Etika
Politik Konvensi Partai Demokrat
Kardono Setyorakhmadi ; Alumnus
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
|
JAWA
POS, 21 April 2014
SETELAH
perhelatan pemilu legislatif, fokus perhatian politik nasional menjadi
banyak. Selain isu permainan surat suara, koalisi, dan siapa saja yang
menjadi capres, ada satu fokus perhatian politik yang begitu menggelitik.
Yakni, bagaimana nasib konvensi calon presiden Partai Demokrat. Kendati
petinggi Demokrat sudah menjelaskan tetap meneruskan konvensi, masih banyak
pertanyaan yang menggantung.
Dengan
perolehan suara di bawah 10 persen, jelas Partai Demokrat harus berkoalisi
dalam pilpres mendatang. Tapi, di sisi lain, bila konvensi tidak segera
dipercepat, itu tentu menjadi bumerang buat Partai Demokrat sendiri. Sebelas
peserta konvensi adalah orang-orang terpilih, yang kemampuannya di atas
rata-rata kemampuan masyarakat Indonesia. Ada Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang
dikenal dengan sentuhan Midas-nya; ada Dino Pati Djalal, yang kemampuan
diplomatiknya tidak usah diragukan lagi; Anies Baswedan, yang muda dan
cerdas; serta sederet nama dengan prestasi hebat masing-masing.
Menggantung
konvensi sedemikian lama sama dengan menjadikan sebelas orang hebat tersebut
seperti Gareng-garengan (Gareng =
nama punakawan) di panggung politik. Apalagi pemenang konvensi itu tidak di-endorse Partai Demokrat sedemikian
rupa menjadi calon presiden, akan sungguh tidak etis.
Ketika
merencanakan dan menggelar konvensi pada 2013, tujuan Partai Demokrat jelas.
Elektabilitas the ruling party
tersebut tengah terjun bebas. Simpati orang terhadap Demokrat terus merosot.
Konvensi itu diadakan untuk mendongkrak pamor partai berlambang mercy
tersebut.
Penyebab
melorotnya perolehan suara Partai Demokrat -ini banyak orang mafhum- adalah
banyaknya kader partai yang terkena kasus korupsi. Dua orang di antara
triumvirat partai tersebut, yakni Anas Urbaningrum (ketua umum DPP) dan M.
Nazarudin (bendahara DPP), terlibat kasus korupsi. Sejumlah kadernya,
misalnya Angelina Sondakh, juga ditahan. Angie dan juga Anas termasuk tokoh
dalam iklan antikorupsi Demokrat hanya menambah ironi dan membuat masyarakat
makin mencibir Demokrat.
Terlepas
dari hal apa pun, Demokrat merasa harus melakukan sesuatu untuk menaikkan
citranya itu. Konvensi capres Partai Demokrat itulah yang seharusnya bisa
menjadi salah satu strategi penting. Hanya, pelaksanaan konvensi mengalami
banyak aral, geregetnya kurang terasa.
Tapi,
menyebut bahwa konvensi capres Demokrat gagal dalam tujuannya, yaitu
meningkatkan elektabilitas, jelas sebuah pendapat yang terburu-buru. Sebab,
memang tidak ada parameter yang jelas. Kalau konvensi dianggap tidak
berhasil, buktinya apa? Apakah hanya karena dapat sembilan persen? Kalau itu
alasannya, bisa dibalik seperti ini. Jangan-jangan, bila tanpa konvensi,
Partai Demokrat lebih terpuruk dan hanya mengantongi lima persen suara.
Sebuah angka yang sebelumnya banyak dipindai oleh sejumlah lembaga survei
untuk Demokrat.
Hanya,
yang lebih terpenting adalah setiap konvensi politik tentu ada etikanya.
Apalagi, konvensi merupakan sebuah skema politik yang serius. Bukan Gareng-garengan. Bagaimana juga, para
peserta konvensi adalah figur-figur terkemuka di negeri ini. Mereka sudah
berkeringat, mengeluarkan energi, dan finansial yang tidak kecil. Dengan
sukarela, mereka ikut bertarung demi menaikkan pamor Partai Demokrat.
Pada
tiap apa pun, termasuk perhelatan penting seperti konvensi, ada awal dan
akhir. Akhir dari konvensi yang baik adalah diumumkannya pemenang berikut
pertanggungjawaban parameternya. Dalam kondisi politik Indonesia sekarang,
Partai Demokrat harus bergegas.
Sayangnya,
perkembangan terakhir justru menunjukkan kebalikannya. Konvensi Partai
Demokrat menjadi tidak terdengar. Penyebabnya, itu bukan masalah relevan atau
tidak, tetapi soal etik politik. Ini adalah masalah brand sebuah partai yang
sedang berkuasa dan marwah orang-orang yang terlibat dalam konvensi.
Kalau konvensi dihentikan begitu saja atau pemenangnya tidak
mendapatkan reward yang layak dari
partai, Partai Demokrat yang tengah melorot suaranya itu akan makin dicibir
masyarakat. Tapi, yang paling tidak etis adalah figur-figur publik menjadi
semacam "mainan" pendongkrak suara dari Demokrat. Dipakai jika
perlu, dibuang jika tidak diperlukan lagi. Hal itu -dari sudut pandang apa
pun- sudah tidak patut terjadi pada partai yang fatsun politiknya selalu
mengedepankan rasa santun tersebut.
Dengan
demikian, Demokrat harus segera mempercepat penyelesaian konvensi dan
memperjuangkan pemenangnya secara patut. Soal apakah tokoh yang menang
konvensi akan bisa benar-benar menjadi capres adalah masalah selanjutnya.
Paling
tidak, dengan meneruskan dan mempercepat konvensi, Partai Demokrat bisa
memperlihatkan bahwa partai ini amanah, berusaha tetap tegak, dan punya
integritas di tengah penurunan suaranya. Sebuah sikap yang akan menunjukkan
bahwa partai ini mempunyai etika politik yang tinggi. Itu merupakan modal
penting. Sebab, pada masa berikutnya, rakyat tentu akan memilih partai yang
amanah dan mempunyai etika politik yang terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar