Transformasi
Kehidupan
I Suharyo ; Uskup Keuskupan Agung Jakarta
|
KOMPAS,
19 April 2014
PADA
tahun ini umat Kristiani di Indonesia merayakan Paskah ketika bangsa
Indonesia menjalani tahun politik. Kita semua berharap bahwa dengan
terpilihnya para wakil rakyat yang baru dan pemimpin pemerintahan yang baru,
bangsa Indonesia mampu masuk ke dalam dinamika baru transformasi kehidupan
religius, sosial, budaya, politik, dan ekonomi menuju terwujudnya cita-cita
bersama sebagai bangsa.
Pesan
Paskah adalah pesan pembaruan, transformasi seluruh segi kehidupan manusia.
Demi transformasi itulah Yesus akhirnya dihukum mati. Pada zamannya ada
ribuan orang yang dijatuhi hukuman mati di salib karena dituduh melawan
pemerintahan penjajah.
Apakah
itu berarti bahwa Yesus pun dituduh merencanakan pemberontakan melawan
penjajah? Ada alasan yang bisa membuat orang berpikir seperti itu. Salah
seorang muridnya yang bernama Simon disebut orang Zelot. Kaum Zelot dikenal
sebagai kelompok yang, dengan alasan politik-keagamaan, terus melakukan
perlawanan bersenjata untuk mengusir penjajah. Akan tetapi, rupanya bukanlah
alasan ini yang membawa Yesus pada kematian.
Dalam
pengadilan, Pilatus yang mewakili pemerintah penjajah menyatakan, seperti
yang tersua dalam Injil Lukas, ”Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada
orang ini.”
Kemerdekaan yang sejati
Sebagai
bagian dari bangsanya yang sedang dijajah, Yesus mendambakan kemerdekaan yang
sejati, yang jauh lebih utuh daripada kemerdekaan dari penjajahan. Kerinduan
akan kemerdekaan itu diungkapkan dalam berbagai madah, sebagaimana yang dapat
kita baca dalam Injil Lukas : kelepasan, pembebasan, keselamatan dari musuh
dan orang yang membenci agar bebas dari tangan musuh dan dapat beribadah
tanpa takut.
Untuk
sampai pada kemerdekaan yang sejati itu, Ia mengajak masyarakatnya melihat
dan membaca tanda-tanda zaman. Tanda-tanda zaman jelas menunjukkan bahwa
bangsanya sedang menuju kehancuran: bait Allah akan dihancurkan, kota suci
akan runtuh.
Dalam
kegalauan melihat masa depan itu, Yesus berkata, ”Wahai, betapa baiknya jika
pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu.”
Alasan
dasar yang membuat sejarah bangsanya menuju kehancuran adalah karena
kelompok-kelompok di dalam bangsanya menganut dan memaksakan agama yang tanpa
belas kasih. Keyakinan keagamaan seperti itu menindas dan berdampak buruk
pada seluruh segi kehidupan, sosial, politik, dan ekonomi.
Kelompok
Zelot, karena merasa harus menjaga hukum Allah, sampai hati membunuh
saudara-saudara sebangsanya yang mereka anggap tidak setia pada hukum. Mereka
ingin mengikuti contoh Pinehas, seperti yang terungkap dalam Kitab Bilangan,
yang setelah membunuh saudara sebangsanya dipuji karena semangat
keagamaannya. Rasa benci kelompok Esseni terhadap orang yang bukan dari
kelompoknya juga didorong rasa keagamaan.
Demikian
juga kelompok Farisi menyebut saudara-saudara sebangsa terkutuk, sebagaimana
yang tercatat dalam Injil Yohanes, karena fanatisme keagamaan. Dengan
kata-kata dan tindakan-tindakannya, Yesus mempertanyakan serta
menjungkirbalikkan pendapat dan pelaksanaan hidup beragama umum yang dianggap
benar dan adil itu. Ia menyatakan bahwa agama seperti itu tidak menyatakan
belas kasih Allah dan, oleh karena itu, bertentangan dengan hakikat agama itu
sendiri. Itulah sebabnya Yesus sering bertengkar dengan para pemimpin agama
pada waktu itu.
Dengan
kata lain, alasan awal yang membawa Yesus pada kematian adalah kritiknya
terhadap agama yang sudah menjadi beku tanpa belas kasih. Yesus ingin
mentransformasi kehidupan dengan mencairkan kembali agama yang beku itu
dengan mengembalikan belas kasih yang menjadi hakikatnya karena Allah adalah
Kasih. Demi dan dalam kasih itulah ia rela mati di salib dan, dengan
demikian, menyatakan Allah Sang Kasih.
Agama yang diperalat
Selama
hidupnya di depan umum Yesus sering bertengkar dengan orang-orang Farisi dan
para ahli Kitab. Namun, ternyata pada akhirnya yang paling depan menuntut
kematiannya adalah para imam. Mewakili mereka, Kayafas mengatakan bahwa lebih
berguna satu orang mati untuk seluruh bangsa. Mereka adalah kelompok
keagamaan yang mempunyai tanggung jawab khusus di bait suci. Rupanya tugas
suci itu pun dijadikan kesempatan mengeruk untung dengan monopoli dagang
hewan korban dan penukaran uang di bait suci. Lagi-lagi agama yang suci
direndahkan dan disalahgunakan menjadi alat dagang dengan memanipulasi
kebaktian dan kesalehan orang.
Berhadapan
dengan ini, untuk memulihkan kemuliaan agama Yesus tidak hanya berkata-kata,
tetapi juga melakukan tindakan yang dianggap menyerang kepentingan mereka,
yaitu menyucikan bait suci. Karena itulah, seperti tersua dalam Injil Matius,
ia harus mati.
Menjelang
pemilu legislatif, Konferensi Waligereja Indonesia mengeluarkan Surat Gembala
menyambut Pemilu Legislatif 2014. Salah satu anjuran pokok yang disampaikan
adalah agar para pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon atau partai yang
jelas menjaga dan berjuang mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Sila
pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan memilih orang serta partai
yang jelas dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai Pancasila, kita berharap
agar pemimpin dan kekuatan politik yang terpilih memastikan bahwa keimanan
kita akan Tuhan Yang Maha Esa menjadi daya transformatif bagi seluruh segi
kehidupan yang dirumuskan dalam keempat sila yang lain. Kalau ini terjadi,
dalam keyakinan iman Kristiani, inilah makna Paskah yang nyata dalam
kehidupan bangsa. Selamat Paskah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar