trias politika, tiada demokrasi tanpa legislatif.
Namun,
demokrasi rawan disusupi penumpang gelap. Selepas dari belenggu
otoritarianisme rezim Soeharto, rakyat sempat mengalami euforia demokrasi.
Partisipasi warga dalam Pemilu Legislatif 2004 sempat mencapai 84 persen,
tetapi pada 2009 menjadi 70 persen. Akankah Pemilu Legislatif 2014 mengikuti
kecenderungan menurun itu? Ada alasan ketidakpercayaan terhadap DPR dan
partai politik yang ada.
Barometer Korupsi Global 2013 yang
dirilis Transparency International
Indonesia (0 untuk sama sekali tak korup, 5 untuk korupsi akut dan
endemik) memperlihatkan skor tertinggi 4,5 justru diraih DPR dan 4,3 untuk
partai politik. Dengan skor yang kurang lebih sama tinggi dari kedua
institusi publik itu, pusaran korupsi beralih dari pendulum eksekutif ke
legislatif dan (koalisi) partai penguasa.
Wakil (kesejahteraan) rakyat
Korupsi politik
bukan soal individu. Celah-celah hukum sengaja dibuat dan dipertahankan untuk
lolos dari jerat hukum. Korupsi sudah terstruktur dalam persekongkolan
oligarki. Partai bisa berkilah bahwa tidak ada instruksi untuk mengisi
pundi-pundi partai dari hasil korupsi. Namun, partai menutup mata terkait
asal-usul kontribusi kader dalam melancarkan kerja mesin partai. Partai
menutup mata dengan gaya hidup kader yang berubah dan akrab dengan
simbol-simbol kemewahan.
Anggota
DPR menyandang sebutan sebagai wakil rakyat. Sosok yang mewakili aspirasi
rakyat dalam mempertahankan kemandirian rakyat di dalam negeri. Sosok yang
memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Dengan segala
fasilitas negara yang diterimanya, sosok yang seharusnya mewakafkan hidupnya
bagi rakyat. Sosok yang siap pasang badan membela rakyat berhadapan dengan
tirani dalam bentuk apa pun.
Nyatanya,
pendapatan bersih seorang anggota DPR periode 2009-2014 sebesar Rp 46.100.000
per bulan. Dalam perbandingan dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per
kapita, nyatanya besaran pendapatan elite demokrasi di Indonesia 19 kali (The Economist, 20-26 Juli 2013). Gaji
seorang legislator di Nigeria 189.500 dollar AS per tahun, 116 kali PDB per
kapita dan menjadikannya tertinggi di dunia. Legislator di Inggris hanya
menerima gaji 2,7 kali PDB per kapita. Dengan gaji legislator di Indonesia
65.800 dollar AS per tahun, posisi Indonesia nomor empat di dunia, bahkan
tertinggi di Asia Tenggara.
Lembaga
legislatif tidak bisa menyejahterakan diri sendiri karena kas negara dipegang
eksekutif. Karena kini legislatif terlalu berkuasa, eksekutif pun memanjakan
legislatif. Keduanya saling melayani kebutuhan masing-masing. Aroma busuk
korupsi politik tertangkap oleh skor integritas. Komisi Pemberantasan Korupsi
memiliki kewenangan luar biasa untuk menjerat koruptor. Namun, tidak mudah
membongkar korupsi di dalam rumah demokrasi. Tambahan lagi, karakter
masyarakat kita permisif dengan anomali kemewahan wakil rakyat.
Legislator minus legislasi
Persoalan
serius lain dengan DPR kita adalah rendahnya kinerja legislasi, dilihat dari
target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang mereka susun sendiri.
Untuk tahun 2010, hanya delapan undang-undang (UU) berhasil disahkan dari
target 70 rancangan undang-undang (RUU), sedangkan 10 UU lain berasal dari
RUU kumulatif terbuka (sewaktu-waktu bisa dibahas, tak termasuk Prolegnas).
Tahun 2011 hanya 18 UU disahkan dari target 91 RUU (empat UU lain dari RUU
kumulatif). Tahun 2012 hanya 10 UU disahkan dari target 69 RUU (20 UU lain
dari RUU kumulatif). Tahun 2013 hanya tujuh UU disahkan dari target 75 RUU
(sembilan UU lain dari RUU kumulatif).
Anggota
legislatif adalah pembuat undang-undang (lawmaker). Legislator menyusun RUU
atau membahas RUU dari pemerintah untuk diterima atau ditolak. Memang sulit
dibayangkan sosok yang tidak biasa berpikir secara konseptual tiba-tiba dapat
menunaikan fungsi legislasi dan budgeter, meski tersedia staf ahli. Namun,
mereka tidak bisa dipersalahkan. Itulah pilihan kita lima tahun yang lalu.
Sekarang
90 persen dari mereka mencalonkan diri kembali untuk dipilih. Mereka dan
partai pendukung optimistis dengan kans terpilih, berdasarkan karakter massa
pemilih yang tidak kritis, cenderung memilih yang sudah dikenal. Bukan hanya
elite kita mempraktikkan demokrasi tanpa evaluasi, masyarakat juga.
Memanfaatkan
keawaman politik itu, para ketua umum atau calon presiden jauh lebih rajin
berkampanye untuk menaikkan elektabilitas partai dan diri mereka sendiri.
Pesannya adalah siapa pun calegnya, pilihlah partainya. Maka, masa kampanye
pra-pemilu legislatif tidak memperlihatkan kualitas caleg. Tidak sedikit
caleg kurang percaya diri dan dengan alat peraga yang mendompleng popularitas
ketua umum ataupun capres. Dapat dipahami apatisme mereka yang memilih untuk
tidak memilih (golput). Tiada jaminan caleg baru dengan janji-janji
politiknya.
Kendati
demikian, demokrasi selalu memberi harapan. Selalu ada sosok wakil rakyat
yang bermental baja, yang tak hanyut dalam sistem yang korup, yang siap
menanggung risiko terburuk disingkirkan oleh partainya. Selalu ada caleg
berkualitas dan layak pilih. Pemilu legislatif adalah upaya melipatgandakan
sosok demikian agar skor integritas DPR membaik. Pemilu adalah cara
mengoreksi penyimpangan demokrasi agar kemudi demokrasi jatuh ke tangan wakil
rakyat yang jelas kompetensi dan integritasnya, yang lebih setia kepada
negara daripada kepada partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar